Sabtu, 08 September 2012

Bahasa Indonesia dan Kita

Salah satu butir Sumpah Pemuda yang diikrarkan tahun 1928 berbunyi: “Kami putera puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.” Sejak saat itu bahasa pergaulan yang semula dikenal sebagai Bahasa Melayu Tinggi, dinyatakan sebagai Bahasa Indonesia. Bahasa itu berasal dari Bahasa Melayu yang digunakan di daerah Riau dan sekitarnya, kemudian berkembang dan diperkaya dengan berbagai istilah dari daerah-daerah lain dan dari Bahasa Asing.
Kata ‘menjunjung tinggi’ bermakna sangat menghargai bahasa itu, sehingga harus digunakan  untuk berkomunikasi baik lisan mau pun tulisan yang sifatnya resmi seperti  dalam rapat-rapat organisasi. Kata ‘menjunjung tinggi’ dapat juga bermakna punya kedudukan yang tinggi, harus diutamakan sedangkan bahasa-bahasa lain baik daerah mau pun asing, menjadi nomor dua. Bahasa Indonesia kemudian digunakan dalam teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dipakai dalam Piagam Jakarta, UUD 1945, Pancasila. Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi oleh para penyelenggara negara baik lisan mau pun dalam bentuk dokumen-dokumen penting. Sikap menjunjung tinggi Bahasa Indonesia itu diperlihatkan pula oleh Bung Hatta dalam KMB di Den Haag, sekali pun beliau sendiri sangat mahir berbahasa Belanda.
Suasana penggunaan Bahasa Indonesia tahun-tahun setelah kemerdekaan ‘tercemar’ oleh kaum cerdik pandai. Mereka menyelipkan kata-kata  Belanda  ketika berkomunikasi. Padahal, kata yang diselipkan itu ada  Indonesianya. Mereka mengucapkan kata itu bukan karena tidak tahu kata dalam Bahasa Indonesia, melainkan sekedar menunjukkan kepintaran. Termasuk Bung Karno yang gemar memasukkan berbagai kata asing dalam pidato-pidatonya. Ingat kata ‘vivere peri colosso’ yang artinya ‘menyerempet-nyerempet bahaya’. Bung Karno bukan saja gemar menyelipkan kata-kata Belanda melainkan juga dari negara-negara lain seperti Perancis dan Italia.
Menyelipkan kata-kata Belanda itu lama-lama hilang juga seiring  semakin berkurangnya orang yang mengerti bahasa tersebut. Sayangnya.kelompok masyarakat yang ingin menunjukkan kepintaran dalam berbahasa itu, sekarang beralih ke Bahasa Inggeris. Parahnya lagi, kata Inggeris itu adakalanya  dicampur dengan kaidah Bahasa Indonesia seperti ‘dimention’ yang maksudnya ‘disebut’. Kecendrungan masyarakat seperti itu juga didukung oleh media massa, khususnya televisi. Perhatikan, begitu banyak judul-judul acara dalam Bahasa Inggeris, padahal ada Indonesianya.  Kalau ditulis dalam Bahasa Indonesia, rasanya tidak akan mengurangi bobot acara-acara tersebut.
Untuk mengubah kebiasaan kelompok masyarakat yang gemar menggunakan istilah Inggeris itu, perlu dimulai dari para cerdik pandai, tokoh-tokoh masyarakat dan media massa. Gunakanlah Bahasa Indonesia sepenuhnya dengan menggunakan kata-kata dan istilah yang sudah baku, baik asli mau pun serapan dari Bahasa Asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar