Pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras oleh Pemda DKI
Jakarta menjadi heboh gara-gara adanya hasil audit BPK yang menyatakan negara
dirugikan 191 milyar rupiah. Pihak-pihak terkait memberikan penjelasan kepada
masyarakat dengan sudut pandang yang berbeda. BPK menyatakan audit sudah
dilakukan secara professional, sedangkan Gubernur DKI, Ahok, bersikeras tidak
ada pelanggaran dalam proses jual beli tersebut. Dirut RS Sumber Waras, Abraham
Tejanegara, mendukung keterangan Gubernur Ahok dan menegaskan tidak ada
kerugian negara dalam jual beli tersebut.
Masalah ini menarik perhatian DPR dengan terus
menyelidikinya. Dalam hal ini Komisi III DPR menjadwalkan kunjungan ke BPK pada Selasa 19 April 2016. Untuk maksud
yang sama, Waka DPR Fadli Zon merasa perlu mendatangi RS Sumber Waras pada 18 April 2016 .
Komisi Pemberantasan Korupsi –KPK-, juga ikut bergerak untuk
menyelidiki ada tidaknya korupsi dalam jual beli sebagian lahan RS Sumber Waras
itu. Untuk itu KPK sudah meminta keterangan Gubernur Ahok dalam proses tanya
jawab selama 12 jam.
Masalahnya menarik karena masing-masing pihak merasa benar. Siapa
yang punya kewenangan menilai mana yang paling pas dari pihak-pihak yang sama
merasa benar itu?
Selama ini tidak ada yang meragukan hasil audit BPK Walaupun
begitu, memang perlu diteliti kembali di mana letak perbedaan. Audit BPK
dilakukan petugas yang bisa saja keliru dalam menentukan sesuatu, misalnya
letak lahan yang dipermasalahkan. Sebab perbedaan letak lahan akan mengakibatkan perbedaan harga. Yang
harus diputuskan, letak resmi lahan. Ini harusnya dengan merujuk sertifikat RS
Sumber Waras yang mencantumkan hal tersebut.
Nah mampukah DPR menjadi penengah, sehingga jual beli
sebagian lahan RS Sumber Waras itu menjadi terang benderang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar