Selasa, 20 Mei 2014

Hanya Dua Pasangan Capres-Cawapres Pilpres 2014


Hanya dua pasangan Capres-Cawapres bertarung dalam pilpres 9 Juli 2014 setelah Partai Golkar resmi bergabung dengan Partai Gerindra pada 19 Mei  2014. Kedua pasangan itu adalah Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Semula  ada  dugaan Partai Golkar merapat ke Partai Demokrat, tapi rupanya kedua petinggi partai itu gagal mencapai kesepakatan. Tinggal menunggu sikap Partai Demokrat, apa mau bergabung dengan salah satu dari dua  pasangan yang sudah ada, atau ‘netral’ saja.
Jika Partai Demokrat netral, tidak mendukung Capres-Cawapres manapun, menunjukkan partai yang sempat menjadikan kadernya sebagai Presiden RI selama 10 tahun kehilangan semangat bertarung. Padahal tugas sebuah partai politik ikut bertarung dalam arti ‘berjuang’ untuk masa depan bangsa yang lebh baik, kalau tidak mengusung kadernya sendiri, tentu kader partai lain. Sebaliknya jika akhirnya  bergabung dengan salah satu pasangan Capres-Cawapres, maka Partai Demokrat kehilangan dinamika alias telmi (telat mikir).
Adapun Partai Golkar yang habis-habisan mempromosikan ARB sebagai Capres, kali ini tidak berhasil mencapai kainginannya. Bahkan tidak juga menjadi Cawapres. Kalau nanti pasangan Prabowo-Hatta menang, Partai Golkar tentu akan kebagian kursi di kabinet. Kalau  kalah, untuk pertama kalinya, Partai Golkar akan berada di luar pemerintahan.
Bagian paling penting yang akan dijalani para Capres-Cawapres adalah kampanye untuk menjelaskan  program-program yang akan dilaksanakan jika menang nanti. Selain itu ada debat TV dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana para calon memahami masalah-masalah bangsa dan cara menyelesaikannya. Paham saja tidak cukup tanpa diiringi penjelasan kiat menyelesaikan masalah yang ada. Misalnya ada isu aset-aset yang dikandung bumi Indonesia sudah ‘dikuasai’ pihak asing. Apa ya? Bukankah penanaman modal asing dilakukan melalui perjanjian saling menguntungkan yang diatur UU?  Begitu juga isu ‘kedaulatan pangan’ yang seolah-olah Indonesia tergantung impor karena tidak mengutamakan pangan produksi dalam negeri? Bukankah impor itu dilakukan karena pasokan dalam negeri tidak mencukupi? Banyak lagi masalah lain yang belum terselesaikan dengan menimpakan kesalahan kepada pemerintah.
Kampanye yang dilakukan secara bersahaja, apa adanya, mengungkap inti permasalahan dan menyodorkan solusi  yang tepat akan lebih memikat daripada pidato-pidato dan teori-teori yang tidak adapat dilaksanakan di lapangan.




Rabu, 14 Mei 2014

PKB Seharusnya Memprioritaskan Rhoma Irama




Partai Kebangkitan Bangsa, PKB, jelas ‘bekerjasama’ dengan PDIP dalam menghadapi pilpres bulan Juli 2014. Selain PKB, Partai Nasdem sudah terlebih dulu merapat ke PDIP. Masih ada kemungkinan satu partai lagi merapat pula kepada PDIP. Dengan kerjasama beberapa partai itu, tentu saja capres berasal dari partai yang mendulang suara terbanyak pemilu 9 April 2014, yaitu PDIP. Orangnya pun sudah ditetapkan yaitu Jokowi. Pendamping Jokowi, sendirinya berasal dari salah satu partai-partai yang bekerjasama, Nasdem atau PKB. Karena Jokowi sudah memberi  tanda bahwa cawapres yang akan mendampinginya berasal dari luar Jawa, tokoh dimaksud adalah Surya Paloh. Kalau begitu PKB tidak berpeluang mengajukan kadernya sebagai cawapres apalagi capres.
Bagaimana nasib Rhoma Irama yang dari sebelum pemilu 9 April sudah ditetapkan sebagai capres PKB? Dengan perolehan suara  seperti sekarang ini, Rhoma Irama tidak mungkin lagi diajukan sebagai capres mau pun cawapres. Namun tidak berarti Rhoma Irama boleh dicampakkan begitu saja. Ia sudah berjuang bagi kemenangan PKB. Sebuah lembaga survey mengakui bahwa perolehan suara PKB adalah akibat pengaruh keberadaan Rhoma Irama sebagai capres. Jasanya tidak boleh dilupakan. Ia seharusnya mendapat prioritas untuk menerima ‘kue kerjasama’ dengan PDIP. Kita berandai-andai, jika Jokowi dan pasangannya nanti memenangkan pilpres 9 Juli 2014.  Kabinet baru yang akan dibentuk terdiri atas  kader-kader partai  yang bekerjasama . Seandainya PKB mendapat dua jatah kursi di kabinet, salah satu seharusnya diberikan kepada Rhoma Irama. Dengan begitu hubungan baik antara PKB dan Rhoma Irama tetap terjalin.Tidak ada perasaan ‘disingkirkan’ seperti  tampak pada sikap pendukung-pendukung Rhoma Irama di Kabupaten Cirebon yang membakar bendera PKB sebagai tanda kecewa.
‘Mengobat’ kekecewaan bagi seorang politisi yang gagal mencapai kedudukan tertentu lazim di negara-negara yang sudah berpengalaman dalam melaksanakan demokrasi. Perhatikan. Hilary Clinton yang gagal menjadi presiden, diangkat Obama menjadi menlu. Etika politik seperti itu, seharusnya ditrapkan di negara kita yang berpancasila. Selain itu juga menghindarkan kebiasaan ‘habis manis sepah dibuang’.

Sabtu, 10 Mei 2014

PM Yingluck Diberhentikan Mahkamah Konstitusi Thailand




PM Yingluck pada Rabu, 7 Mei 2014, diberhentikan oleh Mahkamah Konstitusi Thailand karena bersalah  telah menyalahgunakan wewenang.  Apa yang disebut menyalahgunakan wewenang itu adalah tindakan Yingluck mengganti  Kepala Keamanan Nasional, Thawil Pliensri pada 2013. Pergantian itu dinilai punya ‘agenda tersembunyi’ yang melanggar konstitusi Thaiiand. Bersama Yingluck juga diberhentikan beberapa menteri  yang mendukung tindakan PM Thailand itu. Menteri Perdagangan Niwattumrong yang juga wakil PM sekarang ini diangkat sebagai pejabat PM sementara. Ia bertugas mengawal pemilu 20 Juli mendatang.
Keputusan memberhentikan PM Yingluck terasa ganjil karena Mahkamah Konstitusi  kok  menilai kebijakan seorang kepala pemerintahan yang memang sudah menjadi wewenangnya, yaitu mengganti  Kepala Keamanan Nasional. Mestiny Mahkamah Konstitusi membuktikan ‘agenda tersembunyi’  yang katanya  melanggar konstitusi itu. Ini mengingatkan kita pada kasus persetujuan DPR atas pencalonan Jenderal Riamizar Riacudu sebagai Panglima TNI atas usul Presiden Megawati. Putusan itu dibatalkan oleh Presiden SBY dengan mencalonkan ulang tokoh militer lainnya yaitu Jenderal Endriartono. Dalam hal ini seorang Kepala Pemerintahan berwenang mengganti seorang pejabat tinggi sesuai keinginannya. Itu di Indoesia. Di Tailand rupanya seorang PM tidak bebas menentukan pembantu-pembantunya, termasuk seorang Kepala Keamanan Nasional.
Kenyataannya, Yingluck harus lengser dari jabatan PM, bukan karena digoyang unjukrasa anti pemerintah, melainkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Yingluck sendiri ‘menerima’ keputusan melengserkan dirinya itu namun menegaskan bahwa ia tidak bersalah.  Kaum oposisi menang karena memang maunya Yingluck mundur. Walaupun begitu, keadaan tetap panas. Para pendukung Yingluck menuduh Mahkamah Konstitusi tidak adil. Mereka yang dikenal sebagai kelompok ‘kaus merah’ menyatakan akan melakukan unjukrasa besar-besaran pada 10 Mei 2014. Tujuan mereka  jelas, melawan putusan Mahkamah Konstitusi yang melengserkan Yingluck.
Keadaan semakin runyam di Thailand. Unjukrasa berkepanjangan akan terjadi membuat Thailand menjadi labil. Mungkin tiba saatnya bagi Raja Bomibhol Adulyadej turun tangan memanggil pihak-pihak berseteru untuk berdamai dan mencari  ‘win-win solution’. Raja sangat dihormati di Thailand dan dapat menggunakan pengaruhnya untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu.






Kamis, 01 Mei 2014

Indonesia Prihatin Atas Hukuman Mati Massal Di Mesir




Indonesia prihatin atas hukuman mati massal terhadap pengikut-pengikut Ikhwanul Muslimin yang dijatuhkan Pengadilan Mesir baru-baru ini. Menlu Marti Natalegawa menyatakan, “Tanpa sama sekali bermaksud campur tangan urusan dalam negeri Mesir. kami prihatin dengan berita tentang keputusan hukuman mati terhadap 683 warga Mesir pada 28 April dan bulan sebelumnya 529 orang. Indonesia berharap agar proses penegakan hukum tetap bertumpu pada tata nilai dan kaidah-kaidah yang bersifat universal, termasuk dihormatinya azas praduga tidak bersalah dan pemenuhan hak-hak terdakwa dalam proses pengadilan.”
Putusan hukuman mati massal Pengadilan Mesir menuai kritik lembaga pegiat hak azasi manusia  PBB. Human Right Watch mengungkapkan, sidang hanya berlangsung beberapa jam dan pengacara terdakwa dilarang membela kliennya. Komisioner HAM PBB, Navi Pillay, mengeritik pengadilan massal terhadap anggota dan pendukung Ikhwanul Muslimin sebagai pelanggaran hukum hak azasi manusia internasional. Ketua PB NU, KH Said Aqil Siraj dalam jumpa pers Rabu, 30 April 2014 menyatakan putusan Pengadilan Mesir merupakan “kemunduran demokrasi dan prilaku biadab. Selayaknya tidak dilakukan di negara yang berbudaya.” Lebih lanjut PB NU akan berkirim surat kepada pemerintah Mesir, PBB dan Vatikan agar mendorong pembatalan hukuman mati massal tersebut.
Hukuman mati massal terhadap pengikut-pengikut Ikhwanul Muslimin menunjukkan keputusasaan pemerintah sementara Mesir yang didukung militer. Mereka membungkam keberadaan Ikhwanul Muslimin dan menyebutnya sebagai organisasi teroris. Padahal, Ikhwanul Muslimin lah yang berhasil menumbangkan Presiden Husni Mubarak dan menang dalam  pemilu demokratis  dengan mendudukkan Mursi sebagai presiden. Kekuasaan Presiden Mursi tidak berlangsung lama, bulan Juli lalu dikudeta oleh Jenderal Sisi yang ternyata berambisi menjadi presiden. Ia disebut sebagai calon paling kuat dalam pemilihan presiden Mesir mendatang ini. Kelihatan Jenderal Sisi ingin disebut sebagai seorang demokrat karena tidak langsung mengambil alih kekuasaan. Padahal kudeta yang dilakukannya terhadap Presiden Mesir adalah tindakan yang tidak demokratis.
Sikap pemerintah Indonesia ditambah warga Nahdiyin secara khusus, paling tidak akan merupakan kekuatan moral untuk mengoreksi kebrutalan penguasa Mesir yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dalam menyelesaikan masalah di negeri Cleopatra itu.

Sumpah Anwar Fuadi



Pesinetron Anwar Fuadi dalam acara diskusi TV One Selasa, 29 April 2014, bersumpah bahwa ia megikuti  pileg tanpa politik uang (membeli suara) dengan harga tertentu. Sumpah dilakukan  dipandu seorang pengacara  lengkap dengan kitab suci Al Qur’an di atas kepala. Dalam sumpahnya itu Anwar Fuadi bersedia menerima azab Allah di dunia dan akhirat, kalau ia menyatakan sesuatu yang tidak benar.
Dengan mengucap sumpah itu Anwar Fuadi meminta orang yang mengungguli dirinya dalam pileg 9 April 2014 untuk dapil OKI Sumatera Selatan (tidak disebutkan namanya) melakukan hal  sama untuk membuktikan bahwa kemenangannya itu jujur tanpa politik uang. Rupanya Anwar Fuadi yakin benar bahwa dia yang seharusnya menang berdasarkan hasil ‘polling’.
Memperkirakan kemenangan berdasarkan ‘polling’ atau survey memang riskan, sebab hasilnya bisa sesuai  bisa juga tidak. Contohnya, hasil suatu survey sebelum pileg 9 April yang menyebutkan Partai Nasdem akan menjadi partai gurem, ternyata meleset. Kenyatannya partai tersebut masuk 10 besar yang lolos ambang batas parlemen. Begitu juga ketenaran seorang caleg tidak  menjamin kemenangan. Beberapa tokoh yang sangat dikenal wajahnya di DPR, tidak berhasil mendulang suara yang diperlukan untuk kembali ke Senayan. Apakah itu berarti masyarakat pemilih sudah jemu dengan caleg yang terkenal, sehingga memilih wajah-wajah baru yang diharapkan mengutamakan bekerja daripada berbicara di luar gedung DPR.
Walaupun begitu sinyalemen bahwa ada jual beli suara untuk memenangkan seorang caleg, perlu diselidiki kebenarannya. Apa ya, caleg yang kurang perolehan suaranya dapat menambah suara dengan cara membayar sejumlah uang tertentu kepada panitia pemilihan. Konon,seorang caleg yang sekarang masih anggota DPR punya bukti tentang adanya jual beli suara itu. Ini perlu diselidiki oleh pihak-pihak terkait. Kalau memang ada kecurangan, harus dihukum dan yang dirugikan dikembalikan haknya.
Adapun Anwar Fuadi, apakah mungkin dibuktikan bahwa sebetulnya dia berhasil mendulang suara yang cukup namun ‘dialihkan’ kepada caleg lain. Atau, memang perolehan suaranya tidak cukup sehingga kalah. Permintaannya agar caleg yang mengungguli dirinya juga mengangkat sumpah yang sama, tidak harus dilayani karena tidak ada aturannya.