Lagi, 3 ABK WNI disandera kelompok Abu Sayyaf diperairan Malaysia ,
di atas kapal berbendera Malaysia .
Perompak meminta tebusan 36 milyar rupiah. Penyanderaan terjadi pada 20 Juni
2016, hanya sebulan setelah pembebasan 10 ABK WNI yang disandera oleh kelompok
yang sama. Terulangnya penyanderaan WNI dalam waktu singkat, oleh perompak yang
sama, menimbulkan pertanyaan: mengapa WNI yang selalu menjadi sasaran? Ada
yang menduga, perompak keenakan karena mudah sekali menyandera WNI dengan
mendapat imbalan yang sesuai. Padahal, pemerintah menegaskan tidak ada
pembayaran dalam pembebasan 10 sandera WNI bulan Mei lalu.
Bagaimanapun perompak Philipina sudah menganggap enteng Indonesia
dalam hal ini pihak keamanan. Selain itu juga suatu bukti bahwa kerjasama tiga negara:
Indonesia , Malaysia
dan Philipina untuk melakukan patroli bersama, belum terlaksana.
Untuk membuat perompak Philipina jera mengganggu kapal-kapal
Indonesia ,
perlu tindakan tegas berupa operasi militer. Panglima TNI Jenderal Gatot
Nurmantyo yang geram atas terulangnya penyanderaan WNI oleh kelompok Abu Sayyaf
menyatakan siap melakukan operasi
militer. Masalahnya, belum dapat izin dari pemerintah Philipina.
Mestinya Philipina kalau tidak mampu membebaskan sandera
sendirian, tidak usah gengsi meminta bantuan TNI dengan komando tetap dipegang
Philipina.
Usaha berunding dengan pihak perompak, memnng patut
diteruskan, kalau tidak memilih operasi milter. Pertanyaannya, apa mereka mau
membebaskan sandera tanpa imbalan apapun? Boleh jadi mereka merasa terkecoh
karena tidak mendapat imbalan apa-apa ketika membebaskan 10 WNI bulan Mei lalu.
Dalam pada itu pihak-pihak yang merasa paling berjasa dalam pembebasan 10 sandera WNI bulan Mei lalu, sekarang
ditantang untuk sekali lagi memperlihatkan kemampuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar