Dulu yang menarik perhatian masyarakat terhadap dokter
adalah tulisan. Kalau dikatakan ada orang yang tulisannya seperti tulisan
dokter, itu berarti sulit dibaca dan dimengerti. Dan sampai sekarang tetap
begitu. Yang mengerti tulisan dokter dalam kertas resep obat hanya apoteker.
Keluhan pasien yang berobat di rumah-rumah sakit pemerintah
adalah bahasa yang digunakan dokter. Umumnya sangat minim memberi keterangan.
Ketika ditanya seorang pasien, “Apa model penyakit saya ini bisa sembuh, dokter?”
Jawabnya sangat singkat, “Ini lagi diobati.” Padahal jawaban yang diperlukan
adalah kejelasan, apa menurut pengalaman sembuhnya cepat atau lambat.
Bagi yang SDnya tahun 50an (waktu itu namanya SR), sudah
diajarkan oleh guru untuk menyebut dua istilah yang berhubungan dengan buang
hajat yaitu: buang air kecil dan buang air besar. Istilah buang air besar sekarang
disingkat be a be. Tapi yang satu lagi diucapkan secara vulgar: kencing.
Seorang dokter berucap kepada pasiennya yang lansia, “Bapak akan saya beri obat
supaya terkencing-kencing…” Itu diucapkan dengan cukup keras, sehingga
terdengar oleh pasien-pasien lainnya yang sedang menunggu giliran. Sang dokter
rupanya lupa, seorang pasien tidak mau atau malu kalau penyakitnya diketahui
orang lain. Dokter sebenarnya bisa menginformasikan dengan suara pelan, “Jangan
kaget ya Pak. Setelah minum obat ini buang air kecilnya nanti akan sering…”
Selain bahasa yang kurang teratur, pada umumnya dokter
menghadapi pasien secara pukul rata: seperti menghadapi anak-anak. Alangkah
eloknya kalau dokter mempertimbangkan keadaan pasien yang beragam. Diantara
pasien itu, mungkin ada yang pangkat PNSnya lebih tinggi dari pangkat PNS sang
dokter. Kalau tidak menghargai dari segi ketuaan, setidaknya menghargai
senioritas PNS. Tidak minta dihormati, melainkan minta disapa dan diberi
penjelasan yang menyejukkan. Dalam pada itu kita salut kepada dokter yang selalu menggunakan bahasa yang enak dan
sikap simpatik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar