Dalam suasana keingintahuan masyarakat luas mengenai
keterlibatan capres Prabowo dalam kasus penculikan para aktivis pada tahun
1998, tiba-tiba muncul fakta baru tentang mantan Pangkostrad itu. Wartawan AS,
Allan Nairn, membocorkan wawancaranya dengan Prabowo pada Juni dan Juli 2001 di
Jakarta. Nairn menilai, Prabowo tidak konsisten karena sikapnya waktu itu tidak
sesuai dengan sekarang. Yang megejutkan adalah, tindakan ABRI membantai 271
penduduk sipil di Santa Cruz, Dlli, TimorTimur pada 12 November 1991.
Kepada Nairn sang jenderal mengatakan
bahwa perintah pembunuhan itu ‘goblok’.
Menurut Nairn, keberatan Prabowo bukan pada kenyataan militer Indonesia telah
membunuh penduduk sipil, melainkan pada fakta pembunuhan dilakukan di hadapan
pers inernasional. Konon, menurut Nairn lagi, Prabowo berucap,
“Komandan-komandan itu bisa saja membantai di desa-desa terpencil, sehingga
tidak diketahui siapapun.” Tidak jelas,
apa Prabowo terlibat dalam peristiwa di Santa Cruz tersebut.
Tidak kalah mengejutkan adalah pendapat Prabowo bahwa
Indonesia memerlukan rezim ‘otoriter lunak’. Contohnya Pakistan semasa diperintah
oleh Jenderal Pervez Musharraf. Pantaslah
ada kalangan yang berpendapat, kalau
berkuasa nanti Prabowo akan
mempraktekkan cara-cara pemerintahan orba.
Nairn juga mengungkap pernyataan Prabowo bahwa ABRI
merongrong pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dengan memfaslitasi teror-teror antar etnik dan agama di Maluku.
Kita tentu saja tidak percaya atas kesaksian Nairn tentang
pernyataan dan pendapat Prabowo pada 2001. Nadanya menyudutkan ABRI dan
memposisikan Prabowo sebagai anti demokrasi. Nairn tentu memfitnah. Hebatnya
Nairn berani mempertangungjawabkan hasil wawancaranya dengan Prabowo itu. Ia
malah menantang Prabowo untuk menyeretnya ke pengadilan Indonesia atas tuduhan
memfitnah. Itu terpulang kepada Prabowo. Membiarkannya berlalu bagai kata
pepatah ‘anjing menggonggong, kafilah berlalu’ atau menyeret Nairn ke pengadilan demi membela nama baik. Bagaimana
pun kesaksian seorang wartawan asing, sedikit banyaknya akan mempengaruhi
fikiran dan sikap calon pemilih dalam pilpres 9 Juli nanti. Suatu kesaksian
akan dianggap benar sampai ada bukti kesaksian itu tidak benar. Mendiamkannya
saja bisa dinilai setuju degan ocehan wartawan AS, Allan Nairn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar