Dewan Perwakilan Daerah –DPD- dalam pembukaan masa sidang
2015-2016 pada 11 April lalu kacau karena ada anggota yang minta waktu
membacakan ‘mosi tidak percaya’ yang ditolak oleh pimpinan sidang. Alasannya,
tidak ada dalam agenda sidang hari itu. Selain itu Ketua DPD Irman Gusman yang
memimpin sidang merasa tidak perlu membacakan isi ‘mosi tidak percaya’, karena
mosi seperti itu tidak dikenal dalam sistem parlemen Indonesia. Mosi tidak
percaya dilancarkan 60 anggota karena kecewa atas sikap Ketua DPD yang tidak
menandatangani Tatib DPD yang disepakati dalam Sidang Paripurna DPD pada
Januari 2016. Salah satu butir Tatib DPD baru itu memangkas masa jabatan Ketua
menjadi separoh dari yang sekarang, yaitu 2 setengah tahun.
Tidak jelas, siapa penggagas pertama untuk memangkas masa
jabatan Ketua DPD. Kenyataannya, gagasan memangkas masa jabatan ketua itu lolos
dalam sidang paripurna dengan perbandingan 44 anggota mendukung dan 17
menentang. Juga tidak jelas, mengapa masa jabatan ketua itu dipangkas, padahal
menurut kebiasaan, jabatan para ketua lembaga negara adalah 5 tahun. Selain itu
apa ada aturannya para anggota DPD sendiri yang mengubah masa jabatan ketuanya.
Mengatasi masalah ini diperlukan fatwa dari Mahkamah Agung.
Yang diperlukan DPD sebetulnya bukanlah mengubah masa
jabatan ketuanya, melainkan usaha
meningkatkan kinerja yang selama ini tidak jelas hasilnya. Keluhan yang
terdengar selama ini, DPD merasa kurang wewenangnya sehingga harus diperkuat
melalui amandemen UUD 45. Walaupun begitu, setidak-tidaknya tugas-tugas yang
diemban oleh DPD seperti pengawasan atas pelaksanaan UU Otonomi Daerah harus
diketahui masyarakat luas. Jadi bukan mengurusi hal-hal yang bukan tugasnya
seperti melobi pemerintah Australia
sehubungan permintaan suaka sekelompok
masyarakat Papua.