Kamis, 14 Juli 2016

Operasi Militer Untuk Membebaskan Sandera WNI



Lagi, 3 ABK WNI disandera kelompok Abu Sayyaf diperairan Malaysia, di atas kapal berbendera Malaysia. Perompak meminta tebusan 36 milyar rupiah. Penyanderaan terjadi pada 20 Juni 2016, hanya sebulan setelah pembebasan 10 ABK WNI yang disandera oleh kelompok yang sama. Terulangnya penyanderaan WNI dalam waktu singkat, oleh perompak yang sama, menimbulkan pertanyaan: mengapa WNI yang selalu menjadi sasaran? Ada yang menduga, perompak keenakan karena mudah sekali menyandera WNI dengan mendapat imbalan yang sesuai. Padahal, pemerintah menegaskan tidak ada pembayaran dalam pembebasan 10 sandera WNI bulan Mei lalu.
Bagaimanapun perompak Philipina sudah menganggap enteng Indonesia dalam hal ini pihak keamanan. Selain itu juga suatu bukti bahwa kerjasama tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Philipina untuk melakukan patroli bersama, belum terlaksana.
Untuk membuat perompak Philipina jera mengganggu kapal-kapal Indonesia, perlu tindakan tegas berupa operasi militer. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang geram atas terulangnya penyanderaan WNI oleh kelompok Abu Sayyaf menyatakan siap  melakukan operasi militer. Masalahnya, belum dapat izin dari pemerintah Philipina.
Mestinya Philipina kalau tidak mampu membebaskan sandera sendirian, tidak usah gengsi meminta bantuan TNI dengan komando tetap dipegang Philipina.

Usaha berunding dengan pihak perompak, memnng patut diteruskan, kalau tidak memilih operasi milter. Pertanyaannya, apa mereka mau membebaskan sandera tanpa imbalan apapun? Boleh jadi mereka merasa terkecoh karena tidak mendapat imbalan apa-apa ketika membebaskan 10 WNI bulan Mei lalu. Dalam pada itu pihak-pihak yang merasa paling berjasa dalam pembebasan  10 sandera WNI bulan Mei lalu, sekarang ditantang untuk sekali lagi memperlihatkan kemampuannya.

Rabu, 13 Juli 2016

Tindak Lanjut Laporan ICW Kepada MKD



Belum terdengar tindak lanjut laporan ICW kepada Mahkamah Kehormatan Dewan –MKD- DPR pada 30 Juni 2016 tentang pelanggaran kode etik oleh dua anggota DPR masing-masing Fadli Zon dan Rachel Maryam. Fadli Zon dan Rachel Maryam dilaporkan menggunakan katebelece dari setjen DPR berupa surat permintaan kepada kedubes-kedubes RI di Washington dan Paris agar memberikan fasilitas kunjungan kepada keluarga kedua anggota DPR tersebut. Fadli Zon  minta pendampingan bagi putrinya selama berada di New York pada 12 Juni sampai 12 Juli 2016, begitu juga untuk Rachel Maryam selama seminggu berada di Paris pada bulan Maret 2016. Kedua anggota DPR itu dinilai melanggar kode etik tatib DPR yang tidak membenarkan menggunakan jabatan untuk keperluan pribadi. Baik Fadli Zon maupun Rachel \Maryam sudah mengklarifikasi bahwa mereka hanya minta bantuan kepada Kedubes RI dalam batasan wajar, tidak merugikan negara. Fadli Zon malah membayar dua juta rupiah kepada Kosulat RI di New York melalui Kemlu di Jakarta untuk mengganti biaya transport yang dikeluarkan pihak Konsulat RI untuk putri Fadli Zon.
Pihak ICW menjelaskan, tidak meminta kedua anggota DPR itu dipecat melainkan memproses laporan dari masyarakat dalam hal ini ICW kemudian memutuskan apa memang terjadi pelanggaran kode etik.
Tindakan ICW dapat dipahami agar para anggota DPR dan keluarganya yang ke luar negeri menyadari layanan apa saja yang dapat mereka peroleh. Jangan sampai terjadi, permintaan anggota DPR membuat pusing dan menambah pekerjaan Kedubes-kedubes RI. Jangan pula menimbulkan anggapan bahwa anggota DPR dan keluarganya pantas mendapat perlakuan istimewa di luar negeri.

MKD sebaiknya menentukan sikap atas laporan ICW itu.