Gubernur Nonaktif DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,
Rabu16 November 2016 dinyatakan tersangka kasus penistaan agama, merupakan
kesimpulan dari gelar perkara yang diselenggarakan Bareskrim Polri sehari
sebelumnya. Keputusan menjadikan Ahok tersangka itu tidak bulat karena baik
team penyelidik Polri maupun para saksi ahli memiliki dua pendapat yang saling
berbeda. Tapi mayoritas berpendapat bahwa kasus Ahok memang memiliki unsur
pidana. Gelar perkara yang diselenggarakan terbuka terbatas itu memenuhi
perintah Presiden Jokowi agar kasus Ahok dilakukan secara terbuka. Semua pihak diminta untuk menghormati hasil
gelar perkara, menunggu proses pengadilan yang akan dilalui Ahok nanti. Ada
desas-desus bahwa unjuk rasa lebih besar akan sigelar lagi jika hasil gelar
perkara tidak memuaskan. Kapolri menyatakan tidak perlu ada lagi unjuk rasa.
Hal sama juga diserukan oleh Ketua PB NU Said Agil.
Masalahnya, jika masih juga terjadi unjuk rasa setelah nanti
pengadilan memutuskan vonis yang mungkin dinilai tidak sesuai dengan keinginan
pengunjuk rasa, tentu pihak keamanan harus siaga untuk bertindak tegas. Sebab
pada malam 4 November 2016 ,
sekelompok pengunjuk rasa yang tidak membubarkan diri, di depan gedung DPR-MPR,
melalui koordinator lapangannya menyatakan: jika kasus Ahok tidak selesai dalam
tiga minggu, akan terjadi revolusi! Ini tentunya harus diwaspadai oleh polisi,
dicari tahu kelompok mana yang berada di depan gedung DPR-MPR dan harus ditanya
apa yang dimaksud dengan revolusi. Kata ‘revolusi’ punya keterikatan dengan
politik, sedangkan kasus Ahok adalah murni kasus hukum. Ummat Islam jangan
sampai terpancing dengan hal-hal yang dapat menggoncang keberadaan NKRI.
Dalam pada itu, kasus Ahok harus menjadi peringatan juga
bagi para pejabat publik lainnya untuk berhati-hati bicara agar tidak
menimbulkan kericuhan di dalam masyarakat. Pepatah lama, ‘mulutmu harimaumu’
sekarang sedang dialami oleh Ahok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar