Senin, 28 Mei 2012

Menyimak Damai Indonesiaku TV One


Acara ‘Damai Indonesiaku’ TV One tiap Sabtu dan Minggu pukul 1300 wib cukup menarik untuk disimak, memberi pencerahan tentang Islam , menampilkan ustadz-ustadz yang sudah punya nama seperti Anwar Sanusi, Nur Iskandar dan Daud Rasyid. Setiap pemunculannya ‘Damai Indonesiaku’ membahas masalah-masalah khas yang sedang terjadi meliputi penegakkan hukum, demokrasi, kepemimpinan dan lain-lain.
Sayang, ada kalanya ketika menampilkan contoh masalah yang sedang terjadi kurang sesuai dengan yang sebenarnya.Misalnya dalam tayangan tanggal 26 Mei lalu, seorang ustadz mengatakan betapa lemah sistem hukum di Indonesia karena seorang terpidana narkoba dari Australia ‘bebas begitu saja untouchable’. Rasanya tidak ada terpidana narkoba asal Australia yang bebas begitu saja dan untouchable. Jika yang dimaksud Corby, ia memperoleh pengurangan hukuman penjara 5 tahun dari yang seharusnya 20 tahun. Pengurangan hukuman itu cukup membuat gempar dan menjadi perbincangan di mana-mana.
Ustadz lainnya membahas soal demokrasi dalam Islam. Setelah Nabi Muhaammad SAW meninggal dunia, kekuasaan negara tidak turun kepada keturunannya. Para sahabat memilih salah seorang di antara mereka menjadi Khalifah. Ini beda dengan searing. Presidennya masih menjabat, bininya sudah disuruh menjadi capres 2014. Begitu kurang lebih ucapan sang Ustadz. Kalau yang dimaksud adalah Ibu Negara Ani Yudhoyono, baru merupakan wacana. Ani Yudhoyono sendiri belum pernah menyatakan pencalonan dirinya. Begitu juga Partai Demokrat belum mencalonkan siapa-siapa untuk capres 2014. Yang ada baru pendapat kader Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, yang akan mendukung jika Ani Yudhoyono dicalonkan. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum terdengar ‘menyuruh bininya’ menjadi capres.Yang sudah dinyatakan Presiden adalah janji keluarganya tidak akan mencalonkan diri sebagai capres. Logikanya, jika di belakang hari nanti Partai Demokrat mencalonkan Ani Yudhoyono menjadi capres, SBY harus menepati janjinya dengan meminta isterinya menolak pencalonan Partai Demokrat.
Mengenai penegakkan hukum, sang Ustadz menyatakan diperlukan tokoh yang tegas dan tidak pilih,bulu, bukan yang badannya kekar dan berkumis tebal. Orang tentu mengerti siapa yang dimaksud.

Dakwah Islam seyogyanya disampaikan dengan penuh hikmah dalam arti tidak menyudutkan atau menyindir siapa-siapa. Sebab yang disindir atau disudutkan tentu merasa tidak nyaman. Sedangkan dakwah seyogyanya mencerahkan fikiran semua oang tentang kebenaran Islam. Semoga ke depan para Ustadz yang megisi acara ‘Damai Indonesiaku’ TV One lebih bijak, mengungkap fakta dengan pas, mampu mengajak pihak-pihak yang keliru langkahnya untuk kembali ke jalan Allah SWT.

Pengurangan Hukuman Untuk Corby Menuai Kecaman


Pengurangan hukuman 5 tahun untuk terpidana narkoba asal Australia, Schapelle Corby, melalui Keputusan Presiden No. 22/G Th. 2012, telah menuai kecaman masyarakat karena dinilai tidak sesuai tekad pemerintah untuk membasmi narkoba. Dengan pengurangan hukuman itu, terpidana 20 tahun penjara sejak 2004 itu bisa mengajukan pembebasan bersyarat pada September 2012. Secara hukum, tindakan Presiden tidak salah karena sudah meminta pertimbangan Mahkamah Agung dan masukan dari Kementerian Hukum dan HAM. Yang dipertanyakan orang adalah kesepakatan membasmi narkoba demi menyelamatkan bangsa. Dengan pengurangan hukuman bagi terpidana narkoba menimbulkan kesan bahwa Indonesia tidak sungguh-sungguh mengganjar penjahat narkoba dengan hukuman yang menimbulkan efek jera.
Padahal, sebelumnya Presiden telah menolak permohonan grasi 8 terpidana mati. Selain itu 5 terpidana mati telah menjalani hukumannya. Kalau begitu, ada apa dengan Corby? Ada yang berpendapat, pengurangan hukuman Corby itu berkaitan dengan WNI yang sedang ditahan di Australia agar memperoleh keringanan. Pihak Australia membantah hal tersebut yang berarti pengurangan hukuman bukan hasil tawar menawar antara kedua pemerintah Indonesia dan Australia.
Yang sudah diketahui alasan pengurangan hukumannya adalah terpidana narkoba asal Nepal dan Jerman. Terpidana asal Nepal diubah hukumannya dari mati menjadi seumum hidup karena sudah tua sekali. Sedangkan yang dari Jerman dikurangi dua tahun dari hukuman 5 tahun penjara karena sakit-sakitan.
Untuk menghindari sikap negatif masyarakat atas pengurangan hukuman Corby, perlu ada penjelasan resmi pemerintah. Ketua Mahkamah Konstitusi berpendapat, “mestinya alasan-alasannya diketahui publik.” Selanjutnya terserah kepada pemerintah apa akan memberi penjelasan alasan pengurangan hukuman Corby atau membiarkan masyarakat menduga-duga sendiri saja. Ke depan, jangan ada lagi pengurangan hukuman bagi terpidana narkoba, kecuali memang karena alasan kemanusiaan.Itu juga harus ada standarnya. Bagi seorang terpidana yang masih muda dan sehat kurang pas dikurangi hukumannya atas dasar ‘kemanusiaan’. Akan lebih tepat jika pengurangan hukuman dilakukan atas dasar tukar menukar hukuman terpidana kedua negara. Dalam pada itu masyarakat jangan pula buru-buru menuduh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lemah karena telah mengurangi hukuman Corby.



Nasib Mantan Gubernur DKI Henk Ngantung


Metro TV lewat acara ‘Kick Andy’ pada Jum’at 18 Mei lalu mengungkap nasib mantan Gubernur DKI mendiang Henk Ngantung yang menjabat di penghujung era kekuasaan Presiden Sukarno. Bersamaan dengan diberantasnya orang-orang komunis sebagai akibat peristiwa G 30 S/PKI pada 1965, Henk Ngantung terkena getahnya. Ia diberhentikan dari jabatannya sebagai Gubernur DKI tanpa alasan dan tidak pula mendapatkan hak pensiun secara wajar. Ia baru mendapatkan hak pensiun pada 1980 dengan uang pensiun 800 ribu rupiah per bulan, lebih rendah dari PNS biasa.Isterinya Eveline berkisah, untuk menutupi kekurangan belanja, karya-karya seni Henk Ngantung dijual satu persatu. Eveline pernah meminta penjelasan kepada Pangkopkamtib Sudomo. Apa suaminya terlibat G 30 S/PKI, dijawab: tidak!
Kebiasaan mengebiri hak seorang pejabat baik tingkat rendah mau pun tinggi, sebetulnya terjadi sejak zaman orla. Menyusul pemberontakan PRRI/Permesta pada 1958 banyak pejabat pemerintah yang ditangkap, dituduh terlibat tanpa bukti dan tanpa melalui Pengadilan. Mereka yang ditangkap adalah orang-orang yang dinilai bersimpati kepada PSI dan Masyumi. Setelah Amnesti Presiden pada 1961, mereka boleh bekerja lagi dengan syarat bersedia turun pangkat. Ada yang mau dipermalukan seperti itu, ada pula yang memilih pensiun. Yang memilih pensiun memang diberikan haknya, terhitung tahun 1968, tidak berlaku surut sejak tahun diberhentikan.
Dizaman orba seharusnya pelanggaran HAM seperti itu tidak terjadi lagi, mengingat orba adalah sebuah orde yang melakukan ‘koreksi total’ atas pelbagai kekeliruan yang dilakukan orla termasuk perlakuan sewenang-wenang terhadap pejabat yang dinilai ‘berindikasi terlibat’. Inilah pula yang dialami mendiang Henk Ngantung. Konon ia dinilai punya keterkaitan dengan Lekra, organisasi seni yang berafiliasi kepada PKI.
Ada ungkapan berbunyi ‘yang sudah biarlah berlalu’ menunjukkan betapa pemaafnya masyarakat Indonesia. Namun menyangkut nasib keluarga yang ditinggalkan  Henk Ngantung sebetulnya masih bisa ditolong dengan mengembalikan nama baik mantan Gubernur DKI itu. Kalau memang ia terbukti tidak bersalah, pemerintah dapat mengeluarkan SK baru yang mengoreksi kekeliruan yang ada dan memberikan uang pensiun yang sesuai. Ini juga merupakan ladang amal bagi Gubernur Fauzi Bowo untuk ikut memperjuangkan hak-hak mantan Gubernur Henk Ngantung yang pantas diterima keluarganya.

