Selasa, 30 September 2014

Mempertanyakan Film G 30 S/PKI








Selama zaman orba film G 30 S/PKI diputar oleh TVRI pada tiap tanggal 30 September. Dengan melihat film itu rakyat diingatkan tentang kekejaman PKI dalam usaha mereka merebut kekuasaan negara. Sejak zaman reformasi, film tersebut tidak diputar lagi tanpa penjelasan. Desas  desus berkembang di kalangan rakyat, bahwa peristiwa G 30 S/PKI adalah rekayasa rezim orba. Pertanyaannya, kalau bukan PKI yang menjadi dalang, lantas siapa? Pertanyaan tersebut tidak terjawab sampai sekarang. Ketua PKI, DN Aidit, memang menyatakan kepada Presiden Sukarno melalui sepucuk surat bahwa partainya tidak terlibat. DN Aidit sendiri tewas dalam pengejaran TNI di Jawa Tengah. Selain membubarkan PKI rezim orba menangkap dan memenjarakan/mengasingkan tokoh-tokoh PKI tanpa proses pengadilan.
Waktu terus berlalu. Anak-anak keluarga PKI tumbuh dan berkembang. Mereka tumbuh diiringi perasan dendam atas perlakuan terhadap oang tua/keluarga mereka yang dikucilkan dari masyarakat. Sementara itu diantara generasi baru keluarga PKI ada yang menjadi politikus, menjadi anggota salah satu partai yang berada dalam pemerintahan mendatang.
Akankah PKI bangkit lagi? Seorang ustadz dalam khotbah Jum’at, 26 September lalu di Mesjid  ITC, Depok Baru menyatakan,memang PKI sedang bangkit. Mereka terang-terangan menyelenggarakan kongres dua tahun berturut-turut di dua kota berbeda di Jawa Barat. Ustadz itu mengaku orang yang berwenang dalam melacak perkembangan organisasi terlarang di Indonesia. Ia juga menantang aparat keamanan untuk berdialog jika ada keberatan atas apa yang diucapkannya. Menariknya lagi, ia menyediakan buku yang berisi fakta-fakta kebangkitan PKI.
Jika sinyalemen ustadz itu benar, seyogyayalah waspada atas bangkitnya kembali PKI. Dalam memelihara kewaspadaan itu, rakyat perlu dingatkan akan bahaya komunisme seperti digambarkan dalam film G 30 S/PKI.  Sebaiknya diputar saja lagi tiap tanggal 30 September. Tanpa memutar film itu, rakyat lama-lama lupa kekejaman PKI. Selain itu memberi angin kepada kelarga PKI untuk merasa tidak bersalah, jadi berhak untuk hidup kembali. Sebaliknya pula, kalau memang PKI tidak terlibat dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan 6 jenderal tambah 1 perwira pertama, harus dinyatakan secara terbuka. Bagaimana pun sejarah harus diluruskan.

Sabtu, 27 September 2014

UU Pilkada Yang Baru Disahkan DPR Digugat Ke MK



UU Pilkada yang baru disahkan DPR Jum’at dinihari, 26 September 2014 akan digugat pihak-pihak yang tidak puas ke MK. Diantara yang tidak puas itu adalah Presiden Susilo Bambange Yudhoyono. Selaku petinggi Partai Demokrat, ia kecewa karena opsi ke 3 yang diusulkan partainya yaitu pilkada langsung denga n 10 syarat tidak diwadahi oleh DPR. Ini juga menjadi sebab tindakan WO seluruh anggota Partai Demokrat, kecuaii 6 orang yang tetap bertahan. Akibatnya, RUU Pilkada lolos melalui voting 135   melalui DPRD dan 226 langsung. Seandainya para anggota Partai Demokrat mau bertahan dan tidak ngotot memaksakan opsi ke 3, artinya yang penting tetap pilkada lagsung, tentu opsi pilkada melalui DPRD akan kalah.
Sekaii pun SBY bersungguh-sungguh hendak menggugat  UU Pilkada yang baru disahkan itu ke MK, banyak yang meragukannya.Hanya basa basi. Sebuah koran ibukota membuat karikatur melukiskan SBY bermuka dua. Ada pula seorang politikus yang menyebut sikap Partai Demokrat merupakan skenario yang sudah dipersiapkan: seolah-olah setuju pilkada langsung, padahal tidak.
Kalau dikatakan UU Pilkada yang baru adalah suatu kemunduran, memang benar karena kembal lagi ke sistem yang pernah dilakukan sebelumnya. Ketika DPR waktu itu memutuskan mensahkan UU Pilkada Langsung, tentulah hal itu dianggap lebih baik. Jika kemudian disadari banyak masalah dalam pelaksanaan Pilkada Langsung, antara lain biaya yang sangat tinggi, mestinya masalahmasalah itu saja yang diatasi. Inilah yang dilakukan Partai Demokrat dengan 10 opsinya itu.
Apa boleh buat, palu sudah diketok. Pengambilan keputusan sudah dlakukan secara demokratis yaitu melalui voting. Selanjutnya terpulang kepada MK nanti berkaitan dengan penafsiran Pasal 18 UUD 45. Pada ayat 4 disebutkan: gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Sedangkan pada Pasal 1 ayat 2 menggariskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Ini bemakna, pemilihan dilakukan secara langsung. Pertanyaan yang mendasar sebenarnya, bolehkah DPRD memilih kepala daerah? Sebagai perbandingan,  sebelum amandemen UUD 45, pemilihan presiden/wakil presiden dilakukan oleh MPR. Sedangkan MPR tidak sama dengan DPRD. Lagipula tidak ada MPR Daerah. Bagaimana pun kenyataannya, pilkada pernah dilakukan oleh DPRD.

Senin, 22 September 2014

Kelirumologi Diseminarkan



Kelirumologi, ‘ilmu’ yang mempelajari kekelruan dalam pengunaan istilah, diseminarkan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di  Jakarta pada 19 September 2014, dengan penyelenggara Jaya Suprana yang tokoh MURI itu. Belum ada berita tentang hasil seminar tersebut. Sementara itu seminar telah membuat Mahmud MD menulis di sebuah koran tentang ‘Kelirumologi Dalam Hukum’. Ini menarik. Jaya Suprana yang semula mecetuskan istilah ‘kelirumologi’ terbatas pada soal penggunaan sebuah kata yang keliru, berkembang menjadi keliru dalam menggunakan dan bertindak dalam berbagai kegiatan. Keliru, namun dianggap benar karena sudah biasa.
Dalam kehidupan sehari-hari  banyak kita lihat pria Muslim menyandangkan kain di bahu pergi ke mesjid atau mushalla. Ada yang menjadikan kain itu sebagai sal dan ada pula yang menggunakannya sebagai sajadah. Padahal, kain itu di negeri asalnya, Arab Saudi, dililitkan di kepala yang dikenal sebagai ‘serban’.
Dalam penggunaan sebuah kata, yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah penggabungan kata asing dengan awalan bahasa Indonesia. Contoh: dimention, mengexplore, mengelaborasi  yang maksudnya disebut, menggali dan menguraikan.
Kekeliruan banyak terjadi di  bidang politik. Coba perhatikan, dalam UUD 45 tidak ada fasal yang mengatur pemerintahan RI secara parlementer dengan seorang Perdana Menteri. Kenyataannya, bulan Oktober 1945 terbentuk pemerintahan yang dipimpin seorang Perdana Menteri. Keberadaan PM itu terus berlanjut sampai akhir pemerintahan orla. Ingat, Sukarno adalah Presiden merangkap PM dengan beberapa orang Waperdam. Anehyna lagi, salah seorang Waperdam itu adalah Chairul Saleh yang Ketua MPRS.
Dizaman reformasi muncul istilah ‘koalisi’ dan ‘oposisi’ yang juga tidak diatur dalam UUD 45. Koalisi adalah gabungan partai-partai yang berada dalam pemerintahan dan di pihak lain gabungan partai-partai di luar pemerintahan. Yang di luar pemerintahan, menamakan dirinya ‘oposisi’. Barulah menjelang pilpres 2014 PDIP dan partai-partai pendukungnya menamakan diri ‘kerjasama’ dan ‘oposisi’berganti dengan ‘penyeimbang’. Walau pun begitu kaum poltikus dan pengamat politik masih saja menggunakan istilah ‘koalisi’ dan ‘oposisi’. Supaya ada keseragaman pengertian, sebaiknya ada semacam aturan yang menjelaskan makna dan penggunaan kata-kata baru supaya tidak keliru.


Rabu, 17 September 2014

Postur Kabinet 2014-2019



Postur Kabinet 2014-2019
Presiden terpilih Jokowi  telah mengumumkan postur kabinet yang akan dipimpinnya nanti, terdiri atas 34 kementerian. Jumlah tersebut tergolong ‘gemuk’ dibandingkan dengan pemerintahan Megawati Sukarno Putri  yang memimpin kabinet beranggotakan 30 menteri. Memang ada pembaharuan yaitu munculnya 6 kementerian gabungan, 6 kementerian berubah nama dan 3 kementerian baru. Jadi, kabinet Jokowi-JK masih belum ramping dan ideal. Menurut Lembaga Administrasi Negara, kabinet yang ideal terdiri atas 25 kementerian/lembaga.
Menarik, keberadaan 18 menteri yang profesional murni dan 16 menteri profesional  partai. Yang dimaksud ‘profesional’ tentulah menteri  yang memimpin sebuah kementerian punya latar belakang pendidikan atau pengalaman kerja sesuai dengan bidang tugasnya. Tidak tepat kalau menteri  keuangan adalah seorang sarjana hukum dan berprofesi  sebagai pengacara. Itulah sebabnya sejak zaman orla, bidang-bidang  tugas tertentu seperti  ekonomi, hukum dan agama dipimpin oleh tokoh-tokoh yang dinilai mengerti betul bidang tugasnya berdasarkan rekam jejak mereka. Di  luar bidang-bidang khusus itu, kementerian dapat dipimpin oleh politikus  yang tidak punya  latar belakang pendidikan atau pengalaman yang sesuai. Contohnya, menteri pertahanan pernah dijabat oleh Mohammad Hatta dan Matori  Abdul Jalil. Mereka bukan dari kalangan TNI. Terjadi juga pengecualian, disesuaikan kepentingan pada masa itu. Misalnya, menteri agama pernah dijabat Letjen {TNI} Alamsyah Ratu Perwira Negara yang non kiyai. Yang terbaru, menko perekonomian pemerintahan SBY dijabat oleh Hatta Rajasa yang insinyur.
Pada hakekatnya, menteri  seperti  halnya presiden adalah jabatan politik, bisa dijabat siapa saja tanpa melihat latar belakang pendidikan dan pengalaman. Ketika Sutan Syahrir meminta Maria Ulfah Santoso menjadi menteri sosial pada Oktober 1945, yang bersangkutan mengelak dengan mengatakan, “Saya tidak berpengalaman dalam urusan sosial.” Sutan Syahrir sambil senyum berkomentar, “Saya juga tidak berpengalaman sebagai perdana menteri.”
Mengingat menteri adalah jabatan politik, harus diperoleh melalui perjuangan politik. Itulah sebabnya di negara-negara yang sistem demokrasinya dinilai sudah mantap seperti  AS, Eropa, India dan Jepang, semua menteri adalah dari kalangan partai politik. Kenyataan dalam kabinet Jokowi-JK nanti terdapat 18 menteri  profesional murni (bukan dari partai politik) merupakan khas Indonesia. Delapan belas orang tersebut tentu saja bagai mendapat durian runtuh . Orang Betawi  bilang, “Enak beneer…”