Tokoh Reformis, Amien Rais berpendapat bahwa tanpa adaya
oposisi, demokrasinya bohong- bohongan. Ini menarik karena sejak Presiden
Sukarno memberlakukan apa yang disebutnya sebagai ‘demokrasi terpimpin’ sampai
berakhirnya masa orba, sudah tidak ada lagi kelompok oposisi di
DPR. Kaum oposisi ini sangat berperan dalam pertarungan politik di DPR,
sehingga dengan senjata ‘mosi tidak percaya’ pemerintah jatuh bangun berusia
rata-rata di bawah satu tahun.
Orang awam memahami demokrasi sebagai pemerintahan yang dipilih
oleh rakyat, bukan atas titah raja dan keluarga raja. Beberapa negara kerajaan
seperti Inggeris dan Negeri Belanda adalah negara demokrasi karena pemerintahannya dipilih oleh rakyat.
Dalam melaksanakan demokrasi itu terdpat lagi versi dengan membentuk DPR dan
tanpa DPR. Contoh negara-negara yang tidak memiliki DPR adalah Republik Rakyat
Cina dan Republik Demokrasi Korea, Dua negara ini tidak punya kelompok oposisi karena tidak
ada DPRnya. Pertarungan politik terjadi di dalam partai komunis satu-satunya
partai yang ada.
Demokrasi Indonesia sudah ada tuntunannya yaitu UUD 45 dan
dasar negara Pancasila. Namun dalam pelaksanaannya terjadi
penafsiran-penafsiran oleh para tokoh dan pemimpin bangsa dari masa ke masa.
Presiden Sukarno berkeyakinan demokrasi yang cocok untuk Indonesia adalah
‘demokrasi terpimpin’. Terjadilah hal-hal aneh seperti menyamakan kedudukah
aggota DPR dengan menteri, mengangkat Ketua MPRS Chairul Saleh menjadi Waperdam
3 {Wakil perdana Menteri 3}. Presiden
Sukarno sendiri menyebut dirinya sebagai Presiden/Perdana Menteri/Pemimpi Besar
Revolusi. Satu-satunya pemimpin yang berani mengeritik tindakan Presiden
Sukarno itu adalah Mohammad Hatta. Ia menyebut Presiden Sukarno sebagai seorang
‘diktator’. Akibatnya tulisan Hatta berjudul ‘Demokrasi Kita’ dilarang beredar.
Tokoh-tokoh politik lainnya masa itu terjebak dalam sikap ‘mendukung tanpa
reserve’ setiap tindakan politik Presiden Sukarno.
Dalam zaman reformasi ini nyaring terdengar suara beberapa
tokoh yang menyebut Presiden Suharto sebagai ‘otoriter`. Padahal ada DPR dan
MPR. Haya saja dua partai politik P3 dan PDI kalah suara di DPR dengan Golkar
tambah fraksi ABRI yang diangkat. Akbatnya semua program pembangunan pemerintah berjalan mulus tanpa koreksi.
Kalau memang tindakan Presiden Suharto otoriter, seharusnya dua partai politik
yang ada di DPR mengajukan keberatan sekalipun akan kalah juga.
Yang paling baru adalah tuduhan dari kuasa hukum
Pradowo/Sandi di MK bahwa Presiden Jokowi adalah orba-baru degan mengutip pakar
dari Australia. Artinya, Presiden Jokowi otoriter, sehingga mudah menyalahgunakan uang
negara untuk memenangkannya di pilpres
2019.
Pertanyaannya, siapa sebetulnya yang berwenang menilai
pelasksanaan demokrasi di Indoneia, sehingga masyarakat luas tidak terombangambing
oleh berbagai pendapat sejumlah tokoh yang bukan pakar hukum tata negara.
.