Partai Keadilan Sejahtera –PKS- memecat kadernya, Fahri
Hamzah yang wakil ketua DPR, bukan karena korupsi atau kelakuan tak senonoh,
melainkan tidak disiplin dan sikap dan pendapatnya tidak sejalan dengan
kebijakan partai. Fahri Hamzah disebut sering menyatakan hal-hal bersifat
kontra produktif dan kontroversial. Diantaranya yang terkenal keinginannya
membubarkan KPK, padahal PKS tidak merekomendasikannya.Begitu juga pendapat
Fahri Hamzah bahwa tunjangan anggota DPR kurang, padahal pimpinan PKS setuju
untuk tidak menaikkan tunjangan anggota DPR. Yang paling mengundang tanya
adalah sikap Fahri Hamzah yang membela mantan ketua DPR, Setya Novanto dalam
kasus pertemuan dengan bakal calon presiden AS dari Partai Republik, Donald
Trump dan permintaan saham PT Freeport.
Tanggapan Fahri Hamzah, menyatakan tidak bersalah dan akan
menggugat DPP PKS secara hukum. Apa ia akan berhasil, wallahua’lam bissawab.
Perlu dicatat, pemecatan seorang anggota partai merupakan masalah dalam partai
itu sendiri. Biasanya, yang disingkirkan membentuk partai baru sebagai
tandingan, bukan membawanya ke pengadilan.
Keputusan DPP PKS memecat Fahri Hamzah itu ternyata sudah
diproses sejak September 2015 melalui tahapan-tahapan, sesuai AD/ART partai
tersebut. Dalam tahapan-tahapan itu rupanya Fahri Hamzah tidak kooperatif
seperti: tidak menghadiri sidang Majelis Tahkim (Mahkamah Partai) yang
diselenggarakan beberapa kali. Padahal ia punya kesempatan membela diri atas
tuduhan bersikap tidak sejalan dengan kebijakan partai.
Tindakan PKS memecat kadernya yang sedang duduk di DPR,
mengingatkan kita bahwa seorang anggota DPR sepatutnya menahan diri dalam
berpendapat, tidak bebas menurut selera sendiri. Seorang anggota DPR diutus
oleh sebuah parpol untuk menyuarakan aspirasi rakyat yang sudah diformulasikan
dalam misi dan visi partai tersebut..Jadi memang aneh kalau seorang anggota DPR
menyatakan setuju terhadap suatu kebijakan, padahal pimpinan partai yang
mengutusnya menyatakan sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar