Minggu, 18 Oktober 2015

Mempertanyakan Kader Bela Negara

Presiden Jokowi tanggal 19 Oktober 2015 direncanakan meresmikan pembentukan 4500 pembina kader bela negara yang berasal dari 45 kabupaten kota. Para pembina ini nantinya akan membina lagi kader-kader baru sehingga di seluruh Indonesia nantinya terbentuk 10 juta setiap tahunnya. Targetnya, 100 juta kader hingga 2025.
Gagasan dan sekaligus pelaksana pembentukan kader bela negara ini adalah Kementerian Pertahanan. Tujuannya untukmembina warganegara memiliki wawasan kebangsaan yangluas dan rasa cinta tanah air yang tinggi. Walaupun ada konsentrasi massa, Menhan Ryamizard Ryakudu mengatakan, bela negara tidak sama dengan wajib militer. Pesertanya memang dilatih cara baris berbaris, pengenalan senjata dan Pancasila.
Walaupun bukan mobilisasi umum seperti terjadi ditahun 60an ketika menghadapi Malaysia dan Belanda, orang tetap saja beranggapan bahwa Indonesia sedang menghadapi musuh yang tidak jelas siapa. Mereka yang mendapat pelatihan sebulan dalam program bela negara, tentu akan memperoleh pakaian seragam. Lantas apa tugas-tugas mereka sehari-harinya nanti?

Sebetulnya kita sudah punya organisasi yang para anggotanya adalah PNS, yaitu Pertahanan Sipil atau Hansip. Sesuai namanya, hansip adalah kekuatan rakyat sebagai pembantu kekuatan militer. Tapi kenyataannya, selain cuma memakai seragam setiap Senin, tugas hansip tidak jelas. Yang menjaga keamanan di kantor-kantor pemerintah adalah satpam yang berada di bawah Polda. Nah, kaitannya dengan gagasan bela negara agar memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan rasa cinta tanah air yang tinggi, mengapa bukan hansip saja diperkuat? Organisasi hansip dapat ditingkatkan meliputi instansi-instansi non pemerintah. Kecakapan anggota hansip pun dapat ditingkatkan dengan pelatihan bela diri, pengenalan senjata dan Pancasila.
Kita sependapat kalau program bela negara yang tentu akan menelan biaya besar dipertimbangkan lagi. Jangan sampai tumpang tindih dengan organisasi yang sudah ada.
Lagipula wawasan kebangsaan yang luas dan rasa cinta tanah air, sebetulnya sudah dilakukan dalam kurikulum pendidikan baik di sekolah-sekolah maupun kepramukaan. Rasa cinta tanah air memang tidak kentara dalam keadaan biasa-biasa saja. Baru akan kelihatan kalau ada negara lain yang coba-coba merendahkan martabat bangsa kita. Selain itu kita sendiri harus mawas diri untuk senantiasa menunjukkan rasa kecintaan tanah air itu, misalnya dengan mengutamakan produk-produk buatan dalam negeri.


Jumat, 09 Oktober 2015

Revisi UU KPK Melemahkan Lembaga Tersebut



Draft RUU revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disusun DPR mendatangkan perlawanan mereka yang ingin lembaga pemberantas korupsi itu tetap kuat. Yang dipertanyakan antara lain: Pasal 5 berbunyi, KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundngkan. Pasal 14, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri. Pasal 53, Penuntut adalah jaksa yang berada dibawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan. (KPK tidak lagi memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan.) Itulah beberapa pasal dari delapan pasal yang dinilai melemahkan keberadaan KPK. Revisi UU KPK tersebut diusulkan oleh 45 anggota DPR dari 5 fraksi untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional -Prolegnas- 2015 atas inisiatif DPR. Sebelumnya masuk dalam Prolegnas 2016 atas inisiatif pemerintah. Perubahan inisiatif itu konon demi efektivitas dan efisiensi waktu.
Salah seorang anggota DPR pengusul Revisi KPK menyatakan tujuan mereka adalah menata kembali lembaga-lembaga sesuai dengan fungsinya. KPK adalah lembaga ad hoc yang sifatnya hanya sementara. Karena itulah ditentukan waktunya 12 tahun, saat mana kepolisian dan kejaksaan bisa bekerja dengan baik. Pertanyaannya, apa ada jaminan kepolisian dan kejaksaan pada 2027 sudah bersih dari hal-hal yang menghambat pemberantasan korupsi? Ada pendapat sebaiknya masa waktu keberadaan KPK tidak ditetapkan, melainkan tergantung keadaan nyata di lapangan bahwa kepolisian dan kejaksaan benar-benar bersih dari penyimpangan-penyimpangan. Begitu juga pembatasan wewenang menyadap telpon dan jaksa penuntut tidak masuk dalam struktur KPK, tentu akan memperlambat pekerjaan.
Iktikad baik para pengusul Revisi UU KPK patut dihargai, namun harus dipertimbangkan betul-betul segi realitasnya. Harus ada tolok ukur untuk menentukan bahwa KPK yang bersifat sementara itu suatu hari nanti tidak diperlukan lagi.
Dalam pada itu Revisi UU KPK ini masih akan memasuki tahap pembicaraan dengan pemerintah. Dalam daftar inventarisasi masalah -DIM-, pemerintah dapat menyatakan keberatan atas hal-hal yang dinilai tidak sesuai dengan realitas yang ada

Kamis, 08 Oktober 2015

Anggota DPR Aniaya PRT


Terjadi lagi perbuatan tidak terpuji oleh wakil rakyat yang terhormat, kali ini menganiaya pembantu rumah tangga -PRT- Bagaimana bentuk penganiayaan itu tidak jelas. PRT tersebut sudah mengadu ke polisi yang sampai kini terus menyelidikinya. Anggota DPR berinisial IH, belum diperiksa polisi karena menunggu izin dari Presiden RI.
Sampai ada keputusan pengadilan nanti, IH harus dianggap tidak bersalah atas dasar 'praduga tak bersalah'. Tapi masyarakat sudah lebih dini mengetahui peristiwanya, karena disiarkan oleh media. Biasanya masyarakat cenderung menganggap bahwa penganiayaan itu benar adanya. Kalau tidak masa PRT mengadu ke polisi dan diliput oleh media.
Jika nanti ternyata benar, kita tentu menyayangkan kelakuan wakil rakyat kita yang tidak punya rasa kasihan kepada rakyat kecil. Sebagai wakil rakyat, seharusnya membela rakyat terutama yang lemah seperti PRT. Kalau PRT dinilai sudah keterlaluan, tindakannya sangat tidak menyenangkan, dapat diberikan sanksi, misalnya diberhentikan tanpa menyakiti. Dengan menganiaya, pelakunya bukanlah orang yang bijak lagi tidak berperikemanusiaan. Yang seperti itu, apa pantas menjadi anggota DPR dengan sebutan 'yang terhormat'?
Polisi harus cepat menyelesaikan kasus ini, selain meminta keterangan kepada saksi korban, juga kepada yang terlapor. Permintaan izin pemeriksaan harus diajukan kepada Presiden RI dan presiden jangan menunda memberikannya.
Mungkin polisi dapat menawarkan jalan damai agar tidak usah repot-repot ke pengadilan. Dua hal yang harus dilakukan adalah: pertama terlapor meminta maaf kepada PRT dan kedua, terlapor membayar uang ganti rugi yang pantas. Tapi kalau saksi korban tidak mau berdamai, polisi harus menuntaskan kasus ini sampai ke pengadilan.
Menganiaya PRT bukanlah perbuatan bermartabat. Kita geram ketika mendengar banyak TKI kita di luar negeri dianiaya majikan. Maka ketika hal serupa terjadi di negeri sendiri, tentu harus mendapat perhatian khusus. Jangan dibiarkan saja, seolah hal itu biasa saja.
Bagaimanapun peristiwa anggota DPR menganiaya PRT, disamping menurunkan wibawa pelaku, juga berimbas kepada partai yang mengusungnya untuk duduk di DPR. Partai pengusung bisa dinilai kurang teliti dalam menjaring calon-calon yang benar-benar pantas disebut sebagai 'yang terhormat'.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Meluruskan Sejarah



Hari Kesaktian -Hapsak-  Pancasila 1 Oktober kembali diperingati secara kenegaraan di Lubang Buaya, Jakarta pada 1 Oktober lalu. Ini langkah positif yang dilakukan pemerintah dalam upaya meluruskan sejarah bangsa. Pernah ada keraguan tentang peristiwa di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965, sehingga cukup lama upacara hapsak tersebut tidak diselenggarakan. Bendera merah putih yang biasanya dikibarkan setengah tiang pada 30 September dan satu tiang penuh pada 1 Oktober juga tidak dilakukan rakyat lagi. Lenyap secara diam-diam. Dengan memperingati secara resmi hapsak Pancasila tersebut, jelas bahwa versi peristiwa G 30 S/PKI tetap sama, bahwa kaum komunis adalah dalang dan Lubang Buaya tempat pembantaian para jenderal.
Dalam meluruskan sejarah bangsa, harus benar-benar berdasarkan fakta, bukan hanya analisa-analisa atau juga terkaan belaka. Berkaitan dengan peristiwa G 30 S/PKI banyak beredar isu yang diragukan kebenarannya. Misalnya dalam gelombang demonstrasi yang dipusatkan di Salemba 4, para mahasiswa menyanyikan 'lagu' yang syairnya berbunyi, “Bung Karno Gestapu Agung, mahmilubkan. Hartini Gerwani Agung, mahmilubkan..” Artinya para demonstran mahasiswa waktu itu menuduh keduanya terlibat dalam G 30 S/PKI. Tuduhan itu tidak pernah terbukti karena kedua beliau itu tidak pernah dihadapkan ke pengadilan.
Yang jelas peristiwa G 30 S/PKI menyisakan banyak kesedihan dan kesengsaraan bagi keluarga PKI yang ditangkap dan diasingkan ke pulau Buru. Mereka tidak tahu menahu keterlibatan suami atau orang tua mereka. Namun harus menanggung beban mental karena diasingkan dari masyarakat. Hak-hak mereka banyak yang dikebiri, misalnya tidak diterima menjadi PNS.
Dalam menilai peristiwa G 30 S/PKI, perlu juga dilihat cara-cara menanggulanginya. Misalnya apa sudah pas tahanan rumah yang dialami Bung Karno, pada hal tidak pernah ada proses pengadilan untuk dirinya. Ini semua untuk menjadi catatan sejarah bagi anak cucu kita kelak bahwa pernah terjadi peristiwa tragis di negeri ini, namun dalam menanggulanginya ada yang kurang pas atau tidak sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab seperti tercantum dalam dasar negara Pancasila.