Peristiwanya sudah lama terjadi yaitu
tahun 1998 berupa unjukrasa mahasiswa berujung dengan pengunduran
diri Presiden Suharto. Jenderal (Purn) Wiranto dituduh dalang
peristiwa tersebut. Yang menuduh adalah anak buahnya sendiri, Mayjen
(Purn) Kivlan Zen dari Kostrad. Alasannya, Wiranto tidak mengerahkan
pasukan untuk mengambil alih gedung DPR/MPR dari tangan mahasiswa.
Dan pada saat genting pada 5 Mei, Wiranto malah meninggalkan Ibukota
pergi ke daerah.
Kepada Aiman Witjaksono dari Kompas TV,
Senin malam 1 Apri 2019 Wiranto menjelaskan, ia justru mengamankan
Ibukota dengan mendatangkan pasukan dari Jawa Timur. Kalau mau ia
dapat mengambilalih kekuasaan dari tangn Presiden Suharto berdasarkan
Surat Perintah yang dikeluarkan presiden. Surat perintah itu memberi
mandat kepada Jenderal Wiranto yang waktu itu menjabat Pangab untuk
memulihkan keadaan. Mirip Super Semar yang dikeluarkan Presiden
Sukarno tahun 1966. Seorang petinggi ABRI, Letjen Susilo Bambang
Yudhoyono bertanya kepada Wiranto, apa akan segera mengambilalih
kekuasaan. Wiranto menjawab tegas: Tidak. Fokusnya adalah mengamankan
peralihan kekuasaan dari tangan Presiden Suharto kepada wakilnya BJ
Habibie.
Dari keterangan Wiranto itu jelas
menunjukkan dirinya seorang demokrat tulen. Ini dibuktikannya dengan
mendirikan Partai Hanura dan ikut dalam pemilihan presiden. Nasib
mujur belum berpihak kepadanya untuk menjadi presiden.
Bagaimanapun generasi penerus
menginginkan sejarah yang bersih dari para pendahulu tidak bimbang
akan suatu peristiwa termasuk tuduhan yang didiamkan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar