Buku berjudul ‘Anas Urbaningrum Tumbal Politik Cikeas’
karangan Ma’mun Murod Al-Barbasy telah beredar, memaparkan keberadaan Anas
Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Buku ini merupakan kumpulan 28
status facebook, ditulis antara September 20011 sampai April 2013. Membaca ke
28 status facebook itu tampak dengan ‘terang benderang’ bahwa ada pertarungan
dalam Partai Demokrat, khususnya untuk menduduki jabatan Ketua Umum. Dalam
Kongres Partai Demokrat th.2010 di Bandung, Anas terpilih sebagai Ketua Umum.
Itu merupakan kejutan karena Anas bukanlah yang diharapkan. Itu pula yang menyebabkan
terjadinya kegaduhan politik di lingkungan Partai Demokrat.
Memang terjadi ketidakharmonisan antara SBY dengan Anas menjelang
Kongres 2010. SBY meminta Anas tidak maju sebagai calon dan menawarkan jabatan
Sekjen. Tapi Anas bersikukuh dan menang, mengalahkan dua calon lainnya yaitu
Andi Malarangeng dan Marzuki Ali. SBY menginginkan Andi yang menjadi Ketua Umum
yang menurut Ma’mun, “boleh jadi mempunyai pemikiran kalau Andi Malarangeng
lebih bisa untuk dikendalikan ketimbang Anas Urbaningrum.”
Penolakan Anas menjelang Kongres Partai Demokrat 2010
rupanya masih membekas pada diri SBY. SBY masih belum legowo, masih menampakkan
ketidakrelaannya. “Kepemimpinan Anas Urbaningrum terus diganggu dengan begitu
sistematis,” tulis Ma’mun. Puncaknya adalah dikeluarkannya ‘Delapan Poin Penyelamatan
Partai Demokrat’ yang menurut Anas Urbaningrum substansinya adalah ‘kudeta’
terhadap dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Ada dua hal yang membuat Anas dinilai ‘tercemar’ yaitu hasil
survey yang menunjukkan perolehan suara Partai Demokrat merosot di bawah PDIP
dan Partai Golkar, jika pemilu diadakan pada saat survey. Yang kedua, disebut-sebutnya
nama Anas dalam kasus proyek Hambalang. Survey yang dilakukan SMRC pada 6-22
Desember 2012 menunjukkan Partai Demokrat memperoleh 8,3 persen suara jauh di
bawah Partai Golkar dan PDIP yang masing-masing memperoleh 21,3 persen dan 18,2
persen. Hasil survey SMRC itu diragukan kebenarannya oleh pengarang. Sedangkan
keterlibatan Anas dalam kasus proyek Hambalang dinilai tidak masuk akal karena menjadi kewenangan Kemenpora. Keadaan
inilah yang dinilai membahayakan Partai Demokrat, sehingga Syarif Hasan dan
Jero Wacik meminta Anas mundur.
Buku ini pantas dibaca para peminat politik untuk menilai
apakah demokrasi di lingkungan partai-partai politik sendiri sudah terlaksana
sebagaimana mestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar