Kamis, 24 September 2015

Mahkamah Kehormatan DPR Jangan Mandek



Mahkamah Kehormatan DPR yang menyelidiki pertemuan Pimpinan DPR, Setya Novanto dan Fadli Zon di New York dengan bakal calom presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump, awal bulan September 2015 mulai mendapat ganjalan. Pihak pimpinan DPR dan kesekjenannya mensyaratkan, Mahkamah Kehormatan harus mendapat izin dari pimpinan lembaga tersebut untuk melakukan penyelidikan seperti itu. Mudah ditebak, jika itu dilakukan, izin tidak akan diberikan dan kedudukan Mahkamah Kehormatan menjadi tidak independen lagi. Dalam hal ini perlu dilihat lagi UU yang mengaturnya, apa memang perlu ada izin seperti itu. Kalau tidak ada ketentuan itu, Mahkamah Kehormatan DPR jalan saja terus.
Pertemuan pimpinan DPR dengan Trump dalam kesempatan jumpa publik itu, dinilai melanggar etika oleh sejumlah anggota DPR lantas mengadukannya kepada Mahkamah Kehormatan untuk menyelidikinya. Pertemuan tersebut menunjukkan, pimpinan DPR seolah-olah mendukung salah satu pihak yang sedang bertarung memperebutkan kursi presiden AS. Padahal, sebagai tamu dari negara sahabat yang sedang berkunjung, kurang pas melakukan hal tersebut. Calon-calon dari Partai Republik dan Partai Demokrat, sama-sama sahabat Indonesia. Apalagi kesan dukungan tersebut diberikan oleh pimpinan DPR, seolah-olah rakyat Indonesia yang tidak tahu menahu, ikut mendukung Trump.
Pertemuan itu sendiri tidak masuk dalam agenda kunjungan sejumlah anggota DPR yang menghadiri Sidang Parlemen Internasional. Jadi merupakan inisiatif pribadi untuk mengisi waktu. Kalau para anggota DPR yang hadir di situ duduk diam-diam di belakang sekedar mengetahui suasana kegiatan kampanye bakal calon presiden AS, mungkin tidak menjadi masalah. Masalahnya, Setya Novanto dan Fadli Zon duduk di depan dan diperkenalkan secara resmi oleh Trump. Ia menyebut Setya Novanto sebagai 'orang besar' dari Indonesia. Tidak hanya memuji, Trump bertanya apa rakyat Indonesia menyukai dirinya? Dijawab Setya Novanto: ya!
Dalam UU No.17 Th 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD memang disebutkan adanya fungsi diplomasi anggota DPR. Ini perlu diperjelas, diplomasi seperti apa. Apa diplomasi itu dilakukan dalam rangkaian agenda kunjungan yang sudah diatur, atau boleh di luar itu.

Bagaimanapun, karena sudah dipersoalkan oleh anggota-anggota DPR sendiri dan MahkamahKehormatan juga sedang bekerja, masalah pertemuan pimpinan DPR dengan bakal calon presiden AS Donald Trump, harus dibuat terang benderang. Ke depan, para pejabat publik yang berkunjung ke luar negeri, diharapkan benar-benar bertugas sesuai fungsinya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar