Minggu, 01 Mei 2016

Para Anggota DPD Ribut Soal Masa Jabatan Ketua



Dewan Perwakilan Daerah –DPD- dalam pembukaan masa sidang 2015-2016 pada 11 April lalu kacau karena ada anggota yang minta waktu membacakan ‘mosi tidak percaya’ yang ditolak oleh pimpinan sidang. Alasannya, tidak ada dalam agenda sidang hari itu. Selain itu Ketua DPD Irman Gusman yang memimpin sidang merasa tidak perlu membacakan isi ‘mosi tidak percaya’, karena mosi seperti itu tidak dikenal dalam sistem parlemen Indonesia. Mosi tidak percaya dilancarkan 60 anggota karena kecewa atas sikap Ketua DPD yang tidak menandatangani Tatib DPD yang disepakati dalam Sidang Paripurna DPD pada Januari 2016. Salah satu butir Tatib DPD baru itu memangkas masa jabatan Ketua menjadi separoh dari yang sekarang, yaitu 2 setengah tahun.
Tidak jelas, siapa penggagas pertama untuk memangkas masa jabatan Ketua DPD. Kenyataannya, gagasan memangkas masa jabatan ketua itu lolos dalam sidang paripurna dengan perbandingan 44 anggota mendukung dan 17 menentang. Juga tidak jelas, mengapa masa jabatan ketua itu dipangkas, padahal menurut kebiasaan, jabatan para ketua lembaga negara adalah 5 tahun. Selain itu apa ada aturannya para anggota DPD sendiri yang mengubah masa jabatan ketuanya. Mengatasi masalah ini diperlukan fatwa dari Mahkamah Agung.

Yang diperlukan DPD sebetulnya bukanlah mengubah masa jabatan ketuanya, melainkan  usaha meningkatkan kinerja yang selama ini tidak jelas hasilnya. Keluhan yang terdengar selama ini, DPD merasa kurang wewenangnya sehingga harus diperkuat melalui amandemen UUD 45. Walaupun begitu, setidak-tidaknya tugas-tugas yang diemban oleh DPD seperti pengawasan atas pelaksanaan UU Otonomi Daerah harus diketahui masyarakat luas. Jadi bukan mengurusi hal-hal yang bukan tugasnya seperti melobi pemerintah Australia sehubungan permintaan suaka  sekelompok masyarakat Papua.