Rabu, 22 Januari 2014

Mengubah Mental Para Korban Banjir



Dalam acara TV ‘Mario Teguh The Golden Ways’ pada 19 Januari 2013 ada hal menarik untuk disimak yaitu ketika Mario Teguh mewawancarai seorang korban banjir. Sang korban banjir mengeluh betapa sulitnya di pengungsian dengan fasilitas hidup yang serba kurang. Ketika ditanyakan kepadanya, mengapa tidak pindah tempat? Ia mengatakan ada juga keinginan, tapi tidak ada biaya untuk menempati rumah lain yang aman dari banjir. Ketika ditanyakan lagi berapa biaya diperlukan, ia menyebutkan sebuah angka. Lantas Mario menyarankan untuk menabung antara lain dengan mengalihkan uang pembeli rokok. Dalam tempo tiga tahun, biaya yang diperlukan dapat terkumpul. Dianjurkan menabung, sang korban banjir mengatakan ‘ribet’ menabung, apalagi kalau menggunakan jasa sebuah bank. Alhasil, ia menerima keadaan setiap tahun tempat tinggalnya dilanda banjir dan hidup di pengungsian untuk beberapa waktu lamanya. Ia menjadi terbiasa dengan banjir sambil terus memelihara kebiasaan merokok yang merusak kesehatan itu.

Rasa sayang meninggalkan rumah yang sudah tahunan dihuni, inilah penyebab kebanyakan penduduk Ibukota bertahan dan tidak mau mencari tempat tinggal lain yang aman dari terjangan banjir. Mereka tampaknya berharap upaya Pemda DKI mengendalikan banjir suatu ketika membuahkan hasil, sehingga  tetap aman di rumah masing-masing meski hujan lebat turun.

Menjadikan Jakarta bebas banjir 100% tentu hanya mimpi karena letaknya yang rendah. Yang dapat diusahakan adalah memperkecil akibat datangnya air, sehingga tidak meluap-luap seperti sekarang. Pekerjaannya tentu tidak mudah karena begitu banyak yang harus dilakukan seperti mengeruk kali-kali yang sudah dangkal, memfungsikan waduk-waduk sebagaimana mestinya, membuat gorong-gorong yang besar ukurannya, menghentikan kebiasaan penduduk  membuang sampah ke kali-kali dan menyediakan kawasan resapan air yang cukup. Semua keperluan mengatasi banjir sudah dilakukan sungguh-sungguh oleh Pemda DKI sekarang. Hasilnya juga sudah tampak, misalnya kawasan tertentu  yang  tahun lalu masih terserang banjir, tahun ini sudah tidak lagi.

Yang dianjurkan pindah sebenarnya adalah penduduk yang bertempat tinggal di kawasan rawan banjir sejak zaman dahulu kala karena letaknya yang rendah itu. Pemda DKI seyogyanya membuat peta kawasan-kawasan yang sebaiknya tidak dijadikan pemukiman dimasa mendatang. Dan, penduduk diminta kesadaran untuk meninggalkan kawasan-kawasan tersebut dengan sukarela demi aman dari terjangan banjir. Ini memerlukan perubahan mental penduduk dari ‘terbiasa’ terhadap banjir menjadi mencari tempat yang lebih aman.

 

 

Selasa, 21 Januari 2014

Presiden SBY Tolak Pangkat Jenderal Besar


 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak keinginan Panglima TNI Jenderal Moeldoko untuk menganugerahinya pangkat Jenderal Besar atau jenderal bintang lima. Salah satu pertimbangan pemberian pangkat itu karena Presiden SBY dinilai berjasa membangun TNI menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Sedangkan Presiden menolak karena menganggap membangun TNI memang sudah menjadi tugas seorang presiden. Sikap Presiden SBY itu menarik karena jarang orang menolak dinugerahi kemuliaan seperti menjadi Jenderal Besar, pangkat tertinggi di kalangan Angkatan Darat. Sebegitu jauh baru ada tiga tokoh militer yang menyandang pangkat Jenderal Besar, yaitu Sudirman, AH Nasution dan Suharto. Mereka dianugerahi pangkat tersebut pada Oktober 1997.

Jelas, pangkat Jenderal Besar itu merupakan inisiatif baru pimpinan TNI setelah TNI berusia lebih dari setengah abad. Dulu, orang mengenal pangkat tertinggi TNI adalah Jenderal saja dengan bintang empat, disandang oleh ketiga Kepala Staf AD, AL dan AU. Untuk AL dan AU sebutannya adalah Laksamana.

Kesepakatan para pimpinan TNI untuk mengadakan pangkat Jenderal Besar itu disertai syarat-syarat, sebagai berikut.

1.       Perwira Tinggi terbaik yang tidak pernah mengenal berhenti dalam perjuangan kepada bangsa dan negara RI untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.

2.       Perwira Tinggi terbaik yang pernah memimpin perang besar dan berhasil dalam pelaksanaan tugasnya.

3.       Perwira Tinggi terbaik yang telah mendarmabaktikan hidupnya untuk meletakkan dasar-dasar perjuangan TNI.

Ketiga syarat itu dipenuhi oleh Sudirman dan AH Nasution. Mereka terlibat langsung dalam perang kemerdekaan melawan Belanda masing-masing sebagai Panglima Besar (Panglima TNI sekarang) dan KSAD. Mereka juga meletakkan dasar-dasar perjuangan TNI masing-masing tertuang dalam Sapta Marga dan Perang Gerilya. Jangan pula dilupakan pemikir militer lainnya, TB Simatupang yang waktu itu menjabat Kepala Staf Angkatan Perang. Sedangkan Suharto, khusus untuk syarat ke 3, bukan lagi meletakkan tapi menurut hemat kita, mengembangkan dasar-dasar perjuangan TNI yang sudah ada disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Bandingkan dengan Amerika Serikat yang memberi pangkat jenderal bintang lima kepada tokoh militer dengan bobot tugas tertentu yaitu menjadi komandan tertinggi pasukan gabungan dalam Perang Dunia ke 2 yaitu D. Eisenhower, D. Mac Arthur, C. Marshall, dan Omar Bradley. Mereka menyandang pangkat jenderal bintang lima dalam dinas aktif, bukan sebagai pangkat kehormatan.

Penolakan Presiden SBY, boleh jadi karena secara konstitusional ia sudah menjadi Panglima Tertinggi yang menentukan keterlibatan Indonesia dalam perang besar sekelas perang kemerdekaan dulu.

 

 

Jumat, 10 Januari 2014

Mempertanyakan Soekarnoisme


 

Pro dan kontra pencalonan Joko Widodo sebagai Capres PDIP memunculkan pendapat seorang politikus PDIP di DPR bahwa Gubernur DKI itu masih hijau soal idiologi partai. Tindakan Jokowi, tak bertumpu pada idiologi Marhaenis-Sukarnois yang selama ini dianut PDIP.

Kita tidak mempersoalkan benar tidaknya penilaian terhadap Jokowi itu. Yang menarik adalah, ternyata selama ini PDIP menganut idiologi Marhaenis-Sukarnois. Sejak kapan? Inilah yang belum banyak diketahui masyarakat. Sebab, riwayat kelahiran PDI adalah ‘konsensus’ antara pemerintah orba dengan tokoh-tokoh politik waktu itu untuk memasukkan partai-partai beraliran nasional tambah partai-partai non Islam ke dalam wadah diberi nama Partai Demokrasi Indonesia. Di luar itu ada Partai Persatuan Pembangunan dan Golkar. Kata ‘perjuaangan’ di belakang nama PDI muncul sejak Mbak Mega menjadi Ketua Umum partai tersebut. Tapi rasa-rasanya tidak ada penjelasan bahwa PDIP menganut idiologi Marhaenis-Sukarnois.

Tidak ada yang buruk dari pemikiran Bung Karno yang berpihak kepada rakyat kecil itu. Tapi dalam perjalanan waktu tindakan-tindakan beliau kurang pas dengan UUD 1945. Demokrasi Terpimpin telah memunculkan praktek ketatanegaraan yang ganjil. Masa Ketua MPRS Chairul Saleh merangkap sebagai Waperdam. Sedangkan kedudukan perdana menteri sendiri tidak diatur dalam UUD 45. Begitu juga Ekonomi Terpimpin yang telah membawa Indonesia terpuruk sehingga angka inflasi begitu tinggi. Politik Nasakom telah memberi angin kepada PKI untuk ‘menohok kawan seiring’ berupa pemberontakan G30S/PKI pada 1965. Kesejahteraan rakyat, jangan disebut lagi. Antri beras dan minyak tanah menjadi pemandangan sehari-hari yang justru dialami kaum’marhaen’ atau rakyat kecil. Pantaslah kalau para mahasiswa/pelajar yang tergabung dalam KAMI/KAPPI melakukan unjuk rasa dengan tiga tuntutan: turunkan harga, bubarkan PKI dan bubarkan kabinet 100 menteri. Ujung-ujungnya, para mahasiswa/pelajar menuntut agar Presiden Sukarno diturunkan secara konstitusional. Itulah yang terjadi. MPRS Menyelenggarakan Sidang Umum Istimewa yang memutuskan pengalihan kekuasaan dari Presiden Sukarno kepada Mayjen Suharto.

Dus, kalau PDIP memang menganut idiologi Marhaenis-Sukarnois harus jelas yang mana dari pemikiran Bapak Bangsa itu yang hendak diterapkan. Apa pemikiran beliau ketika sebelum menjadi Presiden RI atau setelahnya.

Rabu, 08 Januari 2014

Komersialisasi Do'a


Awal tahun 2014 ada berita yang mengejutkan umat Islam yaitu kegiatan sekelompok masyarakat yang menyediakan do’a dengan imbalan 1000 rupiah. Para peminat akan dido’akan oleh seorang ustadz kelompok tersebut di Mekah, sesuai dengan keinginan. Tidak jelas sudah berapa banyak peminat do’a  mengirimkan uang yang konon untuk menolong kaum du’afa. Yang jelas kegiatan tersebut mendapat reaksi keras Menteri Agama Suryadarma Ali sebagai hal yang tidak dapat dibenarkan.

Komersialisasi do’a sebenarnya bukan hal baru, caranya saja yang berbeda. Perhatikan saja, sampai sekarang di pemakaman Islam ada sekelompok orang yang menawarkan peziarah untuk membaca do’a. Mereka tidak menentukan imbalan atas do’a yang mereka panjatkan. Selesai berdo’a, peziarah tentu akan merogoh kantong sebagai sedekah untuk para pembaca do’a itu. Sepintas lalu, kegiatan tersebut syah-syah saja. Sekelompok orang menawarkan jasa membaca do’a bagi peziarah yang tidak tahu cara berdo’a di makam. Sebagai tanda terima kasih, peziarah memberi sedekah. Kalau ada lima orang yang berdo’a, masing-masing dibayar 5 ribu rupiah, jumlah sedekah menjadi 50 ribu rupiah. Di mana salahnya? Salahnya adalah dari niat para pembaca do’a. Mereka bukan semata-mata menolong peziarah yang tidak bisa berdo’a, melainkan mengharap imbalan uang. Karena dilakukan setiap hari, jadilah kegiatan itu sebagai mata pencaharian.

Dalam pelbagai kegiatan yang berjudul ‘syukuran’, biasanya ada seorang ustadz yang diminta membaca do’a. Untuk pembaca do’a penyelenggara syukuran juga menyediakan honor, sama seperti pembawa acara dan petugas-petugas lainnya.

Untuk melenyapkan praktek-praktek komersialisasi do’a, diperlukan kesadaran para pelaksana do’a baik yang bergelar ustadz maupun yang bukan. Honor yang diberikan oleh pihak penyelenggara dapat ditolak dengan halus, tanpa menyinggung perasaan. Sedangkan yang di pemakaman, perlu meningkatkan kesadaran para peziarah, cukup berdo’a sendiri dalam bahasa Indonesia karena Allah SWT mengerti semua bahasa. Lama-lama para pembaca do’a yang siap di pemakaman akan kehilangan peminat dan mengalihkan kegiatan mereka seperti mengajar mengaji.

Adapun do’a pesanan dengan membayar 1000 rupiah, sendirinya akan hilang kalau umat Islam menyadari bahwa berdo’a dapat dilakukan sendiri dan tidak perlu di Mekah.

Sabtu, 04 Januari 2014

Gubernur Jokowi Naik Sepeda ke Kantor



Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, Jum’at 3 Januari 2014 naik sepeda dayung dari rumah dinasnya di Taman Suropati ke kantornya di Jl. Merdeka Selatan. Ini merupakan pelaksanaan ketentuan baru Pemda DKI untuk tidak memakai kenderaan pribadi/dinas roda empat ke kantor. Dilakukan secara bertahap mula-mula sebulan sekali, kemudian seminggu sekali, lama-lama terbiasa tiap hari ke kantor tidak memakai kenderaan  roda empat. Tujuannya, agar kepadatan lalu lintas karena banyaknya kenderaan roda empat non angkot dapat berkurang yang diharapkan pula mengurangi kemacetan. Sayangnya, tidak semua karyawan DKI mematuhi ketentuan baru ini. Bahkan Wagub Ahok tetap naik kenderaan roda empat. Alasannya, rumahnya cukup jauh, menggunakan sepeda atau angkot akan memakan waktu lebih lama.

