Presiden Jokowi menurut rencana akan bertemu dengan para
menlu dan panglima militer Malaysia dan Philipina pada awal Mei 2016 untuk
membicarakan cara-cara mengatasi perompakan di laut perbatasan ketiga negara.
Belakangan ini kegiatan para perompak semakin meningkat dengan tujuan utama
meminta uang tebusan yang tidak sedikit. Gagal mendapat uang tebusan, para
perompak membunuh sandera. Ini tidak bisa dibiarkan. Ketiga negara perlu
bekerjasama mengatasinya. Salah satu gagasan yang mengemuka adalah mengadakan
patroli bersama di laut yang rawan perompakan, khususnya di sekitar kepulauan
Sulu. Dalam hubungan ini kapal-kapal patroli ketiga negara hendaknya bebas
memasuki wilayah perairan tempat para perompak melarikan diri. Sebab kalau
hanya sampai perbatasan laut negaranya sendiri, perompak sempat lolos sedangkan
kapal patroli dari negara tempat laut berada masih jauh. Namanya kerjasama,
seyogyanya kapal-kapal patroli Indonesia
dibenarkan masuk laut Malaysia
dan Philipina, begitu juga sebaliknya.
Yang paling penting sekarang adalan usaha membebaskan para
sandera WNI yang ditawan kelompok Abu Sayyaf di wilayah Philipina. Pemerintah
Philipina tampak bekerja keras menggempur para perompak, namun belum berhasil.
Mestinya, pemerintah Philipina berfikir realistis dengan meminta bantuan
militer Indonesia .
Komando pembebasan tetap dipegang oleh militer Philipina, sedangkan militer Indonesia
hanya sebagai pendukung. Ini juga berlaku sebaliknya, jika ada warga negara
Philipina atau Malaysia
yang disandera perompak di wilyah laut Indonesia .
Dalam pertemuan antara Presiden Jokowi dan para menlu dan
panglima militer Malaysia
dan Philipina nanti semoga membuka hati dan fikiran untuk melakukan kerjasama yang
realistis dan praktis. Walaupun, masing-masing negara punya konstitusi yang
tidak mengizinkan militer asing beroperasi di dalam negeri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar