Draft RUU revisi UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disusun DPR mendatangkan
perlawanan mereka yang ingin lembaga pemberantas korupsi itu tetap
kuat. Yang dipertanyakan antara lain: Pasal 5 berbunyi, KPK dibentuk
untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundngkan. Pasal
14, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan
setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua
pengadilan negeri. Pasal 53, Penuntut adalah jaksa yang berada
dibawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan. (KPK tidak lagi
memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan.) Itulah beberapa pasal
dari delapan pasal yang dinilai melemahkan keberadaan KPK. Revisi UU
KPK tersebut diusulkan oleh 45 anggota DPR dari 5 fraksi untuk
dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional -Prolegnas- 2015 atas
inisiatif DPR. Sebelumnya masuk dalam Prolegnas 2016 atas inisiatif
pemerintah. Perubahan inisiatif itu konon demi efektivitas dan
efisiensi waktu.
Salah seorang
anggota DPR pengusul Revisi KPK menyatakan tujuan mereka adalah
menata kembali lembaga-lembaga sesuai dengan fungsinya. KPK adalah
lembaga ad hoc yang sifatnya hanya sementara. Karena itulah
ditentukan waktunya 12 tahun, saat mana kepolisian dan kejaksaan bisa
bekerja dengan baik. Pertanyaannya, apa ada jaminan kepolisian dan
kejaksaan pada 2027 sudah bersih dari hal-hal yang menghambat
pemberantasan korupsi? Ada pendapat sebaiknya masa waktu keberadaan
KPK tidak ditetapkan, melainkan tergantung keadaan nyata di lapangan
bahwa kepolisian dan kejaksaan benar-benar bersih dari
penyimpangan-penyimpangan. Begitu juga pembatasan wewenang menyadap
telpon dan jaksa penuntut tidak masuk dalam struktur KPK, tentu akan
memperlambat pekerjaan.
Iktikad baik para
pengusul Revisi UU KPK patut dihargai, namun harus dipertimbangkan
betul-betul segi realitasnya. Harus ada tolok ukur untuk menentukan
bahwa KPK yang bersifat sementara itu suatu hari nanti tidak
diperlukan lagi.
Dalam pada itu
Revisi UU KPK ini masih akan memasuki tahap pembicaraan dengan
pemerintah. Dalam daftar inventarisasi masalah -DIM-, pemerintah
dapat menyatakan keberatan atas hal-hal yang dinilai tidak sesuai
dengan realitas yang ada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar