Sabtu, 31 Desember 2011

Dakwah atau hiburan

Sepanjang tahun 2011 stasiun-stasiun televisi di tanah air menyajikan siaran-siaran agama Islam, khususnya waktu Subuh, dalam pelbagai bentuk dan variasi. Yang paling banyak dengan mendatangkan sang penceramah atau da’i dan da’iah tampil dengan pelbagai gaya dalam menyampaikan materi yang ditentukan sebelumnya. Inilah yang menarik untuk diamati. Yang paling lazim dari dulu adalah, penceramah menjelaskan isi kandungan Al Qur’an dan Hadis sehubungan dengan materi yang dipilih. Tidak ada guyon begitu juga peragaan. Yang terjadi setahun terakhir ini adalah penceramah menyampaikan materi dengan diselingi guyon baik dalam bentuk ucapan maupun gerak gerik, membuat audience tertawa. Guyon disampaikan oleh penceramah sendiri, bisa juga oleh pembawa acara yang mendampingi. Contoh untuk guyon oleh penceramah adalah pertanyaan kepada audience, “Mau masuk sorga?” Setelah dijawab mau oleh audience, penceramah mengatakan, “Mati dulu”. Sedangkan guyon oleh pembawa acara, juga dalam bentuk pertanyaan seperti, “Ibu-ibu pakaian seragamnya sudah lunas apa belum?” Audience pun menjawab dengan senang sambil tertawa.

Ada pula penceramah yang bergaya lebih jauh lagi yaitu dengan menyanyi, berpantun, peragaan dalam bentuk sulap dan bersikap bagaikan sedang main sinetron sambil menunjukkan ekspresi kesal, marah, sedih dan sebagainya.

Kalau hanya guyon untuk menyegarkan suasana, sebetulnya sudah lama dilakukan para da’i maupun da’iah kita. Misalnya seorang penceramah menceritakan di sebuah mesjid yang letaknya jauh di tempat lain, jemaah Subuhnya hanya lima orang. Kemudina ia melanjutkan, “Kalau di sini sih, nggak. Nggak beda.” Audience tertawa senang karena kenyataannya memang begitu. Ada juga penceramah menggunakan suasana masa kini dalam mengisahkan sesuatu yang terjadi dimasa silam. Misalnya tentang kisah Nabi Nuh: Setelah semua pengikutnya naik ke atas kapal, Nabi Nuh memanggil anaknya Kan’an untuk ikut. Sang anak menjawab, “Tidak papa, aku naik gunung saja.” Kata ‘papa’ membuat audience tertawa geli. Penceramah lainnya mengisahkan pertemuan Nabi Muhammad SAW dengan setan di depan mesjid. Nabi bertanya kepada setan, “Mau kemane lu tan?” Setan menjawab dengan ketakutan, “Ah, nggak.”

Dalam ilmu dakwah, salah satu syarat untuk berhasil adalah menyampaikannya dengan cara menarik. Namun tidak ada anjuran untuk melakukan guyon agar menarik. Kalau disimak cara Nabi Muhammad SAW berdakwah yang diteruskan para ulama, rasanya tidak ada praktek guyon, peragaan dan gerak gerik badan yang lucu. Menurut Quraish Shihab, bisa saja diselipkan guyon satu dua untuk penyegaran, tapi bukan membuat audience tertawa terus dari awal sampai akhir. Pada akhirnya terpulang kepada para da’i dan da’iah sendiri, apa mau sungguh-sungguh berdakwah atau sekedar menghibur.

2 komentar:

  1. Bagi sebagian kalangan sekarang dakwah identik dengan hiburan, maka para da'i berlomba-lomba untuk menyisipkan guyonan dalam ceramahnya. setelah selesai mendengarkan ceramah, bukannya materi dakwah yang diingat tapi guyonannyalah yang selalu diperbincangkan.
    Maka tidak heran berapapun banyaknya dakwah yang disiarkan atau diikuti audience, hanya sedikit yang dapat merubah perilaku kehidupan.

    BalasHapus
  2. Saya setuju Pak Dadang. Harapan kita tinggal para penonton yang menjadi semakin cerdas atau stasiun penyiaran yang semakin memperhatikan fungsi edukasi kepada pemirsanya, bukan melulu berorientasi kepada industri.

    BalasHapus