Selasa, 25 Desember 2012

Rakyat Mesir Menyetujui Konstitusi Baru




Referendum yang diselenggarakan pada 15 dan 22 Desember 2012 menghasilkan dukungan rakyat Mesir terhadap Konstitusi Baru yang disusun oleh Majelis negeri itu. Lebih dari 63 persen rakyat memberikan suara ‘ya’ dan lebih dari 36 persen memberikan suara ‘tidak’. Pelaksanaan referendum mula-mula ditentang oleh kelompok oposisi, tapi akhirnya setuju ikut untuk memberikan suara ‘tidak’. Sebelumnya, Presiden Mesir, Mursi, mengeluarkan dekrit yang ditentang kaum oposisi karena dinilai memberi kewenangan tak terbatas  kepada seorang presiden. Dekrit itu  menyatakan bahwa keputusan presiden tidak bisa dibatalkan pihak mana pun, termasuk Lembaga Pengadilan. Menurut para pendukung Presiden Mursi, dekrit hanya sementara sifatnya sampai berlakunya Konstitusi Baru dan terpilihnya Parlemen Baru.
Diantara hal-hal penting yang tercantum dalam Konstitusi Baru adalah, dijadikannya Islam sebagai agama Negara dan prinsip Syariat Islam sebagai sumber utama undang-undang. Juga dicantumkan tentang masa jabatan seorang presiden yang hanya boleh dua kali.
Jelas ada perobahan mendasar dalam kehidupan politik di Mesir. Untuk pertama kalinya, setelah digulingkannya Raja Farouk tahun 1952, Mesir diperintah oleh orang sipil dari organisasi Islam, Ikhwanul Muslimin, yang selama ini selalu dipinggirkan oleh penguasa-penguasa yang berlatar belakang militer. Kaum oposisi itu sekarang berkuasa dan akan bersandar pada Syariat Islam dalam mengelola negara. Penguasa Mesir sekarang mestinya belajar dari sejumlah negara yang tegas-tegas menjadikan Syariat Islam sebagai sumber utama semua kebijakan. Apakah Negara-negara yang memberlakukan Hukum Islam itu berhasil semuanya atau ada juga yang tidak. Ke dalam, harus mampu menjamin kesejahteraan dan keselamatan rakyatnya. Ke luar, harus mampu membela kepentingan dan harga diri Islam. Dalam masalah Palestina misalnya, sampai tahun 1967, Mesir masih menjadi pembela utama Islam di Palestina. Tapi setelah perang 6 hari, demi kembalinya Sinai ke tangan Mesir, negeri Firaun itu terpaksa berdamai dan mengakui keberadaan negara Israel. Pertanyaannya, mampukah penguasa Mesir  sekarang mengoreksi kekeliruan para pemimpinnya di masa lalu dan mengembalikan jati dirinya sebagai pembela Islam yang utama di Palestina? Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar