Selasa, 18 September 2012

Tewasnya Dubes AS Untuk Libya



Tewasnya Dubes AS untuk Libya, Christoper Stevens, di Benghazi, Libya Timur pada 11 September lalu menimbulkan  keterkejutan pemerintah AS. Sebab, setelah menggulingkan Moammer Khadafi tahun lalu, rasanya keadaan Libya aman. Tidak akan ada kelompok yang berani mengganggu warga negara AS, apalagi sekelas dutabesar. Kenyataannya, sekelompok orang bersenjata menyusup di tengah-tengah pengunjukrasa dengan menggunakan roket menyerang Konsulat AS di Benghazi. Akibatnya Dubes AS beserta tiga orang stafnya tewas di tempat. Washington menilai serangan itu aksi yang rumit namun terencana. Presiden Barack Obama menyatakan akan menuntut keadilan, untuk itu tidak tertutup kemungkinan melakukan tindakan militer. Ia mengirim dua kapal perusak, team anti terorisme, penyelidik federal  dan intelijen. Sampai ditemukan bukti siapa pelaku serangan yang menewaskan Dubes AS itu, dugaan sementara pelakunya adalah sisa-sisa loyalis Khadafi. Wakil Menteri Dalam Negeri Libya Wanis al-Sharif menyatakan karena para penyerang menggunakan roket, berarti ada tentara yang memanfaatkan keadaan yaitu sisa-sisa rezim Khadafi.
Jika benar yang melakukan serangan adalah sisa-sisa rezim Khadafi, berarti loyalis pemimpin Libya terguling itu masih berkeliaran di Libya. Mereka ternyata dengan mudah memperoleh senjata termasuk roket. AS punya dua lawan sekaligus di Libya yaitu sisa-sisa rezim Khadafi dan kelompk Ansar al-Sharia yang pro Al Qaeda.
Para penyerang di Konsulta AS di Benghazi telah memanfaatkan keadaan berlangsungnya unjukrasa anti AS gara-gara sebuah film yang dibuat oleh warga AS keturunan Israel, dinilai menghina Islam. Film itu menggambarkan Islam  bagaikan penyakit kanker dan Nabi Muhammad SAW sedang tidur dengan sejumlah wanita. Tuntutan para pengunjukrasa: film itu dilarang beredar dan pembuatnya dihukum. Unjukrasa yang berubah menjadi anti AS itu menjalar ke mana-mana, baik di negara-negara Timur Tenghah mau pun Eropa, Australia, Asia, termasuk Indonesia.
Sebelum kejadian ini sudah sering terjadi unjukrasa sehubungan penghinaan terhadap Islam baik berupa penggambaran sosok Nabi Muhammad SAW dalam bentuk gambar kartun mau pun pembakaran kitab suci Al-Qur’an. Sejauh itu belum tampak tindakan tegas pemerintah AS untuk menghukum pihak-pihak yang menimbulkan kemarahan umat Islam.
Tindakan AS mengirim dua kapal perusak untuk menangkap penyerang yang menewaskan Dubes Christopher Stevens adalah hal yang perlu diapresiasi. Di lain pihak untuk membuat ummat Islam sedunia bersimpati kepada AS, harus dengan menyelesaikan akar permasalahan, yaitu: hentikan menghina ummat Islam dengan cara apapun!

Sabtu, 08 September 2012

Bahasa Indonesia dan Kita

Salah satu butir Sumpah Pemuda yang diikrarkan tahun 1928 berbunyi: “Kami putera puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.” Sejak saat itu bahasa pergaulan yang semula dikenal sebagai Bahasa Melayu Tinggi, dinyatakan sebagai Bahasa Indonesia. Bahasa itu berasal dari Bahasa Melayu yang digunakan di daerah Riau dan sekitarnya, kemudian berkembang dan diperkaya dengan berbagai istilah dari daerah-daerah lain dan dari Bahasa Asing.
Kata ‘menjunjung tinggi’ bermakna sangat menghargai bahasa itu, sehingga harus digunakan  untuk berkomunikasi baik lisan mau pun tulisan yang sifatnya resmi seperti  dalam rapat-rapat organisasi. Kata ‘menjunjung tinggi’ dapat juga bermakna punya kedudukan yang tinggi, harus diutamakan sedangkan bahasa-bahasa lain baik daerah mau pun asing, menjadi nomor dua. Bahasa Indonesia kemudian digunakan dalam teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dipakai dalam Piagam Jakarta, UUD 1945, Pancasila. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi oleh para penyelenggara negara baik lisan mau pun dalam bentuk dokumen-dokumen penting. Sikap menjunjung tinggi Bahasa Indonesia itu diperlihatkan pula oleh Bung Hatta dalam KMB di Den Haag, sekali pun beliau sendiri sangat mahir berbahasa Belanda.
Suasana penggunaan Bahasa Indonesia tahun-tahun setelah kemerdekaan ‘tercemar’ oleh kaum cerdik pandai. Mereka menyelipkan kata-kata  Belanda  ketika berkomunikasi. Padahal, kata yang diselipkan itu ada  Indonesianya. Mereka mengucapkan kata itu bukan karena tidak tahu kata dalam Bahasa Indonesia, melainkan sekedar menunjukkan kepintaran. Termasuk Bung Karno yang gemar memasukkan berbagai kata asing dalam pidato-pidatonya. Ingat kata ‘vivere peri colosso’ yang artinya ‘menyerempet-nyerempet bahaya’. Bung Karno bukan saja gemar menyelipkan kata-kata Belanda melainkan juga dari negara-negara lain seperti Perancis dan Italia.
Menyelipkan kata-kata Belanda itu lama-lama hilang juga seiring  semakin berkurangnya orang yang mengerti bahasa tersebut. Sayangnya.kelompok masyarakat yang ingin menunjukkan kepintaran dalam berbahasa itu, sekarang beralih ke Bahasa Inggeris. Parahnya lagi, kata Inggeris itu adakalanya  dicampur dengan kaidah Bahasa Indonesia seperti ‘dimention’ yang maksudnya ‘disebut’. Kecendrungan masyarakat seperti itu juga didukung oleh media massa, khususnya televisi. Perhatikan, begitu banyak judul-judul acara dalam Bahasa Inggeris, padahal ada Indonesianya.  Kalau ditulis dalam Bahasa Indonesia, rasanya tidak akan mengurangi bobot acara-acara tersebut.
Untuk mengubah kebiasaan kelompok masyarakat yang gemar menggunakan istilah Inggeris itu, perlu dimulai dari para cerdik pandai, tokoh-tokoh masyarakat dan media massa. Gunakanlah Bahasa Indonesia sepenuhnya dengan menggunakan kata-kata dan istilah yang sudah baku, baik asli mau pun serapan dari Bahasa Asing.

Senin, 03 September 2012

Penduduk Kesulitan Mendapatkan Air Bersih


Musim kemarau yang panjang mengakibatkan banyak wilayah Indonesia, khususnya pulau Jawa, mengalami kekeringan. Waduk-waduk dan sungai-sungai banyak yang kering, bukan saja mengakibatkan gagal panen, melainkan juga membuat penduduk kesulitan memperoleh air bersih untuk hidup sehari-hari. Mereka yang selama ini menggantungkan hidupnya pada air sungai, terpaksa memanfaatkan sisa-sisa air yang masih tergenang di sungai yang kering. Ada pula penduduk yang mencari sumber-sumber mata air di gunung dengan berjalan berkilo-kilo meter jauhnya. Penduduk yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarata mencari jalan keluar dengan membuat sumur pompa dengan menggali tanah sampai kedalaman 20 meter. Tapi karena air di dalam tanah juga kering, maka hasilnya mengecewakan.
Kesulitan mendapatkan air bersih untuk keperluan sehari-sehari sudah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir ini. Ketika ditanyakan media, apa mereka sudah mendapat pertolongan pemerintah daerah setempat berupa pasokan air bersih, jawabnya belum. Inilah yang sangat disayangkan, mengapa penduduk sempat kesulitan berbulan-bulan lamanya, tanpa segera mendapat bantuan pemerintah setempat. Sebab, kekeringan dan kesulitan memperoleh air bersih terjadi tiap tahun. Seharusnya pemerintah daerah setempat sudah mengantisipasinya dan segera bertindak begitu kekeringan terjadi. Lagipula, tidak seluruh wilayah Indonesia mengalami kekeringan. Menurut Kompas TV, wilayah Indonesia yang megalami kekeringan dan penduduknya sulit mendapatkan air bersih, baru belasan saja. Jadi yang diperlukan sebenarnya adalah sistem terpadu untuk mendistribusikan air bersih dari tempat-tempat yang basah ke tempat-tempat yang kering. Memerlukan  ketrampilan teknologi untuk melakukannya. Kementerian Pekerjaan Umum yang punya Direktorat Pengairan, mestinya tidak hanya menangani masalah pengairan untuk keperluan tanaman, hendaklah juga merancang dan menerapkan  cara-cara  mendapatkan air bersih bagai pendududk yang daerahnya kekeringan dan terjadi hanya beberapa bulan dalam setahun. Mestinya Indonesia malu kepada Saudi Arabia yang tidak punya sungai, tapi dapat menyediakan air bersih yang cukup un tuk seluruh penduduknya. Para Kepala Daerah, Bupati dan Gubernur, harus sungguh-sungguh bekerja untuk mengatasi masalah air bersih untuk penduduk yang daerahnya sering dilanda kekeringan. Kalau perlu sediakan waktu untuk ‘studi banding’ ke negara-negara yang tidak punya sungai tapi mampu menyediakan air bersih untuk penduduknya.

