Rabu, 27 September 2017

Pemutaran Kembali Film G 30 S / PKI

I

Perintah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kepada jajarannya untuk memutar kembali film G 30 S / PKI karya sutradara Arifin C Nur menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Yang pro setuju karena untuk mengingatkan generasi muda  tidak lengah akan timbulnya kembali pengkhianatan serupa. Yang kontra berpendapat film itu
menonjolkan peran Jenderal Suharto sebagai pahlawan, disisi lain Bung Karno sebagai pengkhianat. Padahal film itu berkisah apa adanya, sesuai hasil penelitian yang dilakukan Arifin C Nur. Tidak ada sedikitpun kesan bahwa Bung Karno sebagai pengkhianat. Kesan yang timbul adalah, Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dikhianati PKI yang melancarkan gerakan pembunuhan para jenderal TNI Angkatan Darat pada 30 September malam tahun 1965. Pengamat militer dan guru besar Univeraits Pertahanan Profesor Salim Said berpendapat tidak ada masalah memutar kembali film tersebut karena hanya memperlihatkan fakta sejarah.
Dihentikannya pemutaran film G 30 S / PKI tidak jelas alasannya dan tidak jelas pula atas perintah siapa. Tahu-tahu film itu yang biasanya diputar tiap tanggal 30 September, lenyap dari layar TV.
Gagasan untuk membuat versi baru film G 30 S / PKI patut juga diambut dengan baik sepanjang sifatnya melengkapi data dan fakta yang terjadi saat itu. Jangan sampai meniadakan fakta yang sudah terungkap, apalagi membalikkannya, seolah-olah peristiwa tersebut hanya internal Angkatan Darat menghadapkan Komandan Cakrabirawa Letnan Kolonel Untung dengan apa yang disebut ‘Dewan Jenderal’. Penelitian yang lebih mendalam perlu dilakukan dengan melibatkan para ahli sejarah berdasarkan data dan fakta akurat yang mereka miliki. Ini memerlukan waktu dan biaya yang besar. Tidak masalah, demi keperluan menampilkan sejarah bangsa yang tidak bias oleh pendapat-pendapat tanpa data dan fakta yang akurat. Misalnya masih belum terungkap, apa yang dilakukan Jenderal AH Nasution ketika bermalam di Kostrad. Apa Jenderal Suharto konsultasi dulu dengan atasannya itu sebelum mengumumkan langkah-langkah yang diambilnya untuk memulihkan keadaan.
Film G 30 S / PKI adalah satu dari rangkaian memperingati peristiwa pembunuhan para jenderal Angkatan Darat tahun 1965. Yang lainnya adalah pengibaran bendera merah putih setengah tiang pada 30 September dan apel Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober di Lubang Buaya. Tidak masalah jika kebiasaan tersebut dihidupkan kembali.

.

KPK Tidak Menanggapi Kesimpulan Sementara Pansus Hak Angket DPR



Komisi Pemberantasan Korupsi -KPK- tidak menanggapi kasimpulan sementara Pansus Hak Angket DPR yang diumumkan 16 Agustus lalu. Rupanya KPK konsisten dengan pendiriannya bahwa Pansus Hak Angket DPR itu cacat hukum dan sedang dalam proses uji materi di MK. Tetapi KPK menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR yang bernuansa hak angket. Dalam rapat dengar pendapat itu, KPK diberondong berbagai pertanyaan yang intinya mengungkap ketidakberesan kinerja lembaga anti korupsi itu. Semua pertanyaan Komisi III dijawab dengan jelas oleh para pimpinan KPK. Walaupun begitu pihak Komisi III DPR sering juga kesal dan bersuara tinggi yang melukiskan seolah-olah orang-orang KPK kurang cerdas, misalnya dengan kata-kata: “Lain yang saya tanya, lain pula yang saudara jawab.”  Ucapan pimpinan Komisi III DPR itu dibalas dengan kata-kata:”Tadi sudah saya jelaskan. Bapak saja yang tidak dengar dan tidak mencatat.”
Sebelas butir kesimpulan sementara Pansus Hak Angket DPR antara lain menyatakan bahwa KPK yang dibentuk bukan atas mandat konstitusi akan tetapi UU No. 30 Tahun 2002 sudah seharusnya mendapatkan pengawasan yang ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya (DPR) secara terbuka dan terukur. Pernyataan tersebut membingungkan orang awam yang tidak memahami Hukum dan Perundang-undangan. Bagi orang awam, walaupun tidak tercantum dalam UUD 45, keberadaan KPK tetap saja syah karena dibentuk dengan UU yang disepakati DPR dan Pemerintah. Selain itu menjadi pertanyaan, apa dalam dengar pendapat Komisi III DPR dengan KPK selama ini kurang terbuka dan tidak terukur. Inilah yang harus diluruskan. Dalam dengar pendapat DPR seharusnya ada kesimpulan untuk mengatasi permasalahan yang timbul.
Permasalahannya terletak pada penafsiran sebuah undang-undang. KPK tidak mengizinkan Miryam S Haryani hadir dalam rapat Pansus Hak Angket DPR karena sedang dalam proses hukum di KPK, sesuai perintah UU. Sebaliknya  pihak Pansus Hak Angket DPR menilai kahadiran Miryam S Haryani syah-syah saja demi meluruskan permasalah yang sedang terjadi. Perbedaan penafsiran UU ini bahkan terjadi dikalangan pakar Hukum Tata Negara sendiri. Mantan Ktua MK Mahfud MD berpendapat bahwa KPK tidak termasuk dalam objek yang menjadi sasaran suatu hak angket DPR. Sebaliknya Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa KPK termasuk dalam objek yang menjadi sasaran hak angket DPR karena ‘berada dalam ranah eksekutif’.
Maka MK memang sebaiknya segera memberi kata putus tenatng benar atau tidaknya keberadaan Pansus Hak Angket DPR atas KPK.