Kelirumologi, ‘ilmu’ yang mempelajari kekelruan dalam
pengunaan istilah, diseminarkan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
di Jakarta pada 19 September 2014,
dengan penyelenggara Jaya Suprana yang tokoh MURI itu. Belum ada berita tentang
hasil seminar tersebut. Sementara itu seminar telah membuat Mahmud MD menulis
di sebuah koran tentang ‘Kelirumologi Dalam Hukum’. Ini menarik. Jaya Suprana
yang semula mecetuskan istilah ‘kelirumologi’ terbatas pada soal penggunaan
sebuah kata yang keliru, berkembang menjadi keliru dalam menggunakan dan
bertindak dalam berbagai kegiatan. Keliru, namun dianggap benar karena sudah
biasa.
Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita lihat pria Muslim menyandangkan
kain di bahu pergi ke mesjid atau mushalla. Ada yang menjadikan kain itu
sebagai sal dan ada pula yang menggunakannya sebagai sajadah. Padahal, kain itu
di negeri asalnya, Arab Saudi, dililitkan di kepala yang dikenal sebagai
‘serban’.
Dalam penggunaan sebuah kata, yang sering terjadi
akhir-akhir ini adalah penggabungan kata asing dengan awalan bahasa Indonesia.
Contoh: dimention, mengexplore, mengelaborasi
yang maksudnya disebut, menggali dan menguraikan.
Kekeliruan banyak terjadi di
bidang politik. Coba perhatikan, dalam UUD 45 tidak ada fasal yang
mengatur pemerintahan RI secara parlementer dengan seorang Perdana Menteri.
Kenyataannya, bulan Oktober 1945 terbentuk pemerintahan yang dipimpin seorang
Perdana Menteri. Keberadaan PM itu terus berlanjut sampai akhir pemerintahan
orla. Ingat, Sukarno adalah Presiden merangkap PM dengan beberapa orang
Waperdam. Anehyna lagi, salah seorang Waperdam itu adalah Chairul Saleh yang
Ketua MPRS.
Dizaman reformasi muncul istilah ‘koalisi’ dan ‘oposisi’
yang juga tidak diatur dalam UUD 45. Koalisi adalah gabungan partai-partai yang
berada dalam pemerintahan dan di pihak lain gabungan partai-partai di luar
pemerintahan. Yang di luar pemerintahan, menamakan dirinya ‘oposisi’. Barulah
menjelang pilpres 2014 PDIP dan partai-partai pendukungnya menamakan diri
‘kerjasama’ dan ‘oposisi’berganti dengan ‘penyeimbang’. Walau pun begitu kaum
poltikus dan pengamat politik masih saja menggunakan istilah ‘koalisi’ dan
‘oposisi’. Supaya ada keseragaman pengertian, sebaiknya ada semacam aturan yang
menjelaskan makna dan penggunaan kata-kata baru supaya tidak keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar