Selasa, 09 Mei 2017

Vonis Untuk Ahok Mengejutkan



Vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 9 Mei 2017 yang menghukum Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok 2 tahun penjara, mengejutkan. Untuk pertama kalinya hakim memvonis lebih berat daripada tuntutan JPU. Biasanya, hakim memperkuat tuntutan JPU atau mengurangi lama hukuman yang dituntut JPU. JPU tidak menemukan bukti adanya penistaan agama, sebaliknya hakim menyatakan Ahok terbukti secara meyakinkan telah menista agama, dalam hal ini agama Islam. Pelbagai kalangan menyayangkan vonis hakim itu karena tidak sejalan dengan tuntutan JPU. Pihak kuasa hukum Ahok menilai hakim terpengaruh  tekanan  yang dilakukan tanggal 5 Mei berupa demonstrasi sekelompok massa ke Mahkamah Agung agar Ahok dihukum. “Kami memahaminya, karena hakim manusia juga. Tapi kami menolak vonis hakim dan mengajukan banding,” kata kuasa hukum Ahok.
Apa boleh buat, vonis hakim harus dihormati. Tinggal lagi Ahok menjalani proses naik banding dan kasasi. Tapi, banyak juga yang pesimis karena menurut pengalaman baik pada tingkat banding maupun kasasi, biasanya vonis hakim pengadilan tingkat pertama, diperkuat. Bahkan ada juga yang ditambahi pada tingkat kasasi.
Masyarakat tinggal menunggu, apa akan ada kejutan nantinya pada tingkat banding maupun kasasi.
Untuk Ahok sendiri, tidak lain adalah bersabar. Rupanya sudah sunnatullah juga bahwa pemimpin disepanjang masa harus masuk penjara untuk menguji ketahanan mentalnya.


Hak Angket DPR Untuk KPK



DPR dalam Sidang Paripurnanya akhir April lalu menyetujui menggunakan hak angket untuk KPK. Penggunaan hak angket itu disebabkan KPK tidak mau membuka rekaman pemeriksaan Miryam Haryani dalam kasus korupsi E.KTP. Alasan KPK, rekaman itu merupakan bagian pemeriksaan penyidik yang hanya boleh dibuka di Pengadilan.
Rencana DPR itu diprotes oleh banyak kalangan yang menilainya sebagai usaha pelemahan KPK. Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana menyebut langkah KPK itu sebagai model baru pelemahan KPK Ketua Umum PAN yang juga Ketua MPR, Zulkifli Hasan menyatakan akan menarik kader PAN dari DPR jika ikut menandatangani persetujuan hak angket itu.
Sejumlah aktivis anti korupsi menggalang dukungan terhadap KPK melalui media sosial. Satu diantaranya melalui laman change org. sudah mengumpulkan lebih dari 20.000 tandatangan.
Yang menarik untuk disimak pernyataan Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Mahfud MD, bahwa langkah menggunakan hak angket itu tidak syah. Pasal 79 Ayat 3 UU No.17 Th.2004 tentang MPR-DPD-DPR-DPRD menyebutkan DPR hanya boleh menggunakan hak angket untuk lembaga pemerintah Sedangkan KPK adalah lembaga negara yang independen.

Kalau begitu, masalahnya menjadi rumit, khususny dalam pelaksanaan hak angket itu sendiri. Bagaimana kalau KPK menolak menanggapi hak angket DPR itu karena tidak sesuai dengan perintah undang-undang. Mengatasinya, DPR seyogyanya medengarkan pendapat para pakar hukum tata negara tentang seluk beluk penggunaan hak angket tersebut.