Rabu, 16 Mei 2012

KPK Tawari Angelina Sondakh Menjadi Justice Collaborator


Komisi Pemberantasan Korupsi –KPK- menawari Angelina Sondakh, tersangka kasus suap Wisma Atlet, menjadi ‘Justice Collaborator’ atau  artinya kurang lebih bekerjasama menegakkan keadilan. Seorang yang dijadikan ‘Justice Collaborator’ diminta ‘membongkar’ kasus yang sedang diselidiki. Sebagai imbalannya, tersangka akan mendapat keringanan hukuman.

Untuk menjadi ‘Justice Collaborator’ harus memenuhi syarat-syarat yaitu: terlibat dalam tindak pidana yang dilakukan bersama-sama dan mengetahui cara-cara melakukannya mulai perencanaan sampai hasil akhirnya. Masalahnya, dari awal Angie  yakin tidak bersalah dan tidak tahu menahu dengan kasus pidana yang disangkakan kepadanya. Jika Angie bersikeras dengan pendiriannya itu, jelas ia tidak memenuhi syarat menjadi ‘Justice Collaborator’. Dengan begitu KPK tidak akan memperoleh hal-hal baru selain dari yang sudah dijelaskan oleh Angie. Tinggal lagi KPK mencari bukti keterlibatan dan kesalahan Angie.

Yang menarik, kalangan praktisi hukum mempertanyaakan istilah ‘Justice Collaborator’. Istilah itu yang berakibat pengurangan hukuman bagi tersangka, tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia.Kalau begitu, dari mana KPK mendapatkannya? KPK harus menjelaskan masalah ini agar tidak terkesan mengada-ada. Semua tindakan hukum oleh penegak hukum harus punya dasar yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Bagi Angie sendiri, terlepas dari bersedia atau tidaknya menjadi ‘Justice Collaborator’ sebaiknya tidak mempersulit diri sendiri. Ia sudah melewati masa penahanan 20 hari dan sedang menjalani perpanjangan penahanan 20 hari lagi. Alangkah sengsaranya berada di balik jeruji besi bagi orang terhormat seperti Angie.Katakan saja yang sebenarnya mengenai uang yang diterima,berapa besar, dari siapa dan untuk keperluan apa. Kalau tidak ada, ya katakan tidak. Mengelak dari kenyataan sebenarnya, akan memperburuk keadaan.

Sebaliknya bagi KPK jangan pula bertindak yang mengesankan sedang menekan tersangka untuk memberi keterangan sesuai yang diperlukan. Kalau bukti kesalahan tidak diperoleh dari pengakuan tersangka, carilah dari tempat lain. Film ‘Street Justice’ mungkin dapat dijadikan contoh tentang bagaimana seorang hakim tidak berhasil membuktikan kesalahan seorang terdakwa dalam persidangan. Sang hakim lantas mencari bukti di tempat lain, sehingga seorang tersangka tidak dapat mengelak lagi.