Hasil-hasil KTT Nonblok ke 16 Di Iran


KTT Nonblok ke 16 di Teheran, Iran, pada 30 dan 31 Agustus 2012  menghasilkan kesepakatan sikap sebanyak 700 butir menyangkut pelbagai isu global. Sebagian dari kesepakatan itu memperlihatkan  sikap yang berbeda dengan Amerika Serikat, antara lain menyangkut isu nuklir Iran. 120 negara yang hadir dalam KTT tersebut mendukung program nuklkir Iran, menolak aksi sepihak Amerika Serikat (yang menggunakan tangan PBB) terhadap Iran. Ini merupakan tamparan bagi pemerintah Amerika Serikat yang selama ini mengatasnamakan dunia inrernasional untuk menghentikan program nuklir Iran. Juga tamparan bagi Amerika Serikat karena sebagian dari negara-negara anggota Nonblok selama ini dikenal sebagai ‘sahabat’, termasuk Indonesia. Amerika Serikat juga gagal menghentikan langkah Iran menyelenggarakan KTT Nonblok yang dinilai ‘aneh’ karena diselenggarakan oleh sebuah negara yang banyak ‘melanggar’ kewajiban internasional. Kenyataannya Iran didukung 120 negara yang merupakan 2/3 anggota PBB. Dan kenyataan pula bahwa Amerika Serikat dan Uni Eropa saja yang berusaha mengucilkan Iran dari pergaulan internasional.
Sekjen PBB Ban Ki-moon yang menghadiri KTT Nonblok di Iran, sekalipun ditegah oleh Amerika Serikat dan Israel, menggunakan kesempatan untuk menyampaikan keperdulian dan harapan ‘komunitas internasional’ menyangkut program nuklir Iran, terorisme, hak-hak azasi manusia dan perkembangan di Suriah. Pesan-pesan Sekjen PBB itu sebagian tentu ada kebenarannya, sedangkan menyangkut keberadaan program nuklir Iran, ternyata peserta KTT Nonblok berbeda pendapat.
Isu-isu global lainnya yang menonjol dalam Deklerasi KTT Nonblok ke 16 di Teheran adalah Palestina. Deklerasi menegaskan hak-hak sah rakyat Palestina, kemerdekaan Palestina dengan Jerusalem sebagai ibukotanya. Menyangkut nasib para pengungsi Palestina yang diusir Israel dari tanah kelahirannya sendiri, dinyatakan punya hak untuk kembali. Selain itu mendukung usaha-usaha rekonsiliasi Palestina berdasar kesepakatan Kairo dan Doha. Juga pernyataan solidaritas terhadap pejuang-pejuang Palestina yang ditawan Israel. Tidak kalah pentingnya salah satu butir deklerasi juga menyatakan perlawanan terhadap ‘islamophobi’ (ketakutan terhadap Islam) di seluruh dunia.
Deklerasi KTT Nonblok ke 16 di Iran yang tegas dan berani itu menunjukkan negara-negara berkembang yang menjadi anggotanya tidaklah membebek begitu saja terhadap keinginan Amerika Serikat dan konco-konconya mengenai cara-cara menciptakan perdamaian dunia.
Sekalipun tidak punya kekuatan yang ‘memaksa’ Amerika Serikat dan konco-konconya untuk mengubah sikap, setidak-tidaknya Deklerasi KTT Nonblok ke 16 Teheran menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang lebih adil dalam menyelesaikan berbagai masalah global.