Kamis, 11 Februari 2016

Presiden Jokowi Mengeritik Pemberitaan Media



Presiden Jokowi mengeritik pemberitaan media yang bernada negatif dan tidak membangun optimisme. Memberi sambutan pada Hari Pers Nasional pada  9 Pebruari 2016, ia membacakan sejumlah judul berita yang bisa menimbulkan sikap pesimis seperti: Indonesia akan hancur dan pemerintahan Jokowi-JK akan berakhir. Ini dikaitkan dengan perkembangan perekonomian dunia yang dapat mengancam Indonesia, jika pemerintah tidak mampu mengatasinya. Presiden tidak menyebutkan media cetak atau media elektronik mana yang membuat pemberitaan seperti itu.

Di zaman kebebasan pers sejak reformasi bergulir tahun 1998, ada kecendrungan media untuk menggunakan kebebasan tanpa kendali. Berbagai cara digunakan untuk menarik perhatian masyarakat. Padahal, seperti dikatakan Surya Paloh, kebebasan itu haruslah dengan cara bertanggungjawab.

Insan media adalah WNI yang seharusnya membela kepentingan nasional. Boleh jadi ada kalangan yang menilai pelaksanaan pembangunan Indonesia sekarang ini kurang pas dan mengeluarkan kata-kata yang kurang enak didengar. Mestinya itu jangan diangkat sebagai judul berita, apalagi dengan kalimat yang bombastis. Akan lebih elok jika ada pembanding yang menyatakan sebaliknya. Sebab dalam sebuah diskusi, seminar atau apapun juga namanya, selalu ada pendapat yang berbeda baik yang optimis maupun yang pesimis. Media harus mampu bersikap obyektif, tanpa memihak, apalagi mendukung atau setuju dengan pendapat yang negatif.

Lagi pula, apa ya keadaan Indonesia sekarang ini sangat kritis, sehingga menuju kehancuran? Siapa yang menilai? Bahwa masih banyak rakyat yang belum sejahtera, memang benar adanya. Tapi bandingkan dengan yang sudah sejahtera. Bandingkan pula jumlah rakyat belum sejahtera antara Indonesia dengan India. Masalahnya, upaya memeratakan hasil-hasil pembangunan yang sejak zaman orba sudah dilaksanakan melalui program 8 jalur pemerataan, sampai sekarang belum berhasil. 

Bagaikan penyakit, yang perlu dicarikan adalah terapi yang tepat untuk mengatasinya. Termasuk mencari penyelenggara negara yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan sebaliknya.
Kritik Presiden Jokowi patut direnungkan, agar media mampu membuat pemberitaan yang obyektif dan membangun optimisme.



Minggu, 07 Februari 2016

Kiprah WNI Keturunan Tionghoa






Koran Tempo terbitan 6 Pebruari 2016 mengungkap kiprah WNI keturunan Tionghoa yang ternyata tidak hanya berdagang seperti yang banyak terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Diantara mereka ternyata ada juga yang menjadi pengabdi negara, seperti polisi, dan tentara. Bahkan sekarang ada yang menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta, yaitu Gubernur Ahok.  Dibidang-bidang non dagang ini, keberadaan WNI keturunan Tionghoa sebetulnya bukan barang baru. Dizaman orla Indonesia pernah punya pengacara terkemuka yaitu Yap Tian Hin. Sejak zaman orla pula WNI keturunan Tionghoa ikut serta dalam kabinet.. Ingat Menkeu Oey Tjoe Tat semasa pemerintahan Presiden Sukarno. Ada pula nama-nama lain seperti Kwik Kian Gie dan Mari Pangestu yang muncul dalam pemerintahan-pemerintahan zaman reformasi. Dibidang olahraga, Indonesia pernah muncul sebagai ‘pendekar’ bulutangkis yang tak terkalahkan lewat nama-nama Rudi Hartono, Lim Swie King, Susi Susanti dan lain-lainnya lagi. Dan yang t idak boleh dilupakan keberadan Liong Ho dan Kiet Sek dalam persepakbolaan di tanah air. Bersama pesepakbola legendaris, Ramang, membawa nama Indonesia menjulang di tengah-tengah persepakbolaan dunia.
Di bidang perjuangan mahasiswa ketika menurunkan rezim orla, muncul aktivis-aktivis seperti So Hok Gie dan Liem Bian Kun. Sedangkan sekarang ini WNI keturunan Tionghoa, banyak berkiprah di bidang kesehatan baik yang menjadi sinshe maupun dokter.
Pertanyaannya, mengapa WNI keturunan Tionghoa tidak ada yang mencogok di bidang kemiliteran dan kepolisian? Rasa-rasanya belum pernah ada WNI keturunan Tionghoa yang menjadi Kapolda dan Pangdam. Apakah ada pembatasan dalam pengembangan karier mereka? Bukan prasangka, hanya sekedar bertanya.
Indonesia memang tidak mengenal pembagian kekuasaan berdasar etnis, namun kenyataannya mereka itu ada. Ada keturunan Tionghoa, Arab dan ada juga India. Singapura yang mayoritas penduduknya keturunan Tionghoa. memperlakukan mereka secara seimbang berdasar etnis. Itulah sebabnya Singapura menyelenggarakan siaran Radio dan TV dalam empat bahasa: Inggeris, Cina, Melayu dan India.
Dalam zaman reformasi sekarang ini, setiap penduduk harus mendapat kesempatan yang sama untuk berkarya dan mengembangkan diri tanpa hambatan apapun termasuk etnis.



Selasa, 02 Februari 2016

Lagi Anggota DPR Diduga Menganiaya Orang



Anggota DPR dari fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, dilaporkan ke polisi oleh staf ahlinya, Dita Adita Ismawati, karena menganiaya berupa pemukulan di wajah, sehingga Adita dirawat di rumah sakit dua hari. Kejadiannya, pada 21 Januari 2015 tengah malam  dalam perjalanan dari Cikini ke Cawang. Menurut Dita, ia minta diturunkan dari mobil karena tidak senang dimaki oleh Masinton. Karena mobil yang dikemudikan Abraham Leo tidak mau berhenti, ia menarik setir, sehingga jalannya goyang dan mobil berhenti. Pada saat mobil bergoyang itulah, Masinton memukul wajah Dita, sehingga lebam. Tidak senang diperlakukan kasar, Dita pada dinihari itu juga melapor kepada polisi. Saksi atas adanya pemukulan itu adalah Wibi Andrino, anggota Badan Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Nasdem.
Cerita sebaliknya, menurut Masinton wajah Dita terkena batu cincin  ketika Abraham Leo menepis Dita yang mengamuk minta diturunkan di tengah jalan.
Penasehat hukum Dita, LBH APIK telah dengan resmi melaporkan kejadian tersebut kepada Bareskrim Polri dan Mahkamah Kehormatan DPR.
Pelbagai tanggapan muncul atas peristiwa yang diduga penganiayaan itu. Polisi harus menyelidiki kebenaran laporan Dita secara teliti. Kedua belah pihak harus didengarkan begitu juga saksi-saksi yang ikut dalam mobil itu.
Pertanyaannya adalah, mengapa Masinton sendiri yang ikut menjemput Dita, di sebuah Café di Cikini tengah malam itu? Bukankah sopir saja sudah cukup? Apa benar Dita minta dijemput karena tidak bisa menyetir sendiri? Konon, Dita minta dijemput karena merasa pusing. Apa pula peranan Wibi Andrino, yang anggota Badan Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Nasdem? Pertanyaan-pertanyaan itu sendirinya akan terungkap karena polisi sudah mahir dalam menggali keterangan pihak-pihak terkait.

Sementara itu, masyarakat harus bersabar menunggu hasil pekerjaan polisi, tidak buru-buru menimpakan kesalahan kepada pelapor maupun yang terlapor.