Selasa, 15 Mei 2012

Anggota DPR Mantan Artis Makan Gaji Buta



Pemilu 2014 masih lama, tapi sudah ada kalangan yang memperingatkan partai-partai politik untuk tidak lagi mengikutsertakan artis, baik jabatan di legislatif mau pun eksekutif. Kalangan ini menilai, mengikutsertakan artis dalam kegiatan sebuah pemilu hanya untuk menarik massa memilih partai bersangkutan. Kenyataannya, para artis itu tidak menunjukkan kinerja yang memadai alias melempem. Di DPR mereka hanya datang, duduk, dengar dan duit (uang rapat). Sedangkan di eksekutif para mantan artis hanya ‘mejeng’. Heboh turba dan temu wicara dengan penduduk. Hasilnya tidak lebih baik dari pejabat yang digantikan. Contoh, jalan-jalan raya yang menjadi tanggungjawab pemda masih tetap terbengkalai. Belum lagi soal jembatan putus, baru diperbaiki setelah diberitakan media.
Sebetulnya tidak adil kalau menilai bahwa yang mengecewakan kinerjanya adalah kalangan artis saja. Harus dilihat secara keseluruhan, siapa-siapa saja kalangan legislatif dan eksekutif yang mengecewakan setelah mereka memangku jabatan. Harus ada tolok ukurnya. Inilah yang harus ditetapkan oleh para pakar. DPR periode 2004-2009 misalnya dinilai belum berhasil karena tidak mencapai target jumlah RUU yang direncanakan. Dikerucutkan lagi, harus ada tolok ukur siapa-siapa anggota DPR di komisi-komisi yang dinilai berhasil melaksanakan tugasnya dan mana yang tidak. Begitu juga di kalangan eksekutif, siapa-siapa saja Kepala Daerah dan Wakilnya dinilai berhasil, mana pula yang tidak. Pertanyaannya, siapa yang dipercaya membuat tolok ukur itu? Apa tolok ukurnya jika ada yang menilai bahwa Walikota Surakarta dan Gubernur Sumatera Selatan, berhasil melaksanakan tugasnya? Kalau tolok ukur itu belum ada, paling tidak pendapat rakyat yang dihimpun sebuah lembaga survey dapat dijadikan pedoman.
Partai-partai politik boleh saja lanjut mengikutsertakan artis dalam pemilu 2014, asal saja dengan melihat terlebih dulu sepak terjangnya dalam kegiatan sosial dan politik. Mereka harus tahu tugas sebagai anggota legislatif mau pun eksekutif. Artis seperti Nurul Arifin sudah diketahui sebagai aktivis, sebelum menjadi anggota DPR. Artis seperti Rano Karno dan Dede Yusuf, sama sekali belum ada prestasi sebelum duduk di pemerintahan daerah. Tapi setidak-tidaknya kegiatan mereka selama menjadi Wagub dapat ‘dirasakan’ masyarakat. ‘Perasaan’ masyarakat itu dapat diselidiki melalui survey, sehingga menjadi tolok ukur apa masih bisa dipilih untuk periode berikutnya
Yang tidak kalah pentingnya adalah bekal ilmu pengetahuan tentang bidang tugas yang digeluti baik lagislatif mau pun eksekutif. Sebab sangat menggelikan jika ada anggota DPR yang tidak tahu definisi politik.

Terbang Gembira Berujung Duka



‘Joy Flight’ atau ‘Terbang Gembira’ dilakukan pesawat Rusia SSJ-100 pada Rabu 9 Mei 2012 dari bandara Halim Perdanakusumah, membawa 45 penumpang ternyata berujung duka. Pesawat itu menabrak gunug Salak, Bogor, mengakibatkan semua penumpang tewas dan pesawat hancur berkeping-keping. Berbagai teori dikemukakan para pengamat penerbangan, namun tidak ada yang tahu penyebab sebenarnya kecelakaan tersebut. Sebegitu jauh, ‘Kotak Hitam’ yang merekam pembicaraan antara pilot dengan menara pengawas di bandara Sukarno-Hatta belum ditemukan. Kotak hitam itu sangat penting untuk mengetahui saat-saat terakhir komunikasi antara pilot dengan menara pengawas, sebelum kecelakaan terjadi. Boleh jadi ada kesalahpahaman dalam berkomunikasi mengingat pilot yang orang Rusia dan menara pengawas orang Indonesia. Sama-sama berbahasa Inggeris, tapi pengertiannya berbeda.
Yang banyak dipertanyakan pengamat adalah permintaan pilot untuk turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki. Dengan ketinggian 6.000 kaki bisa menabrak gunung jika kurang waspada. Permintaan itu diizinkan menara pengawas, karena keadaan di sekitar ‘clear’ atau ‘aman’. Walau pun ada gunung didepan, pesawat masih bisa menghindar dan mengubah haluan. Pertanyaannya memang, mengapa pesawat akhirnya menabrak gunung. Dalam fikiran orang awam, boleh jadi tiba-tiba muncul kabut tebal yang menutup pemandangan pilot ke depan. Atau bisa jadi juga seperti sering diungkapkan orang-orang tua zaman dulu, pilot ‘salah lihat’. Disangka hanya tumpukan awan, tidak tahunya gunung yang menjulang. Konon, salah lihat itu bisa terjadi di tengah laut, udara dan hutan. Dalam hubungan ini, orang Islam dianjurkan untuk  membaca do’a safar sebelum bepergian, khususnya dalam menempuh ketiga kawasan laut, udara dan hutan. Apa ada diantara penumpang yang 45 orang itu membaca do’a safar, wallahu a’lam bissawab.
Penyelidikan harus dilakukan untuk mengetahui letak kesalahan guna perbaikan dimasa depan. Ada faktor x yang belum diketahui penyebab kecelakaan. Kalau faktor x itu berasal dari manusia, entah di menara pengawas, entah di cockpit pesawat, ini juga  memerlukan penanganan sungguh-sungguh.
Dalam pada itu pihak-pihak yang berhasrat membeli pesawat jenis SSJ-100 jangan pula membatalkan niatnya kalau nantinya terbukti bahwa penyebab kecelakaan bukan pada sistem dalam pesawat.