Pidato adalah kegiatan seseorang menjelaskan pendiriannya
secara resmi di hadapan khalayak tertentu. Misalnya sambutan tuan rumah dalam
suatu pertemuan internasional. Selain mengucapkan selamat datang kepada para
tamu, tuan rumah juga mengungkap arti penting pertemuan. Materi pidato
bermacam-macam, tergantung sifat pertemuan itu sendiri.
Dimasa silam, ada pidato yang diucakan dengan berapi-api
untuk membangkitkan semangat khalayak. Model ini biasanya dilakukan tokoh-tokoh
besar untuk mengajak bangsanya menyadari keberadaan dirinya. Ingat ucapan Bung
Karno dalam salah satu pidatonya, “Berulang-ulang kukatakan, kita bukan bangsa tempe
kataku. Kita adalah bangsa besar! Jangan takut menghadapi nekolim. Jangan takut
tidak dibantu oleh nekolim. Go to hell with your aid!” Begitu kurang lebih
ucapan beliau. Rayat pun bersorak sorai. Tidak perduli hujan turun. Bung Karno
memang orator ulung, mampu membuat pendengarnya terpesona. Bahkan setiap habis
berpidatp, kekuatan sospol yang ada pada waktu itu menyatakan ‘mendukung tanpa
reserve’. Beliau dapat disejajarkan dengan orator-orator ulung lainnya seperti
Hitler dan Nikita Kruschov.
Zaman berubah ketika Jenderal Suharto mengambilalih
kepemimpinan nasional. Beliau bukan orator. Sebab itu pidatonya terdengar
datar, tanpa irama, tidak meledak-ledak. Gaya
berpidato Suharto itu diikuti oleh kebanyakan tokoh masa orba, kecuali beberapa
orang seperti: Harmoko dan Abdul Gafur.
Pertanyaannya, masih perlukah sekarang ini seorang tokoh
berpidato dengan berapai-api? Rakyat Indonesia
semakin cerdas, mampu menilai mana pidato yang berisi, mana pula yang asal
bunyi (asbun).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar