Sembilanbelas Juni 2018, saya
mampir di Stasiun RRI Banjarmasin untuk menengok teman-teman yang
sedang bertugas. Libur waktu itu, jadi yang bertugas hanya
teman-teman pemberitaan, para penyiar dinas dan teknisi. Omong-omong
sebentar dengan produser bernama Arun, saya mendapat kesan bahwa RRI
tidak begitu banyak berubah setelah saya tinggalkan pensiun tahun
2001. Masih banyak masalah yang belum terselesaikan yang tidak dapat
saya tulis karena ini menyangkut 'rahasia perusahaan'.
Masuk ke ruangan siaran, sedang
disiarkan acara interaktif dalam bahasa Banjarmasin. Sang penyiar
langsung meminta saya ikut bergabung karena yakin saya mengerti
bahasa Banjarmasin. Maka saya pun terlibat dalam acara itu
menggunakan bahasa Banjarmasin sebisanya saja, secara pasif, layaknya
David Carradine berbahasa Inggeris dalam serial TV 'Kungfu'. Saya
memang mengerti bahasa Banjarmasin karena sejak menikah dengan isteri
saya, orang Banjarmasin, Gusti Syahriah tahun 1972, sehari-harinya
isteri saya berbicara dalam bahasa ibunya itu. Jadi lama-lama saya
mengerti juga. Yang membanggakan saya, ternyata para penelpon berasal
dari berbagai daerah di luar kota Banjarmasin yang ratusan kilometer
jauhnya. Ini berarti RRI masih didengarkan orang di tempat-tempat
yang jauh sekalipun. Saya tidak tahu apa masih ada kawasan 'blank
spot' atau kawasan tidak bisa menangkap siaran RRI. Semasa bertugas
di RRI Singaraja tahun 1992-1997, kawasan 'blank spot' itu mencapai
40%. Ini menurut perkiraan saja. Tidak ada riset untuk itu karena
biayanya sangat mahal.
Saya merenung, seandainya RRI
menyediakan Unit Riset dalam organisasinya, tentu akan lebih baik.
Melalui riset dapat diketahui berapa jam sebetulnya yang diperlukan
sebuah stasiun RRI untuk siaran setiap harinya, acara-acara apa saja
yang diperlukan pendengar. Jadi bukan berdasar perkiraan atau asumsi
belaka. Juga dapat diketahui berapa karyawan yang diperlukan. Tidak
seperti di zaman saya bertugas dulu, stasiun RRI di seluruh
Indonesia punya karyawan rata-rata di atas 100 orang. Sebagai
perbandingan, sebuah stasiun radio daerah di Swedia hanya punya
karyawan 38 orang.
Acara interaktif juga
melibatkan cucu adik isteri saya, Radit, yang menjadi juara 2 Bintang
Radio RRI Banjarmasin. Jadi saya,walaupun orang Minang, adalah juga
kakek atau 'Kai' si Radith. Suasana pun menjadi lebih meriah dengan
kehadiran penyanyi belia yang sedang berjuag meniti kaerier itu.
Satu jam di RRI Banjarmasin
pukul 1100-1200 membangkitkan kenangan ketika bertugas dulu yang
penuh suka duka, berpanas berhujan, tidur di atas meja kantor karena
kemalaman tidak ada lagi angkot Imbalannya ada banyak kesenangan
mulai dari ikut rombongan menteri atau presiden ke daerah-daerah,
bekerja di Negeri Belanda dua tahun dan naik haji abidin tahun 1995.
Tentu saja yang paling penting mendapatkan jodoh di Banjarmasin
melalui kegiatan MTQ Nasional tahun 1970.
Pesan untuk teman-teman di RRI
Banjarmasin: teruslah berjuang dalam keadaan sesulit apa pun
peiharalah Tri Prasetya RRI dan gelorakan semangat 'Sekali di Udara
Tetap di Udara'!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar