Kamis, 24 Desember 2020

Revolusi Mental Dan Revolusi Akhlak


Diawal masa jabatannya tahun 2014, Presiden Joko Widodo mencanangkan revolusi mental untuk mempercepat  laju pembangunan nasional.Tidak ada rincian seperti apa pelaksanaannya.Tujuannya, mungkin dapat  ditafsirkan: untuk mengubah mental rakyat Indonesia dari  malas menjadi rajin, dari tidak berdisiplin menjadi  berdisiplin dari  santai menjadi giat bekerja dan seterusnya. Ringkasnya, mengubah sikap mental yang negatif menjadi positif.

Kenyataannya sekarang  dalam hal pelayanan umum, sudah banyak perubahan. Misalnya mengurus  KTP dan akte kelahiran. Di kantor Walikota Depok, lamanya waktu pengurusan kedua dokumen itu tercantum didinding. Kalau tidak sesuai, masyarakat  boleh mengadu kepada instansi yang lebih tinggi. Sejauh ini belum ada masyarakat  yang  mengeluh. Itu berarti  semua  berjalan lancar  sesuai  peraturan. Intinya adalah, ada kesadaran petugas  memenuhi  hak masyarakat untuk memperoleh dokumen-dokumen yang  diperlukan. Selain itu ada peraturan yang mendukung  tentang lamanya masa pengurusan, sehingga menutup  kemungkinan petugas berleha-leha.

Menimbulkan kesadaran  petugas bekerja dengan baik sesuai prosedur sehingga masyarakat mendapatkan haknya dengan mudah, memang  sulit. Diperlukan pembinaan yang  terus menerus dari pihak atasan disertai pengawasan yang ketat .Tindakan tegas diperlukan jika ada petugas yang bekerja tidak sesuai dengan peraturan  yang  ada.

Pembinaan yang terus menerus inilah yang perlu dilakukan termasuk  pelatihan-pelatihan di balai-balai diklat. Disinilah letaknya kawasan revolusi mental itu. Metode-metode baru dalam pelayanan umum harus terus diperkenalkan.Misalnya pendaftaran berobat  ke dokter melalui on line.Pihak RS harus siap dengan petugas dan sarana yang diperlukan. Jangan sampai  terjadi  dalam pelayanan on line itu pemesan mendapat  jawaban: “nomor yang  anda hubungi  sedang dialihkan, cobalah beberapa saat lagi.”

Yang penting adalah menutup  lobang-lobang  yang  memungkinkan   terjadinya kecurangan, sehingga mengubah sikap mental yang baik menjadi  buruk. Contohnya penjualan  narkoba dari  dalam penjara. Mustahil  terjadi, kecuali ada ‘lobang’ yang memungkinkan melakukan hal tersebut.

Bagaimana dengan revolusi akhlak? Sama saja, hanya beda istilah. Akhlak adalah bahasa  Arab  yang berarti  tingkah laku seseorang. Tingkah laku atau kelakuan juga berpangkal  dari sikap mental. Sikap mental lahir dari kesadaran perlunya berbuat  baik sesuai ketentuan dan kelaziman yang berlaku. Misalnya menghormati  orang tua, menghargai pendapat  orang  lain, perduli kepada kaum duafa dan banyak lagi. Para ustadz  dalam  ceramah-ceramah mereka, selalu menyinggung soal akhlak. Contoh akhlak yang baik dan sempurna adalah Nabi Muhammad SAW. Tinggal mengaktuaalkannya sesuai dengan keadaan zaman. Seorang yang berakhlak mulia tidak pantas memburuk-burukkan presiden negaranya sendiri  di negeri orang. Seorang Indonesia yang sedang berada di luar negeri harus membela kehormatan dan martabat bangsanya, terlepas dari suka atau tidak kepada pemerintah.

Revolusi akhlak itu sendiri sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu mengubah masyarakat jahiliah menjadi  beradab sesuai tuntunan Islam.Yang  perlu dilakukan  sekarang  adalah mencontoh dan meneruskan  akhlak  Nabi Muhammad SAW dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 

Senin, 05 Oktober 2020

Bendera Setengah Tiang Di Depan Gedung DPR


Bendera merah putih setengah tiang dikibarkan di depan Gedung DPR Jakarta pada tanggal 30 September 2020  sebagai tanda berkabung atas tewasnya enam jenderal dan seorang  perwira  pertama dalam peristiwa G 30 S/PKI di Jakarta tahun 1965. Dulu, tidak lama setelah peristiwa tersebut, pemerintah menyerukan rakyat Indonesia mengibarkan bendera setengah tiang dan mengibarkan bendera satu tiang penuh keesokan harinya. Selain itu ada upacara perngatan Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober di Lubang Buaya. Tiap tanggal 30 September TVRI menayangkan film pengkhianatan G 30 S/PKI hasil garapan sutradara Arifin C. Nur yang dibuat tahun 1984. 

Tahu-tahu pemutaran film itu ditiadakan begitu juga pengibaran bendera setengah  tiang dan upacara peringatan di Lubang  Buaya. Tidak banyak yang tahu, siapa yang menghentikan semua kegiatan memperingati  peristiwa G 30 S/PKI itu.

Dihentikannya kegiatan yang berkaitan dengan sejarah Indonesia itu menimbulkan pertanyaan, apa ada keraguan atas penggambaran peristiwa  seperti  dalam film G 30 S/PKI? Kalau ya, siapa yang meragukannya? Bagaimana dong yang sebenarnya?

Tanggal 30 September 2019, Panglima TNI nonton bareng  film garapan Arifin C. Nur itu dengan Presiden Jokowi di Jakarta. Itu berarti pemerintah mengakui peristiwa seperti  digambarkan  dalam film, benar adanya. Sayangnya, rakyat  tenang-tenang saja karena tidak ada perintah untuk memutar kembali film itu di TVRI. Tidak ada pula seruan untuk mengibarkan bendera setengah tiang tanggal 30 September dan satu tiang penuh tanggal 1 Oktober.

Baru pada 30 September 2020 ada pengibaran setengah tiang di depan gedung DPR dan upacara memperingati  Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya tanggal 1 Oktober 2020. Tanggal 30 September 2020 pula, TVRI menyelenggarakan diskusi tentang film G 30 S/PKI garapan Arifin C. Nur.Peserta diskusi terdiri dari pelbagai kalangan, yaitu  pakar sejarah, anggota DPR dan sineas. Salah seorang peserta diskusi, anggota DPR Fadli Zon menyatakan,  kebenaran  yang diungkap dalam film itu di atas 90%. Tapi ada pula kalangan sineas yang menilai terjadi penyimpangan fakta, sehingga perlu dibuat  film yang baru. 

Kalau diikuti semua pendapat yang menilai suatu peristiwa sejarah, tentu repot  juga, apalagi  orang yang menilai berada sangat  jauh waktunya dari  saat  terjadinya peristiwa. Yang  penting untuk dicatat, sebagian besar peserta diskusi di TVRI itu menegaskan, memang  terjadi peristiwa perebutan kekuasan terhadap pemerintah RI yang syah  didalangi  PKI , menewaskan enam jenderal  dan seorang perwira pertama  Lantas, untuk apa lagi dibuatkan film G 30 S/PKI versi baru? Itu  akan sangat  membingungkan rakyat. 

Sebaiknya pemerintah mengumumkan  kembali dengan resmi pemutaran film G 30 S/PKI garapan Arifin C. Nur dan pengibaran bendera setengah tiang tiap tanggal 30 September dan satu tiang penuh tiap tanggal 1 Oktober.


Sabtu, 12 September 2020

Meragukan Sumbar Mendukung Pancasila

 


Sumatera Barat diragukan sebagai pendukung Pancasila. Kesan ini timbul sehubungan ucapan Ketua PDIP Puan Maharani awal September 2020 yang menyatakan jika calon gubernur/wakil gubernur Sumbar dalam pilkada 2020 yang diusung PDIP menang, mudah-mudahan dapat memastikan bahwa Sumbar memang mendukung  Pancasila. Ucapan Puan itu ditafsirkan sebagai meragukan dukungan Sumbar terhadap Pancasila. Tapi ada pula pendapat bahwa ucapan itu berupa do’a agar Sumbar  tetap mendukung Pancasila.

Para tokoh  Minang dan pakar pelbagai disiplin ilmu yang dikumpulkan

Karni  Ilyas dalam acara Klub Pengacara Indonesia di TV One angkat bicara.Yang menonjol adalah keterangan Ustadz  Abdul Somad bahwa orang Minangkabau sudah berpancasila jauh sebelum istilah Pancasila itu lahir. Ia sama sekali tidak menafsirkan ucapan Puan Maharani, karena yang punya ucapan itulah yang tahu maksud  sebenarnya.

Lantas Somad menguraikan kehidupan orang  Minangkabau sejak zaman dahulu yang selalu berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, orang  Minangkabau terkenal  taat beragama. Para penyebar Islam, selain dari Jawa banyak pula yang berasal dari Ranah Minang. Ringkasnya, tidak ada orang Minangkabau yang menyembah batu atau pohon besar. Sila Kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan sudah menjadi kebiasaan hidup sehari-hari. Menyangkut kepentingan masyarakat banyak, orang Minangkabau memutuskannya dengan terlebih dulu bermusyawarah.Sehingga mucullah ungkapan berbunyi, ‘bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mupakek’ (bulat  air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat).

Uraian kelima sila Pancasila yang cukup panjang itu diperkuat pula oleh penjelasan anggota DPR Fadli Zon, bahwa dalam merumuskan Pancasila tahun 1945 sebelum bentuknya yang sekarang, tiga tokoh Minang turut menyumbangkan fikirannya yaitu Mohammad Hatta, Mohammad Yamin dan Mr, Asaat.

Nah, kalau dizaman now ini masih ada orang yang meragukan kesetiaan warga Sumber terhadap Pancasila mungkin berasal dari kalangan yang kecewa karena mayoritas warga Sumbar memilih Prabowo dalam Pilpres 2019. Menilai seseorang  atau kelompok masyarakat  Pancasilais atau bukan, harus dilihat dari sikap hidup sehari-hari  orang  atau masyarakat  tersebut, bukan dari pilihan dalam pemilu atau pilpres. Dalam pilpres 2019 beredar kabar dan ungkapan yang aneh-aneh misalnya, “Kalau Jokowi menang, Sumbar akan memisahkan diri dari NKRI”. Begitu juga yang ini, “Warga Sumbar yang memilih Jokowi adalah Malin Kundang”.

Selasa, 08 September 2020

11 September HUT RRI Ke 75

 

                         11 September HUT RRI Ke 75

11 September 2020 RRI berusia 75 tahun. Seperti biasa dalam acara peringatan dibacakan lagi ikrar Try Prasetya RRI, satu diantaranya berbunyi ‘RRI Berada Di atas Semua Golongan’. Selama orba RRI ternyata berada di dalam satu golongan tertentu, toh ikrar tersebut tetap dikumandangkan setiap 11 September.

Dalam zaman reformasi sekarang ini, RRI sudah tampak kembali ke jati dirinya yang asli yaitu ‘Berada Di atas Semua Golongan’. Informasi yang diberikan sudah seimbang, tidak semata-mata mempromosikan kebijakan pemerintah, melainkan juga mengungkap ‘suara lain’ dalam masalah pelaksanaan nya. Dalam salah satu komentarnya, RRI mempertanyakan bintang jasa yang diterima seorang anggota  dan seorang mantan anggota DPR. Padahal keduanya tukang kritik Presiden Jokowi. Sang komentator, Widi Kurniawan sampai pada kesimpulan  bahwa antara jasa yang diberikan sehingga memperoleh bintang, tidak ada hubungannya dengan kritik kepada pemberi bintang jasa itu. Mempertanyakan tokoh yang mendapat bintang jasa tiap bulan Agustus, tidak pernah terjadi dizaman orba.

Keutamaan siaran radio adalah cermat dalam menyebut istilah bahasa asing. Masih ada penyiar yang keliru, misalnya ‘extra ordinary crime’, kata ‘crime’ dilafalkan ‘krim’. Kalau dulu di zaman Yul Khaidir menjadi Kepala Penyiar, setiap penyiar selalu dilatih untuk melafalkan istilah dan nama asing dengan benar. Misalnya, penyiar yang non Islam dilatih betul melafalkan ‘salallahu’alaihi wassalam’ sehingga terdengar seperti seorang Islam.Di ruang Penyiar Dinas tersedia papan tulis yang mencantumkan nama-nama/istilah baru dengan cara melafalkannya. Kekeliruan dalam melafalkan suatu istilah itu bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Yang penting penyiar yang salah ucap harus segera diberi tahu. Seorang komentator siaran berbahasa Inggeris pernah salah melafakan kata ‘resignation’ menjadi ‘rezaineisyen’. Penyiar senior Edwin Saleh Indrapradja segera mendatangi sang komentator di studio siaran memberitahukan cara melafalkan yang benar yaitu ‘rezigneisyen’. Sang komentator sangat berterima kasih atas koreksi itu, apalagi yang mengoreksi adalah seorang penyiar yang pernah lama mukim di Australia.

Dengan semboyan ‘Sekali Di udara Tetap Di udara’ seharusnya tidak ada lagi siaran yang terputus walau 15 menit. Awal bulan September 2020, Warta Berita pukul 0700 melalui pro III tidak di udara, sehingga RRI Bogor batal merelay dan melanjutkan siaran lokal. Pro III baru kembali di udara pukul 0715. Ada apa? Rekan-rekan teknisi yang tahu jawabannya

Di atas segalanya peranan penyelenggara siaran sangat menentukan dalam menjadikan suatu siaran berjalan baik. Dalam hal ini menyangkut kesejahteraan pegawai. Sampai dengan tahun 2000, operasional siaran RRI banyak tergantung dari apa yang disebut ‘kerjasama lintas sektoral’. Misalnya untuk mempromosikan kegiatan pertanian, bekerjasama dengan Departemen Pertanian. Petugas-petugas RRI yang terlibat dalam kegiatan tersebut memperoleh honor dari anggaran Departemen Pertanian. Setiap pegawai RRI, terutama yang bertugas di luar selalu memikirkan cara-cara mendapat penghasilan tambahan untuk mencukupi gaji yang luar biasa kecilnya itu. Tapi itu dulu, 20 tahun yang lalu. Mudah-mudahan sekarang kesejahteraan para pegawai RRI sudah meningkat. Sebab kalau masih saja di bawah Radio Malaysia atau Radio Singapura, maka harapan Kabul Budiono untuk menjadikan RRI berkelas dunia, jauh panggang dari api.

Selasa, 07 Juli 2020

Latihan Militer AS Di Laut Cina Selatan

Dua kapal induk AS sejak 4Juli 2020 melakukan latihan militer di Laut Cina Selatan dalam jangkauan pandang pihak militer Cina. Mereka hanya mengawasi latihan militer AS tersebut, tidak terpancing melakukan suatu manuver apapun. Latiha militer AS yang untuk kesekian kalinya itu jelas satu unjuk kekuatan. Kali ini dilakukan ditengah-tengah memanasnya hubungan Cina-AS gara-gara wabah corona. AS menuduh Cina menggunakan wabah Corona untuk memperkuat claimnya di Laut Cina Selatan. Dengan kehadiran militer AS di kawasan tersebut, AS menegaskan keberadaan Laut Cina Selatan sebagai kawasan internasional, negara manapun berhak melayarinya. Intinya, hukum yang berlaku di Laut Cina Selatan adalah hukum internasional, termasuk ketentuan Kawasan Ekonomi Eksklusif. Bukan hukum Cina yang mengclaim 90% kawasan Laut Cina Selatan sebagai milik negara itu.

Untuk memperkuat claimnya atas Laut Cina Selatan, Cina membangun pulau-pulau buatan  di utara Natuna. Sekalipun Cina menyebut pembangunan pulau-pulau buatan itu untuk tujuan damai, sebenarnya untuk pangkalan militer.Yang sangat berkepentingan dengan Laut Cina Selatan adalah negara-negara di sekitarnya: Philipina, Vietnam, Brunai Darussalam yang sebagian wilayahnya berada di sana. Negara-negara tersebut harus bersatu menolak claim Cina atas kawasan tersebut dan hanya tunduk pada Hukum Laut Internasional yang sudah ada. Belum lama terjadi ketegangan antara Cina degan Indonesia gara-gara pihak Cina mengusir kapal-kapal nelayan Indonesia yang sedang menangkap ikan di perairan Natuna, masih dalam batas Kawasan Ekonomi Eksklusif. Indonesia bertindak tegas dengan mengirim pesawat-pesawat tempur ke kawasan tersebut. Sikap tegas Indonesia itu mengakibatkan Cina menarik  kapal-kapalnya dan membiarkan kapal-kapal nelayan Indonesia menangkap ikan di situ. Menlu Retno Marsudi sudah benar ketika menolak tawaran Cina untuk merundingkan soal hak-hak Indonesia di Kawasan Ekonomi Eksklusif di sekitar Natuna.
Mestinya Cina tahu diri dan membatalkan  keinginannya berkuasa di Laut Cina Selatan karena akan  berurusan dengan negara-negara sekitar yang didukung penuh AS.