Setiap upaya mengatasi kemacetan lalu lintas yang dipelopori oleh Pemda DKI perlu didukung, sehingga menjadi contoh bagi instansi-instansi lain baik pemerintah maupun swasta. Masalahnya, apakah ketentuan baru itu dapat berjalan mulus kalau di kalangan petinggi Pemda DKI sendiri belum sepakat melaksanakannya. Akan terjadi banyak pelanggaran dengan mencontoh petinggi DKI yang melanggar. Selain itu apa jaminannya jika naik angkot dan kenderaan umum lainnya tidak membuat karyawan terlambat  ke kantor. Naik sepeda memang salah satu solusi, namun itu hanya bisa dilakukan di musim panas. Lagi pula sepeda punya jarak tempuh terbatas, misalnya radius 5 km dari kantor. Yang tempat tinggalnya jauh seperti di Cawang, tentu akan gempor kalau harus naik sepeda. Sepeda motor? Kalau karyawan Pemda DKI yang biasa memakai kenderaan roda empat disuruh naik sepeda motor, akan memperbanyak jumlah sepeda motor berkeliaran di jalan-jalan raya Ibukota. Rasa-rasanya, sepeda motor juga ikut menyumbang kepadatan lalu lintas. Satu hal lagi, secara kejiwaan, sepeda dayung biasanya dipakai PNS golongan I. Sepeda motor dipakai PNS golongan II dan III. Belum pernah terdengar selama ini ada PNS golongan II dan I yang naik sepeda dayung dan sepeda motor.

Alhasil, ketentuan baru Pemda DKI ini tidak akan berlangsung lama karena orang Indonesia lebih suka bertindak praktis. Selama kenderaan umum belum tersedia dengan cukup, aman dan nyaman, sulit untuk melarang karyawan datang ke kantor dengan kenderaan roda empat.

 

Kamis, 02 Januari 2014

Menyambut Tahun Baru 2014



Tahun baru datang lagi. Masyarakat dunia kembali sibuk mengadakan pelbagai kegiatan untuk menyambut tahun baru. Di Ibukota Jakarta misalnya, panggung-panggung hiburan disediakan di berbagai tempat. Trompet-trompet sudah mulai ditiup, walaupun resminya tengah malam pukul 00.00. saat pergantian tahun. Masyarakat tumpah ruah meninggalkan rumah masing-masing menuju tempat-tempat diselenggarakannya acara menyambut tahun baru.. Ringkasnya, malam tahun baru disambut dengan sukacita. Apalagi kali ini Gubernur DKI Jokowi berduet dengan Rhoma Irama, berdangdut ria.

Sebegitu jauh tidak ada yang tahu mengapa tahun baru disambut dengan meriah yang tentu menggunakan biaya tidak sedikit. Disambut atau tidak, tahun baru datang juga. Gembira atau tidak, tahun baru tetap datang. Dulu, tahun baru hanya dirayakan secara terbatas, oleh kalangan tertentu di tempat-tempat tertentu pula. Tahun 70an Gubernur DKI Ali Sadikin memberi kesempatan kepada masyarakat umum ikut bergembira dengan mendirikan pangung-panggung hiburan di sepanjang jalan Thamrin. Gagasan Ali Sadikin itulah yang diteruskan sampai sekarang.

Ciri utama menyambut kehadiran tahun baru adalah dengan meniup terompet, bukan berdangdut ria. Dan meniup terompet itu sebetulnya adalah pelaksanaan ibadah masyarakat Yahudi. Dalam kitab Taurat disebutkan, “Katakanlah kepada orang Israel dalam bulan ke 7 pada tanggal 1 bulan itu, haruslah kamu mengadakan hari perhentian penuh yang diperingati dengan meniup sangkakala, yakni hari pertemuan kudus.” Karena itulah ada ulama mengharamkan perayaan tahun baru dengan alas an mengikuti ibadah non Muslim. Arab Saudi bahkan mengeluarkan fatwa resmi yang mengharamkan perayaan tahun baru. Syekh Yusuf al Qaradhawi dari Mesir juga berpendapat yang sama. Bagi yang mengharamkan perayaan tahun baru, selain kitab Taurat juga berpegang pada hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam golongan kaum itu.” (Riwayat Imam Ahmad)

Bagaimana Indonesia? Sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia perlu pula menentukan sikap. MUI perlu mengeluarkan fatwa  agar ke depan, orang Islam tidak usah ikut-ikutan merayakan tahun baru Masehi. Dana milyaran rupiah yang dihamburkan di malam tahun baru dapat digunakan untuk membantu fakir miskin yang jumlahnya puluhan juta jiwa itu dan memperbaiki infrastruktur yang rusak untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.