Sebuah kegiatan berjudul Kongres Ulama Perempuan Indonesia
–KUPI- akan diselenggarakan di Cirebon
pada 25-27 April 2017. Tujuan kongres adalah untuk mengangkat peranan perempuan
dalam menerapkan ajaran Islam seperti guru agama, ustazah dan pakar yang
berkarya di dunia Islam. Panitia Pengarah KUPI, Badriah Fayumi mengatakan,
ulama perempuan cukup berperan dalam sejarah Indonesia
tapi tidak mendapat porsi yang seimbang dalam pemberitaan media massa .
Sayang, Badriah tidak menyebutkan contoh ulama perempuan yang dapat
disejajarkan dengan tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, dan lain-lain.
Istilah ‘ulama perempuan’ belum banyak diketahui masyarakat
Selama ini jika oramg menyebut ‘ulama’ yang terbayang adalah pria berjanggut, bersorban
dan memakai baju gamis. Biasanya beliau-beliau itu memimpin pondok pesantran
atau memimpin organisasi Islam. Ada
juga yang tidak bersorban seperti Buya Hamka dan Gus Dur almarhum.
Keikutsertaan kaum perempuan dalam memajukan Islam sudah
ditampung dalam organisasi-organisasi yang sudah ada seperti Aisiah di
Muhammadiah dan Fatayat di NU.
Di luar organisasi-organisasi Islam yang sudah ada, ada juga
perempuan penyandang gelar S1, S2 dan S3 bidang Islam yang terjun menjadi
ustazah, memimpin majelis taklim dan muncul di TV.
Menghimpun kaum perempuan untuk meningkatkan dakwah dan
pendidikan Islam, syah-syah saja. Namun yang sedikit mengganjal adalah istilah
‘ulama perempuan’ itu sendiri. Apa tidak bisa dicarikan istilah lain yang lebih
pas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar