Pada Kamis sore, 31
Desember 2015, dua warga perumahan Sari Gaperi Bojong Gede, Bogor, D
dan M saling menyapa.
“Nggak pergi ke
Ancol?” tanya D.
“Ngapain?” jawab
M.
“Merayakan tahun
baru” kata D lagi.
“Ah ngapain
jauh-jauh ke Ancol. Di sini juga tahun baru akan lewat.”
Keduanya sepakat,
kehadiran tahun baru tidak perlu dirayakan. Cuma perobahan waktu
setelah 12 bulan berlalu. Mereka juga tidak mengerti mengapa harus
gembira menyambut keberadaan tahun baru. Tidak ada perubahan apa-apa
dalam kehidupan mereka, selain dari mengurangi jatah umur yang
ditentukan Allah SWT. Kesejahteraan hidup tidak akan meningkat dengan
keberadaan tahun baru.
Orang bergembira
biasanya dengan beberapa alasan. Pertama berhasil mencapai kemajuan
dalam bidang tertentu. Misalnya Tentara Irak pantas bergembira karena
berhasil menghalau ISIS dari Ramadi. Kedua, memperoleh sesuatu yang
baru seperti mobil atau rumah baru. Nah, kalau dibawa ke dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, prestasi apa yang sudah diperoleh
selama tahun 2015? Di bidang kesejahteraan, rakyat kita masih dibawah
negara-negara tetangga Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Di
bidang politik, terjadi kegaduhan di dalam kabinet maupun antara
kabinet dengan DPR. Untuk pertama kalinya, seorang Ketua DPR lengser
karena pengaduan seorang anggota kabinet. Di dalam kabinet sendiri,
antara seorang Menko dengan Menteri dalam jajarannya, tidak cocok,
sehingga masyarakat umum mengetahuinya. Sesuatu yang baru? Tidak ada
yang baru dalam usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat. Harga-harga
sembako melambung, sedangkan penghasilan tidak bertambah. Kaum buruh
berdemo meminta kenaikan upah. Jangan dikata lagi PNS yang dari zaman
orba tetap saja punya penghasilan 'paspasan' atau gaji hanya tahan
untuk sepuluh hari. Yang 20 hari lagi, terpaksa cari tambahan di luar
jam kerja. Padahal mereka adalah 'ujung tombak' pemerintah dalam
melaksanakan pembangunan. Suasana tidak sehat akibat mencari
penghasilan tambahan tetap berlanjut. Belum ada inisiatif mencontoh sistem
penggajian di negara lain yang lebih realistis.
Yang tertinggal dari
kehadiran tahun baru hanyalah harapan, segala sesuatu akan lebih baik
daripada tahun sebelumnya. Kalau cuma mengharap, tidak perlu pesta
musik, tari dan kembang api. Coba biaya untuk keperluan menyambut
tahun baru itu dikumpulkan di seluruh Indonesia, tentu bermanfaat
untuk memperbaiki gedung-gedung sekolah yang rusak dan
jembatan-jembatan yang putus.