Selasa, 28 Agustus 2018

Kesepakatan PKS-Gerindra Yang Bermasalah




Aneh tapi nyata, mungkin itu ungkapan yang sesuai untuk kasus kesepakatan PKS-Gerindra tentang pencalonan pengganti Sandiaga Uno yang mengundurkan diri sebagai Wagub DKI Jakarta. Dalam kesepakatan itu disebutkan dua nama calon pengganti Sandiaga Uno adalah Ketua DPP PKS Mardani Ali dan anggota DPRD DKI Nurmansyah Lubis. Yang menandatngani kesepakatan itu, Ketua DPD Gerindra DKI, M. Taufik menyatakan kepada media, ia terpaksa melakukannya karena diancam PKS untuk tidak mendukung pasangan Capres Prabowo-Cawapres Sandiaga Uno dalam pilpres 2019 jika bukan kader PKS yang menggantikan Sandiaga Uno.
Menandatangani sebuah dokumen dalam keadaan apapun, berarti menyetujui hal-hal yang disebut dalam dokumen tersebut. Kecuali ada ancaman fisik seperti todongan senjata yang membahayakan jiwa. Itu baru terpaksa namanya.
Keadaannya sekarang, Gerindra tidak menyetujui dua nama yang diajukan PKS untuk menggantikan Sandiaga Uno. Sebaliknya PKS tentu pula tidak menyetujui calon yang diajukan Gerindra.
Jalan keluarnya, serahkan saja kepada Gubernur Anis Baswedan untuk memilih salah seorang pejabat DKI yang punya prestasi dan pantas menjabat Wagub.Tokoh yang dipilih Anies inilah yang diajukan kepada DPRD DKI untuk ditetapkan sebagai pengganti Sandiaga Uno. Jika tidak tercapai kesepakatan sama sekali, biarkan saja jabatan Wagub DKI kosong. Bukankah jabatan Wapres RI pernah kosong dalam waktu lama?

Senin, 27 Agustus 2018

Panggilan Bawaslu Diabaikan Andi Arif




Wasekjen Partai Demokrat Andi Arif untuk keempat kalinya mangkir dari panggilan Bawaslu. Bawaslu memanggil Andi Arif untuk meminta keteragan atas pernyataannya di medsos bahwa Cawapres Sandiaga membayar masig-masing 500 milyar kepada PKS dan PAN agar mendukungnya menjadi cawapres dari Capres Prabowo.Cawapres Sandiaga membantah tudingan tersebut. Masyarakat pun heboh. Karena jika hal tersebut benar-benar terjadi, itu berarti melanggar ketentuan. Sandiaga dan kedua partai bersangkutan akan terkena sanksi.
Tindakan Andi Arif mengelak dari panggilang Bawaslu sangat disayangkan, karena kehadirannya diperlukan untuk mengklarifikasi pernyataannya di medsos beserta barang bukti yang diperlukan. Tanpa klarifikasi dan barng bukti, sulit bagi Bawaslu untuk menetapkan apa Cawapres Sandiaga bersalah atau tidak.
Masalahnya menjadi rumit karena Bawaslu hanya boleh memanggil tiga kali dan tidak boleh memanggil paksa. Sementara itu Bawaslu akan melakukan sidang paripurna untuk menentukan sikap, tanpa dibekali klarifikasi dari Andi Arif. Belum tahu seperti apa keputusan yang akan diambil Bawaslu.Kita ingin menyarankan agar menyatakan Cawapres Sandiaga tidak bersalah karena tidak ada bukti-bukti yang mendukung. Pernyataan di medsos bukanlah alat bukti karena setiap orang bisa saja mengatakan apa yang dirasanya benar, padahal tidak ada bukti-bukti yang mendukung.
Kedepan kita meminta pejabat publik mau bertanggungjawab atas apa yang diucapkannya. Jangan buat masyarakat bimbang, buatlah segala sesuatunya seperti kata SBY 'terang benderang'.

Pemanjat Tiang Bendera Bertemu Presiden




Joni Kala, murid kelas 1 sebuah SMP di Belu, Nusa Tenggara Timur, yang memanjat tiang bendera pada upacara bendera di sekolahnya 17 Agustus lalu, telah bertemu Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Negara Senin 20 Agustus 2018. Joni Kala menjadi terkenal karena bernisiatif memanjat tiang bendera untuk membetulkan tali yang macet. Tindakan pelajar yang spontan itu mendapat penghargaan dari pemerintah yang menilainya berani, tanpa pamrih. Menpora menilainya contoh 'tindakan heroik zaman now'.
Suatu tindakan heroik terjadi didorong oleh keinginan untuk menyelamatkan sesuatu yang berhubugan dengan kehidupan bangsa dan negara. Keinginan menyelamatkan bangsa dan negara itu tentu pula disebabkan rasa cinta terhadap bangsa dan negara, sehingga rela mengorbankan jiwa dan raga. Walter Monginsidi memilih diterjang peluru tentara NICA ketimbang bersekolah di Negeri Belanda. Jos Sudarso memilih melawan kapal perang Belanda yang ukurannya tidak seimbang demi menegakkan kedaulatan RI di Irian Barat (waktu itu). Perintah terakhir Laksamana Jos Sudarso kepada anak buahnya adalah “Kobarkan semangat pertempuran!”
Heroisme harus senantiasa dipelihara karena menyangkut kepentingan bangsa yang lebih besar. Intinya adalah mendahulukan keselamatan bangsa dan negara apapun juga resikonya.
Tindakan Joni Kala sepintas sederhana, namun mengandung makna yang sangat besar. Ia sama sekali tidak memikirkan keselamatan dirinya . Bisa saja tiang bendera yang kecil itu patah ketika berada di puncak dan Joni Kala akan dibawa ke rumah sakit.
Joni Kala mendapat imbalan tidak terduga berupa sebuah sepeda dan rumah.

Senin, 13 Agustus 2018

Konvensi Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara




Konvensi: mengandung dua pengertian, pertama adat/kebiasaan dan kedua kesepakatan masyarakat. Yang bermakna adat kebiasaan berlaku terbatas dilingkungan tertentu. Misalnya dalam pelantikan Penghulu atau Datuk di Sumatera Barat semua pelaku upacara mengenakan pakaian adat minang. Sedang yang bermakna kesepakatan berlaku dalam kalangan lebih luas bahkan meliputi sebuah bangsa dan masyarakat dunia. Ketika memilih Presiden dan Wakil Presiden pertama RI ada kesepakatan para pemimpin masa itu: presiden berasal dari Jawa karena mewakili jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Wakilnya berasal dari luar Jawa. Maka dipilihlah Sukarno dari Jawa dan Hatta dari Sumatera. Konvensi ini tidak berlaku lagi ketika Presiden Suharto memilih Sultan Hamengkubuwono IX, Sudharmono dan Try Sutrisno sebagai wakilnya. Begitu juga ketika Habibi menjadi presiden menggantikan Suharto Untuk pertama kalinya orang luar Jawa menjadi presiden. Dalam masa pemerintahan Abdurrahman Wahid/ Megawati dan Megawati/Hamzah Haz, konvensi terjadi setengah-setengah karena Megawati separo Jawa separo Sumatera. Konvensi yang utuh terjadi lagi ketika SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla dan Joko Widodo dengan Jusuf Kalla.
Di bidang hukum juga ada konvensi, misalnya Konvensi Jenewa. Ketika Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang didukung DPR, sudah terjadi suatu konvensi. Inilah dasarnya Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan 'maklumat' yang ditolak Mahkamah Agung.
Sumpah Pemuda pada 1928 membawa konsekuensi mengutamakan segala sesuatu bersifat nasional dan menomorduakan yang bersifat daerah. Misalnya Bahasa Indonesia berlaku secara nasional sedangkan Bahasa Daerah terbatas di lingkugan daerah setempat saja. Begitu juga dalam berbusana. Sejak Indonesia merdeka, para pemimpin kita mengenakan busana PSL dengan Peci untuk kegiatan resmi nasional seperti upacara memperingati HUT Kemerdekaan RI. Selain itu ada yang setengah resmi yaitu Safari Tangan Panjang untuk acara-acara di lingkungan instansi dan departemen.Sebab itu cukup menarik ketika Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenakan busana daerah dalam memperingati HUT Kemerdekaan RI di depan Istana Merdeka tahun lalu. Pertanyaan orang awam, kok yang bersifat kedaerahan ditonjolkan lagi?
Para pakar hukum dan budaya sebaiknya membahas masalah konvensi ini agar lebih mantap: mana yang masih bisa dipertahankan dan mana yang harus diubah.

Selasa, 07 Agustus 2018

Ormas Islam Harus Melakukan Gerakan Kultural


Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia pada Senin, 6 Agustus 2018 di Jakarta menyelenggarakan Rapat Pleno ke 29 membahas sikap ummat Islam menghadapi agenda demokrasi mendatang ini. Beberapa saran diungkapkan oleh Ketua DP MUI, Din Syamsudin menyangkut tema yaitu antara lain:ormas-ormas Islam harus melakukan gerakan kultural sebagaimana yang dilakukan partai-partai politik atau lewat jalur politik. Selanjutnya ormas Islam ke depan harus didorong untuk melakukan jalan dakwah yang mengayomi seluruh ummat yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa.
Pesan DP MUI itu jelas ditujukan kepada ormas-ormas Islam, bukan untuk ummat Islam yang berada di dalam partai-partai politik Islam ataupun nasional.
Perkembangan terbaru menunjukkan ada sekelompok ulama/ummat Islam yang melakukan politik praktis dengan menyatakan mendukung calon tertentu dalam pilpres 2019 nanti. Padahal, mereka tidak mewakili seluruh ummat Islam Indonesia. Ini berbeda dengan partai-partai politik Islam yang memang fungsinya melakukan politik praktis.
Tidak ada rincian tentang gerakan kultural dimaksud kita hanya meraba-raba. Boleh jadi maksudnya jika seorang ustadz, kiyai, ulama berdakwah tentang pilpres, ungkapkanlah prinsip-prinsip Islam dalam memilih pemimpin.
Bagaimanapun ummat Islam dewasa inisudah cerdas dalam memilih, lebih melihat prestasi seorang calon. Tidak terpengaruh oleh dukungan yang diberikan pelbagai kalangan.

Sabtu, 04 Agustus 2018

Zikir Dan Do'a Untuk Bangsa




Zikir dan do'a untuk bangsa, kedua kalinya diselenggarakan di halaman Istana Merdeka pada Rabu, 1 Agustus lalu. Kegiatan yang menjadi bagian dari penyelenggaraan HUT RI itu, merupakan gagasan Presiden Jokowi. Zikir dan do'a yang dikumandangkan oleh para santri itu, memberi warna tersendiri kegiatan Islam di Indonesia. Tidak ada negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, selain Indonesia, yang menyelenggarakan kegiatan tersebut. Bahkan Saudi Arabia, sebagai tempat lahirnya Islam tidak menyelenggarakan zikir dan do'a di halaman Istana Raja.
Istana biasanya diidentikkan dengan pusat kekuasaan yang menjadikan politik sebagai panglima. Boleh jadi Presiden Jokowi ingin menunjukkan bahwa Istana bukan semata pusat kekuasaan negara, melainkan juga kegiatan keagamaan yang ada kaitannya dengan kepentingan bangsa.
Yang masih menjadi pertanyaan, apa berzikir dan berdo'a di halaman Istana itu punya keutamaan semisal melakukannya di tempat-tempat tertentu seperti Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Kalau alasannya untuk menampung jumlah peserta zikir yang banyak, apa Mesjid Istiqlal kurang bisa menampung. Bahkan zikir dan do'a dapat dilakukan serentak di seluruh Indonesia dengan meminta semua mesjid menyelenggarakannya.
Ini sekedar bertanya, tidak ada maksud apa-apa.
Yang masih belum jelas pula adalah apa para ulama dari Muhammadiyah hadir dalam kegiatan tersebut.