Terjadi lagi penganiayaan terhadap wartawan ditengah-tengah
suasana kebebasan pers yang menjadi ciri keberadaan demokrasi Indonesia.
Sejumlah wartawan yang meliput jatuhnya sebuah pesawat TNI AU di area pemukiman
penduduk Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau
pada Selasa, 16 Oktober 2012, dianiaya oleh para prajurit TNI AU, seorang
diantaranya berpangkat Letnan Kolonel. Didik Hermanto, photografer Riau Pos
ditendang, dipiting, dipukul dan dicekik. Kameranya dirampas. Ryan Anggoro,
wartawan Antara diinjak-injak dan kameranya dirampas. Fakhri, kamerawan Riau TV
juga dihajar dan kameranya dirampas. Nasib serupa dialami Muhammad Arifin,
kontributor TV One, dicekik. Selain wartawan ada pula penduduk setempat dan
mahasiswa yang menerima ketupat Bangkahulu dari para prajurit TNI AU yang
garang itu.
Tidak jelas apa alasan tindakan bringas terhadap para
wartawan itu. Bagi para wartawan, meliput suatu peristiwa kecelakaan adalah hal
biasa. Yang memerlukan izin untuk meliput jika ada peristiwa di lingkungan
kompleks TNI, sedangkan tempat jatuhnya pesawat sekitar 3 km dari Lanud Roesmin
Noeryadin. Menurut KASAU Marsekal Imam Safaat, kecelakaan sebuah pesawat tempur
sifatnya memang rahasia. Karena itu masyarakat tidak diperbolehkan mendekat dan
mengambil gambar. Ketentuan seperti itu tampaknya tidak diketahui para wartawan
sehingga merasa bebas untuk meliput. Atau, mungkin juga para prajurit TNI AU
sudah melarang wartawan tapi membandel, sehingga terjadilah peristiwa
penganiayaan itu. Bagaimana pun, apa pun alasannya, penganiayaan itu sendiri
sangat tidak patut. Menyadari hal tersebut, Panglima TNI, KASAU dan prajurit yang menganiaya para wartawan sudah
minta maaf. Di TV tampak mereka rangkul-rangkulan sebagai tanda berdamai.
Apa cukup dengan hanya meminta maaf? Masyarakat berpendapat,
minta maaf saja tidak cukup. Para prajurit yang melakukan penganiayaan harus
ditindak. Itulah sebabnya terjadi unjukrasa di mana-mana. DPR pun bereaksi
mengecam tindakan brutal para prajurit TNI AU. Andai pun para wartawan itu
bersalah karena tidak mengindahkan larangan untuk meliput, seharusnya mereka
ditahan dan diproses secara hukum. Bukan dianiaya. Ke depan, TNI AU harus memasyarakatkan
ketentuan yang mereka buat bahwa tidak dibenarkan
mendekat dan mengambil gambar sebuah pesawat tempur yang jatuh. Tindakan garang
para prajurit TNI sebaiknya untuk musuh saja, bukan bangsa sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar