Mahkamah Kehormatan
DPR yang menyelidiki pertemuan Pimpinan DPR, Setya Novanto dan Fadli
Zon di New York dengan bakal calom presiden AS dari Partai Republik,
Donald Trump, awal bulan September 2015 mulai mendapat ganjalan.
Pihak pimpinan DPR dan kesekjenannya mensyaratkan, Mahkamah
Kehormatan harus mendapat izin dari pimpinan lembaga tersebut untuk
melakukan penyelidikan seperti itu. Mudah ditebak, jika itu
dilakukan, izin tidak akan diberikan dan kedudukan Mahkamah
Kehormatan menjadi tidak independen lagi. Dalam hal ini perlu dilihat
lagi UU yang mengaturnya, apa memang perlu ada izin seperti itu.
Kalau tidak ada ketentuan itu, Mahkamah Kehormatan DPR jalan saja
terus.
Pertemuan pimpinan
DPR dengan Trump dalam kesempatan jumpa publik itu, dinilai melanggar
etika oleh sejumlah anggota DPR lantas mengadukannya kepada Mahkamah Kehormatan untuk menyelidikinya. Pertemuan tersebut menunjukkan,
pimpinan DPR seolah-olah mendukung salah satu pihak yang sedang
bertarung memperebutkan kursi presiden AS. Padahal, sebagai tamu dari
negara sahabat yang sedang berkunjung, kurang pas melakukan hal
tersebut. Calon-calon dari Partai Republik dan Partai Demokrat,
sama-sama sahabat Indonesia. Apalagi kesan dukungan tersebut
diberikan oleh pimpinan DPR, seolah-olah rakyat Indonesia yang tidak
tahu menahu, ikut mendukung Trump.
Pertemuan itu
sendiri tidak masuk dalam agenda kunjungan sejumlah anggota DPR yang
menghadiri Sidang Parlemen Internasional. Jadi merupakan inisiatif
pribadi untuk mengisi waktu. Kalau para anggota DPR yang hadir di
situ duduk diam-diam di belakang sekedar mengetahui suasana kegiatan
kampanye bakal calon presiden AS, mungkin tidak menjadi masalah.
Masalahnya, Setya Novanto dan Fadli Zon duduk di depan dan
diperkenalkan secara resmi oleh Trump. Ia menyebut Setya Novanto
sebagai 'orang besar' dari Indonesia. Tidak hanya memuji, Trump
bertanya apa rakyat Indonesia menyukai dirinya? Dijawab Setya
Novanto: ya!
Dalam UU No.17 Th
2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD memang disebutkan adanya fungsi diplomasi anggota DPR. Ini perlu
diperjelas, diplomasi seperti apa. Apa diplomasi itu dilakukan dalam
rangkaian agenda kunjungan yang sudah diatur, atau boleh di luar itu.
Bagaimanapun, karena
sudah dipersoalkan oleh anggota-anggota DPR sendiri dan MahkamahKehormatan juga sedang bekerja, masalah pertemuan pimpinan DPR dengan
bakal calon presiden AS Donald Trump, harus dibuat terang benderang.
Ke depan, para pejabat publik yang berkunjung ke luar negeri, diharapkan benar-benar bertugas sesuai fungsinya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar