Gubernur DKI Jakarta, Ahok, pada Kamis 16 Juni 2016 di
Balaikota, marah-marah ketika ditanya seorang wartawan. Pertanyaan wartawan itu
dinilai Ahok mengadu domba. Awalnya wartawan menanyakan tentang tudingan
seorang anggota DPR dari Komisi III bahwa relawan Ahok menerima dana 30 milyar
rupiah dari pengembang reklemasi Teluk
Jakarta. Ahok membantahnya. Lantas menyatakan, tidak mungkin ia melakukan
korupsi. Ia seorang pejabat bersih yang sejak lama anti korupsi. Pernyataan
Ahok itu dikomentari seorang wartawan: “Kalau begitu tidak ada pejabat sehebat
bapak?” Pertanyaan tersebut membuat Ahok naik pitam. Ia melarang wartawan itu
untuk datang lagi ke Balaikota. Ahok
juga menegaskan tidak mau ditekan-tekan media. “Saya tidak takut kepada
kalian!” Jadi wartawan-wartawan lainnya juga kena imbasnya.
Substansinya adalah: wartawan mengadu domba. Ini mestinya
yang diusut benar tidaknya, bukan marah-marah dan mengusir wartawan. Berhadapan
dengan wartawan ada etikanya. Nara
sumber boleh tidak menjawab pertanyaan dengan mengatakan: no comment` Nara
sumber juga punya hak jawab di media jika merasa sebuah pemberitaan tidak
benar. Bahwa Ahok seorang pemarah, tidak dapat dipungkiri. Sudah sering ia
marah-marah di depan umum. Pertanyaannya, apa dengan marah-marah itu masalahnya
jadi selesai. Untungnya Ahok cuma marah-marah dengan ucapan-ucapan yang pedas.
Tahun 1968, di Makassar, ada Walikota yang selain pemarah juga main tempeleng.
Tahun 70an ada Gubernur yang menyelenggarakan Jumpa Pers, hanya untuk menempeleng
wartawan yang tulisannya memojokkan sang Gubernur. Yang kita perlukan sekarang
ini adalah pemimpin yang selain bersih juga mampu mengendalikan marah sebagai
tanda orang yang bertaqwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar