Komisi Pemberantasan Korupsi -KPK- tidak menanggapi
kasimpulan sementara Pansus Hak Angket DPR yang diumumkan 16 Agustus lalu.
Rupanya KPK konsisten dengan pendiriannya bahwa Pansus Hak Angket DPR itu cacat
hukum dan sedang dalam proses uji materi di MK. Tetapi KPK menghadiri Rapat
Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR yang bernuansa hak angket. Dalam rapat
dengar pendapat itu, KPK diberondong berbagai pertanyaan yang intinya
mengungkap ketidakberesan kinerja lembaga anti korupsi itu. Semua pertanyaan
Komisi III dijawab dengan jelas oleh para pimpinan KPK. Walaupun begitu pihak
Komisi III DPR sering juga kesal dan bersuara tinggi yang melukiskan
seolah-olah orang-orang KPK kurang cerdas, misalnya dengan kata-kata: “Lain
yang saya tanya, lain pula yang saudara jawab.” Ucapan pimpinan Komisi III DPR itu dibalas
dengan kata-kata:”Tadi sudah saya jelaskan. Bapak saja yang tidak dengar dan
tidak mencatat.”
Sebelas butir kesimpulan sementara Pansus Hak Angket DPR
antara lain menyatakan bahwa KPK yang dibentuk bukan atas mandat konstitusi
akan tetapi UU No. 30 Tahun 2002 sudah seharusnya mendapatkan pengawasan yang
ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya (DPR) secara terbuka dan terukur.
Pernyataan tersebut membingungkan orang awam yang tidak memahami Hukum dan
Perundang-undangan. Bagi orang awam, walaupun tidak tercantum dalam UUD 45,
keberadaan KPK tetap saja syah karena dibentuk dengan UU yang disepakati DPR
dan Pemerintah. Selain itu menjadi pertanyaan, apa dalam dengar pendapat Komisi
III DPR dengan KPK selama ini kurang terbuka dan tidak terukur. Inilah yang
harus diluruskan. Dalam dengar pendapat DPR seharusnya ada kesimpulan untuk
mengatasi permasalahan yang timbul.
Permasalahannya terletak pada penafsiran sebuah
undang-undang. KPK tidak mengizinkan Miryam S Haryani hadir dalam rapat Pansus
Hak Angket DPR karena sedang dalam proses hukum di KPK, sesuai perintah UU.
Sebaliknya pihak Pansus Hak Angket DPR
menilai kahadiran Miryam S Haryani syah-syah saja demi meluruskan permasalah
yang sedang terjadi. Perbedaan penafsiran UU ini bahkan terjadi dikalangan
pakar Hukum Tata Negara sendiri. Mantan Ktua MK Mahfud MD berpendapat bahwa KPK
tidak termasuk dalam objek yang menjadi sasaran suatu hak angket DPR.
Sebaliknya Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa KPK termasuk dalam objek yang
menjadi sasaran hak angket DPR karena ‘berada dalam ranah eksekutif’.
Maka MK memang sebaiknya segera memberi kata putus tenatng
benar atau tidaknya keberadaan Pansus Hak Angket DPR atas KPK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar