Sabtu, 21 Januari 2012

Negara Auto Pilot



Istilah ‘Negara Auto Pilot’ berasal dari para tokoh lintas agama yang menilai negara Indonesia jalan sendiri tanpa pemimpin atau pengendali. Ini terjadi karena pemerintah berkuasa mengabaikan nasib rakyat. Mereka kemudian mendatangi kantor KPK di Jakarta untuk mendukung pemberantasan korupsi yang menyengsarakan rakyat.

Bicara soal negara, tentu kita ingat pelajaran semasa kuliah dulu bahwa sebuah negara baru bisa jalan kalau ada yang menyelenggarakannya. Dan penyelenggara negara itu terdiri atas unsur-unsur pemerintah, lembaga perwakilan rakyat dan yudikatif (dalam sistem kita sekarang: Mahkamah Agung dengan jajarannya dan Mahkamah Konstitusi). Pemerintah saja tidak bisa menyelenggarakan dengan baik jika dua unsur lainnya amburadul. Keadaan inilah yang berlangsung lama di Indonesia sehingga bermunculanlah begitu banyak komisi seperti KPK yang mengambil alih tugas-tugas polisi dan jaksa. Menjadikan polisi dan jaksa bekerja lebih baik dan dapat dipercaya (sehingga tidak perlu lagi keberadaan KPK) merupakan pekerjaan besar yang entah kapan terwujud.

Istilah ‘auto pilot’ tampaknya kurang pas benar. Dalam perkembangan teknologi sekarang ini, pesawat auto pilot biasanya tanpa penumpang, digunakan untuk tugas-tugas khusus. Sedangkan negara Indonesia masih ada ‘penumpang’ yaitu rakyat Indonesia. Kalau yang dimaksud para tokoh lintas agama kelalaian pemerintah dalam menanggulangi pelbagai keperluan rakyat, ini baru pas. Pemerintah tetap ada, negara masih ada pilotnya. Di antara kelalaian itu misalnya keterlambatan pemda membantu para korban bencana alam. Ketika rakyat mengungsi ke tempat aman karena bencana alam, bantuan yang diperlukan selalu terlambat datang, sempat ditayangkan televisi terlebih dulu. Begitu juga penggusuran penduduk dari lahan yang mereka tempati puluhan tahun, tetap saja terjadi di mana-mana. Rakyat berada pada kedudukan pihak yang lemah, berhadapan dengan pihak penegak hukum yang ‘memenangkan’ perusahaan atau instansi yang memenangkan perkara di Pengadilan. Pertanyaan mendasar, siapa yang menentukan adil tidaknya sebuah vonis hakim? Pertanyaan lain, jika vonis hakim yang berujung penggusuran penduduk memang sudah adil, ke mana mereka pergi mencari tempat berlindung?

Pemerintah berkewajiban melindungi dan menolong seluruh rakyat, terutama rakyat kecil. Tapi di lain pihak, mereka yang memprotes seringkali bertindak anarkis, seperti memblokir jalan raya, menduduki pelabuhan dan membakar kantor polisi. Dalam keadaan seperti itu, polisi tidak ada pilihan selain bertindak tegas. Tindakan tegas polisi itu sering pula mendapat perlawanan dari para pemerotes, berakibat polisi lepas kendali seperti menendang, bahkan menembak. Korban pun berjatuhan. Kalau sudah begitu, tangan hukum harus bekerja secara proporsional. Baik rakyat pemerotes maupun penegak hukum harus dihukum jika bertindak melawan hukum.

Kesemuanya dalam proses yaitu upaya menempatkan segala sesuatunya secara pas. Pemerintah harus mau mengoreksi diri, belajar dari apa yang sudah terjadi, mengambil langkah-langkah diperlukan untuk memperbaiki keadaan. Kita percaya pemerintah dengan seluruh jajarannya terus berusaha memperbaiki keadaan demi kesejahteraan rakyat banyak. Bahwa masih banyak yang belum tercapai, jangan pula dianggap pemerintah melakukan ‘pembiaran’ dan kehidupan negara berjalan sendiri tanpa kendali alias ‘auto pilot’.

Kongres Perubahan



Dalam minggu pertama Januari 2012, di Jakarta ada kegiatan berjudul ‘Kongres Nasional Untuk Perubahan’. Organisasi yang menyelenggarakannya adalah Aliansi Rakyat untuk Perubahan. Hasil-hasil kongres tidak jelas. Sebuah koran yang terbit di Jakarta hanya memuat foto saat berlangsungnya kongres. Di bawah foto ada keterangan berbunyi, ‘Kongres menyerukan untuk berjuang bersama-sama dengan cara damai guna mempercepat proses perubahan menuju Indonesia yang lebih baik’.
Secara tersirat ada pengakuan bahwa proses perubahan itu sebenarnya sedang terjadi, dilakukan oleh pemerintah yang sedang berkuasa sekarang. Yang diinginkan oleh Aliansi Rakyat untuk Perubahan adalah mempercepat proses itu. Bagaimana caranya? Tidak dijelaskan langkah-langkahnya sehingga proses perubahan bisa lebih cepat. Lantas bagaimana caranya para peserta kongres berjuang kalau langkah-langkah untuk mencapai tujuan tidak jelas.

Bandingkan ketika para pemimpin kita berjuang untuk memerdekakan Indonesia. Langkah pertama adalah bekerjasama dengan penguasa Jepang yang berjanji memerdekakan Indonesia. Tapi ketika janji itu tidak dipenuhi, para pemimpin kita mengambil langkah menyatakan kemerdekaan Indonesia melalui proklamasi yang diucapkan Sukarno dan naskah ditandatangani Sukarno-Hatta. Langkah perjuangan selanjutnya tentu sudah diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia seperti melakukan perlawanan bersenjata menentang penjajah yang ingin berkuasa kembali. Bersamaan dengan itu berunding dimana perlu untuk memperkuat kedudukan Republik Indonesia agar mendapat pengakuan internasional.

Selain Aliansi Rakyat untuk Perubahan terdapat juga pelbagai kalangan yang mengusung isu perubahan, termasuk sebuah partai baru yang menjadikannya sebagai semboyan. Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan para tokoh yang menginginkan perubahan itu baru sebatas kritik sambil menilai bahwa pemerintah telah gagal. Ukuran gagal itu adalah jumlah rakyat miskin masih sangat besar. Padahal seharusnya diperbandingkan besar mana jumlah rakyat yang miskin dibandingkan rakyat yang sudah menikmati kesejahteraan. Juga harus diperbandingkan kemajuan yang dicapai pemerintahan sekarang dengan pemerintahan yang lalu-lalu. Pertanyaan mendasar adalah, pemerintahan mana sepanjang sejarah Republik Indonesia yang dinilai berhasil mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia? Pemerintahan-pemerintahan yang ada selama ini, mulai Orde Lama, Orde Baru sampai Reformasi mencatat berbagai kemajuan dalam pembangunan fisik, namun belum berhasil mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Jumlah rakyat miskin tetap saja besar.

Kritik yang dialamatkan kepada pemerintah adalah sistem ekonomi yang neo liberal. Sehingga pertumbuhan ekonomi yang cukup baik tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sistem ekonomi yang cocok adalah Ekonomi Kerakyatan. Seperti apa Ekonomi Kerakyatan itu tidak pula ada uraiannya.
Daripada terus-terusan mengecam pemerintah yang tidak menghasilkan apa-apa, lebih baik para cerdik pandai kita membuat konsep yang berisi langkah-langkah perubahan menuju Indonesia yang lebih baik. Konsep itu dipublikasikan melalui media supaya rakyat mengerti kekeliruan pemerintah dan bagaimana cara mengatasi. Kalau hanya mengusung isu perubahan tanpa disertai cara-cara melakukan perubahan itu, hanyalah sebuah retorika. Ingat saja Presiden Amerika Serikat Barrack Obama yang mengusung isu perubahan ketika berkampanye, tapi tidak melakukan perubahan apa-apa setelah terpilih.

Kamis, 05 Januari 2012

Mobil Buatan Indonesia


Mobil buatan Indonesia hari Selasa, 3 Januari 2012 diperkenalkan secara resmi oleh Walikota Surakarta Joko Widodo  di Surakarta sebagai kenderaan dinasnya dengan plat merah. Mobil berukuran mesin 1500 cc itu hasil rakitan siswa SMK Negeri 2, dan SMK Warga Surakarta. Komposisi badan mobil 80% asli Indonesia, 20% sisanya diimpor dari luar. Dengan komposisi seperti itu sebetulnya  belumlah asli, tapi memadai dan merupakan kemajuan ketimbang hanya memasang semua komponen yang didatangkan dari luar negeri. Dengan  dipakainya mobil itu secara resmi sebagai kenderaan dinas oleh Walikota Surakarta dan wakilnya FX Hadi Rudiatmo, akan membuka mata masyarakat bahwa Indonesia sungguh-sungguh sudah berhasil merancang dan membuat sendiri mobil walau pun 20% komponennya masih diimpor.
Walikota Solo menyatakan bangga dengan kemampuan siswa-siswa SMK di kotanya membuat mobil yang bentuk badan dan kekuatannya tidak kalah dengan buatan luar negeri. Menurut para siswa SMK Negeri 2 Solo dan SMK Warga Solo, mobil baru diberi nama Kiat Esemka  itu akan diproduksi dalam jumlah banyak bekerjasama dengan bengkel mobil Kiat Motor asal Klaten dan PT Autocar Industri Komponen, produsen mesin modil di Cikampek, Jawa Barat.
Orang Indonesia pada umumnya kurang begitu percaya dengan barang-barang buatan Indonesia, kalah bersaing dari segi harga dan mutu. Sikap seperti itu karena banyaknya barang-barang yang beredar seperti sepatu, sendal dan payung yang rusak setelah dipakai tiga bulan. Oleh karena itu keputusan Walikota Surakarta untuk mempelopori memakainya sebagai kenderaan dinas, patut dihargai. Mudah-mudahan para kepala daerah serta jajarannya, begitu juga instansi-instansi pemerintah di pusat dan daerah mau mengikuti jejak Walikota Surakarta. Bagaimana pun mobil buatan Indonesia itu harus mampu membuktikan dirinya sebagai kenderaan yang dapat diandalkan dari segi mutu dan harga bersaing dengan mobil-mobil impor. Selain itu tidak kalah pentingnya, sukucadangnya harus mudah didapatkan seperti halnya suku cadang mobil-mobil impor.
Usaha Indonesia membuat mobilnya sendiri sudah dirintis oleh penguasa orde baru melalui kerjasama dengan Korea Selatan. Merknya adalah ‘Timor’. Sayang sekali kurang diminati masyarakat karena dalam banyak hal kalah bersaing dengan mobil-mobil buatan Jepang. Setelah penguasa orde baru lengser, mobil Timor pun tidak terdengar lagi kisahnya. Dalam hubungan ini kalangan yang ikut mendukung bagi terlaksananya pembuatan mobil Indonesia asal Surakarta dalam jumlah besar, harus belajar dari kegagalan dalam mengembangkan mobil ‘Timor’ yang pernah dinyatakan sebagai mobil buatan Indonesia yang pertama. Dua mobil Kiat Esemka yang sudah siap digunakan oleh Wlikota Surakarta dan wakilnya, baru merupakan contoh. Untuk memproduksinya dalam jumlah besar tentu akan memerlukan prosedur dan keterlibatan banyak pihak. Perlu dukungan pihak-pihak terkait dalam mengembangkan kreativitas siswa-siswa SMK 2 san SMK Warga Surakarta, sehingga tidak mengalami hambatan apa pun. Sebagai dukungan bagi produksi mobil Indonesia Kiat Esemka itu, Ketua DPR Marzuki Ali telah memesannya satu. Siapa menyusul?

Minggu, 01 Januari 2012

Memperbaharui Sikap Dalam Menjalani Tahun Baru 2012



Penduduk Dunia sudah berada dalam tahun baaru 2012. Kemeriahan menyambut tahun baru pun telah usai. Tinggal menghitung untung ruginya saja. Harapan untuk keadaan lebih baik muncul di lubuk hati tiap orang, khususnya mereka yang belum juga kunjung menikmati hidup sejahtera. Kerja keras semua kalangan dalam masyarakat memang satu-satunya kunci bagi meraih sukses. Kerja keras itu harus pula diiringi sikap mental yang lebih dewasa. Dulu ada ungkapan ‘Sepi ing pamrih rame ing gawe’, yang berarti lebih mengutamakan banyak bekerja ketimbang mengharap balasan. Kalau sudah punya sikap seperti itu, rasanya tidak perlu lagi korupsi yang dapat diterjemahkan sebagai keinginan memperoleh imbalan berlebihan dari pekerjaan seseorang.

Sesuatu yang berlebihan memang tidak baik, menimbulkan pelbagai hal yang merugikan. Nabi Muhammad SAW mengatakan, “Celakalah orang yang berlebihan.” Berlebihan dalam kepemilikan harta, menimbulkan sorotan masyarakat. Contohnya seorang walikota yang membangun rumah dinas seharga milyaran rupiah. Rumah dinas itu dilengkapi lapangan tenis. Padahal wilayah kota yang dipimpin Pak Wali termasuk punya pemasukan keuangan yang rendah. Begitu juga anggota DPR yang punya mobil mewah. Rasanya tidak pantas karena rakyat yang diwakilinya sebagian besar masih melarat hidupnya. Itu artinya anggota DPR yang terhormat itu tidak punya rasa setia kawan dengan rakyat yang diwakilinya.
Sikap berlebihan lainnya adalah dalam mengeluarkan pernyataan. Masa ada anggota DPR yang mencerca KPK dengan kata-kata, “Induk semang kalian di sini.” Tentu saja kata-kata seperti berlebihan, lepas kendali. Anggota-anggota KPK memang dipilih DPR. Anggaran untuk KPK pun ditetapkan dengan persetujuan DPR. Tapi KPK bukan bekerja untuk DPR, layaknya karyawan dengan pimpinannya di sebuah perusahaan. KPK bekerja sesuai undang-undang, menyelidiki dan menangkap mereka yang punya bukti awal melakukan tindakan korupsi, termasuk anggota DPR sendiri!

Dalam menegakkan keadilan juga sering terjadi tindakan berlebihan. Yang terbaru adalah tentang seorang polisi berpangkat Briptu di Palu yang membawa seorang remaja ke depan meja hijau gara-gara dituduh mencuri sendal sang Briptu. Harga sendal hanya 35 ribu rupiah, tidak sebanding dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Belum lagi kerugian fisik dan mental yang dialami remaja bersangkutan akibat penganiayaan sebelum dihadapkan ke meja hijau. Kalau saja sang Briptu sedikit punya pengetahuan agama, tentu ia akan mengembalikannya kepada Allah SWT.Kehilangan adalah musibah dan musibah bermakna cobaan dan juga peringatan. Selama ini cukup banyak orang yang kehilangan harta benda bahkan puluhan juta rupiah nilainya. Biasanya berakhir pada laporan di kantor Polisi, tidak sampai ke Pengadilan.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga ada sikap berlebihan yaitu munculnya ‘Dewan Penyelamat Bangsa’. Entah apa langkah-langkah atau program-program yang dilakukan orang-orang yang tergabung dalam dewan ini, demi menyelamatkan Indonesia, tidak pula jelas.