Senin, 01 Februari 2016

Reshuflle Kabinet Masih Tanda Tanya



Reshuffle kabinet yang ramai dibicarakan orang sejak PAN menyatakan bergabung dengan pemerintah September 2015, sampai sekarang belum ada realisasinya. Kemungkinan reshuffle itu mendapat lampu hijau dari Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan para pemimpin parta-partai pendukung pemerintah bulan November 2015. Partai yang baru bergabung, PAN, akan mendapat jatah satu korsi di kabinet. Namun tidak menggusur kadar-kader partai pendukung pemerintah yang sekarang sudah duduk di kabinet. Kalau begitu, apa akan ada kementerian baru atau, jabatan lain yang setingkat menteri?
Dalam pada itu Ketua Majelis Penasehat Partai –MPP- Partai Amanat Nasional, Sutrisno Bachir, baru-baru ini sudah diangkat  Presiden Jokowi menjadi Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional. Belum jelas, apa kedudukan Sutrisno Bachir ini setingkat dengan menteri.
Bagaimanapun, reshuffle kabinet harusnya didasrkan pada kinerja para menteri, bukan karena bergabungnya sebuah partai ataupun rekomendasi DPR. Yang menilai kinerja para menteri itu adalah presiden dengan  berpedoman pada hasil survey yang obyektif. Dalam hubungan ini, memang ada penilaian yang dikeluarkan Kementerian Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang sempat menghebohkan itu. Dimasa silam, reshuffle kabinet itu terjadi karena ketidakserasian antara presiden dengan menteri yang dicopot. Apapun alasannya, presidenlah yang tahu, apa kabinet yang sudah direshuffle sekali itu sudah sesuai dengan keinginan presiden.
Maka, kalau nanti Presiden Jokowi tidak jadi mereshuffle kabinet, tidak ada masalah. Tidak perlu merasa berhutang budi kepada partai yang baru bergabung. Ketua Umum DPP PAN, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa  dukungan PAN tak bersyarat. “Kami tidak dalam posisi meminta, mendesak, apalagi memaksakan kadernya menjadi anggota kabinet,” tegas Zulkifli Hasan

D Academy 3 Sedang Berlangsung

Dangdut Academy 3, khusus Indonesia sedang berlangsung di TV Indosiar. Pesertanya banyak yang usia remaja, mungkin terinspirasi oleh keberhasilan Lesti , 16 tahun,  yang menduduki tempat kedua juara D Academy Asia 2015. Menarik untuk dicatat, diantara para komentator terdapat Fachrulrozi dari Brunai Darussalam yang sebelumnya berkiprah dalam D Academy Asia 2015.
Tampaknya para penyelenggara belum sempat mengadakan evaluasi  D Academy sebelumnya, sehingga hal-hal kurang pas yang menjadi pertanyaan khalayak kembali terulang.
Pertama, tidak ada batasan lagu. Mestinya, lagu-lagu yang dinyanyikan benar-benar lagu yang sejak awal dikemas dalam irama dangdut dengan cirri khasnya bunyi suling dan gendang. Masa ada peserta yeng menyanyikan lagu ‘Bento’nya Iwan Fals yang jelas-jelas bukan berirama dangdut`
Kedua, komentator praktis menjadi pelatih. Peserta disuruh mengulangi bagian tertentu dari lagu yang dinyanyikannya. Dan ada pula yang disuruh menyanyikan lagu lain untuk mengetahui mana yang lebih pas untuknya. Sebaiknya latih melatih itu dilakukan di luar kontes.
Ketiga, komentator menuntut peserta terlalu banyak yang mungkin tidak sesuai kemampuannya. ‘\Saya ingin sesuatu yang baru,” kata seorang komentator. Padahal, seorang peserta hanya wajib menyanyi dengan benar, nada yang sesuai dan enak didengar.
Keempat, para komentator belum sepakat mengenai hal-hal tertentu yang berpengaruh dalam menyanyi dengan baik. Misalnya ada komentator yang minta peserta menaikkan kunci nada. Sementara para komentator lain berpendapat tidak perlu.
Kelima, para pembawa acara terlalu banyak sendagurau, sehingga kesannya seperti main-main.
Mudah-mudahan catatn kecil ini ada manfaatnya.