Pemerintah Republik Rakyat Cina –RRC- tersinggung atas
pernyataan kelompok negara maju G7 dalam pertemuan mereka di Hiroshima ,
Jepang, pada Senin 11 April 2016. Para menlu G7
(Inggeris-Kanada-Perancis-Jerman Italia-AS-Jepang) menekankan pentingnya
mempertahankan hukum laut internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB
–UNCLOS- Mereka menolak keras setiap tindakan intimidasi , pemaksaan ataupun
provokasi unilateral yang mengubah status quo dan meningkatkan ketegangan.
Lebih jauh para menlu G7 mendesak semua negara agar menahan diri dari tindakan
seperti reklamasi lahan, membangun pos-pos dan menggunakannya untuk keperluan
militer.
RRC sama sekali tidak mencuat dalam pernyataan para menlu G7
namun jelas ditujukan kepada negara itu. RRC telah mereklamasi perairan di
sekitar kepulauan Spratly dan Paracel yang masih dalam sengketa dengan beberapa
negara di kawasan Laut Cina Selatan. Dan yang paling seru adalah pembangunan
peluncur rudal dan sistem radar di Pulau Woody, Kepulauan Paracel.
Menanggapi pernyataan para menlu G7 pemerintah RRC melalui
jubir luar negeri Lu Kang mendesak G7 menghormati komitmen untuk tidak berpihak
dalam isu-isu sengketa wilayah. Artinya, RRC merasa tindakannya mereklamasi
kepulauan Spratly dan Paracel benar adanya dan G7 tidak perlu campur tangan.
Kenyataannya, RRC jalan terus dengan program membangun
pertahanan di kepulauan Spratly dan
Paracel, tidak perduli dengan keberatan negara-negara yang merasa berhak di
kawasan itu. RRC juga meremehkan keberatan G7 yang dianggap campur tangan.
Lantas, apa solusinya? Inilah pertanyaan besar yang belum
ditemukan jawabannya, khususnya oleh negara-negara yang ikut mengklaim Spratly
dan Paracel sebagai wilayah mereka. Himbauan-himbauan seperti dilakukan G7
ternyata tidak mampu mengubah pendirian RRC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar