Minggu, 11 Agustus 2019

Siapa Yang Menilai Demokrasi Indonesia



Tokoh Reformis, Amien Rais berpendapat bahwa tanpa adaya oposisi, demokrasinya bohong- bohongan. Ini menarik karena sejak Presiden Sukarno memberlakukan apa yang disebutnya sebagai ‘demokrasi terpimpin’ sampai berakhirnya masa orba, sudah tidak ada lagi kelompok oposisi  di  DPR. Kaum oposisi ini sangat berperan dalam pertarungan politik di DPR, sehingga dengan senjata ‘mosi tidak percaya’ pemerintah jatuh bangun berusia rata-rata di bawah satu tahun.

Orang awam memahami demokrasi sebagai pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, bukan atas titah raja dan keluarga raja. Beberapa negara kerajaan seperti Inggeris dan Negeri Belanda adalah negara demokrasi  karena pemerintahannya dipilih oleh rakyat. Dalam melaksanakan demokrasi itu terdpat lagi versi dengan membentuk DPR dan tanpa DPR. Contoh negara-negara yang tidak memiliki DPR adalah Republik Rakyat Cina dan Republik Demokrasi Korea, Dua negara  ini tidak punya kelompok oposisi karena tidak ada DPRnya. Pertarungan politik terjadi di dalam partai komunis satu-satunya partai yang ada.

Demokrasi Indonesia sudah ada tuntunannya yaitu UUD 45 dan dasar negara Pancasila. Namun dalam pelaksanaannya terjadi penafsiran-penafsiran oleh para tokoh dan pemimpin bangsa dari masa ke masa. Presiden Sukarno berkeyakinan demokrasi yang cocok untuk Indonesia adalah ‘demokrasi terpimpin’. Terjadilah hal-hal aneh seperti menyamakan kedudukah aggota DPR dengan menteri, mengangkat Ketua MPRS Chairul Saleh menjadi Waperdam 3 {Wakil perdana Menteri  3}. Presiden Sukarno sendiri menyebut dirinya sebagai Presiden/Perdana Menteri/Pemimpi Besar Revolusi. Satu-satunya pemimpin yang berani mengeritik tindakan Presiden Sukarno itu adalah Mohammad Hatta. Ia menyebut Presiden Sukarno sebagai seorang ‘diktator’. Akibatnya tulisan Hatta berjudul ‘Demokrasi Kita’ dilarang beredar. Tokoh-tokoh politik lainnya masa itu terjebak dalam sikap ‘mendukung tanpa reserve’ setiap tindakan politik Presiden Sukarno.

Dalam zaman reformasi ini nyaring terdengar suara beberapa tokoh yang menyebut Presiden Suharto sebagai ‘otoriter`. Padahal ada DPR dan MPR. Haya saja dua partai politik P3 dan PDI kalah suara di DPR dengan Golkar tambah fraksi ABRI yang diangkat. Akbatnya semua program pembangunan  pemerintah berjalan mulus tanpa koreksi. Kalau memang tindakan Presiden Suharto otoriter, seharusnya dua partai politik yang ada di DPR mengajukan keberatan sekalipun akan kalah juga.
Yang paling baru adalah tuduhan dari kuasa hukum Pradowo/Sandi di MK bahwa Presiden Jokowi adalah orba-baru degan mengutip pakar dari Australia. Artinya, Presiden Jokowi  otoriter, sehingga mudah menyalahgunakan uang negara untuk memenangkannya di  pilpres 2019.

Pertanyaannya, siapa sebetulnya yang berwenang menilai pelasksanaan demokrasi di Indoneia, sehingga masyarakat luas tidak terombangambing oleh berbagai pendapat sejumlah tokoh yang bukan pakar hukum tata negara.
.

Derita Pasien BPJS Mendapatkan Obat Mahal



Pasien pemegang kartu BPJS ternyata masih belum mendapat pelayanan yang baik ketika mengambil obat di Apotek. Seorang pasien yang tinggal di Bojong Gede, Bogor berkisah:

Saya berobat ke dokter Urologi di RS Trimitra, Cibinong pada Rabu, 17 Juli 2019. Dokter memberi resep obat Prostam 30 butir. Apotek rumah sakit mengatakan obatnya tidak tersedia dan merekomendasikan ke apotek Kimia Farma di Sukahati, Cibinong. Karena sudah malam, saya baru sempat mendatangi Kimia Farma Sukahati  hari lain yaitu seminggu kemudian. Ternyata di Kimia Farma sedang kosong pula. Petugas Kimia Farma menghubungi apotek Zentrum di Seblak, Bogor. Pihak apotek Zentrum menjelaskan, waktunya sudah ‘kepepet’ lantas merekomendasikan ke apotek Zentrum di Parung, Bogor. Karena apotek Zentrum di Parung tidak menyahut, petugas Kimia Farma memberikan nomor telpon apotek  tersebut kepada saya untuk diurus sendiri.

“Bayangkan Bung. Seorang lansia berusia 74 tahun harus mondar mandir naik angkot untuk mendapatkan obat yang harganya 600 ribu rupiah itu. Kalau tidak mau repot, ya  beli sendiri di apotek lain.” Keluh sang pasien BPJS. Ia akhirnya memutuskan membeli obat itu dengan cara mencicil menunggu uang pensiun tanggal 1 Agustus 2019.

Pertayaannya, apa pengambilan obat bagi pasien BPJS khususnya lansia bisa dipermudah? Mengapa apotek rumah sakit tidak didrop obat yang cukup sehingga tidak harus ke apotek lain? Semoga menjadi perhatian Bu Menteri  Kesehatan dan pihak-pihak terkait untuk berfikir lebih maju dan mengambil tindakan seperlunya.