DPR dalam Sidang Paripurnanya akhir April lalu menyetujui
menggunakan hak angket untuk KPK. Penggunaan hak angket itu disebabkan KPK
tidak mau membuka rekaman pemeriksaan Miryam Haryani dalam kasus korupsi E.KTP.
Alasan KPK, rekaman itu merupakan bagian pemeriksaan penyidik yang hanya boleh
dibuka di Pengadilan.
Rencana DPR itu diprotes oleh banyak kalangan yang
menilainya sebagai usaha pelemahan KPK. Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Denny Indrayana menyebut langkah KPK itu sebagai model baru pelemahan KPK Ketua
Umum PAN yang juga Ketua MPR, Zulkifli Hasan menyatakan akan menarik kader PAN
dari DPR jika ikut menandatangani persetujuan hak angket itu.
Sejumlah aktivis anti korupsi menggalang dukungan terhadap
KPK melalui media sosial. Satu diantaranya melalui laman change org. sudah
mengumpulkan lebih dari 20.000 tandatangan.
Yang menarik untuk disimak pernyataan Ketua Umum Asosiasi
Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Mahfud MD, bahwa
langkah menggunakan hak angket itu tidak syah. Pasal 79 Ayat 3 UU No.17 Th.2004
tentang MPR-DPD-DPR-DPRD menyebutkan DPR hanya boleh menggunakan hak angket
untuk lembaga pemerintah Sedangkan KPK adalah lembaga negara yang independen.
Kalau begitu, masalahnya menjadi rumit, khususny dalam
pelaksanaan hak angket itu sendiri. Bagaimana kalau KPK menolak menanggapi hak
angket DPR itu karena tidak sesuai dengan perintah undang-undang. Mengatasinya,
DPR seyogyanya medengarkan pendapat para pakar hukum tata negara tentang seluk
beluk penggunaan hak angket tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar