Sabtu, 31 Desember 2011

Mengelu-elukan Tahun Baru


Tahun baru datang lagi. Penduduk dunia pun sibuk merayakannya dengan pelbagai acara yang meriah. Tahun baru dianggap sebagai bayi baru lahir, karena itu trompet pun dibunyikan mewakili suara bayi yang mengeak setelah kelahirannya. Ucapan ‘Selamat Datang Tahun Baru’ muncul di mana-mana termasuk di televisi-televisi yang membuat acara khusus. Pelbagai acara hiburan digelar di mana-mana menjelang malam tahun baru sampai larut malam. Tahun baru sungguh dianggap sebagai tamu agung yang dielu-elukan kedatangannya. Padahal tahun baru hanyalah waktu yang pasti datang tanpa diminta. Tidak dielu-elukan pun sebagai waktu, tahun baru datang juga. Kalau rakyat mengelu-elukan kedatangan seorang pemimpin di daerahnya, ini hal yang lumrah. Itu tanda sang pemimpin dicintai rakyatnya. Dengan mengelu-elukan kedatangan sang pemimpin, rakyat mengharapkan kesejahteraan hidup yang lebih baik. Setelah menerima sambutan meriah rakyatnya, sang pemimpin akan terketuk hatinya untuk berbuat labih baik untuk rakyatnya.

Bagaimana dengan tahun baru? Tentu tidak bisa diharapkan mengubah keadaan, karena ia hanyalah waktu. Yang mengubah keadaan adalah manusia itu sendiri. Jangan mimpi tahun baru akan membuat manusia lebih sejahtera tanpa manusianya sendiri bekerja lebih keras sambil berdo’a.

Bergembira menyambut tahun baru bukanlah sifat asli orang Indonesia. Kaum penjajah yang berasal dari dunia barat itu yang punya kebiasaan menyelenggarakan pesta menyambut tahun baru. Orang Indonesia yang suka meniru melakukan hal sama dan menambahnya dengan pelbagai acara keramaian. Dalam tahun tujuhpuluhan, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menyelenggarakan keramaian di sepanjang jalan Thamrin, Jakarta. Penduduk DKI pun tumpah ruah menikmati suasana malam tahun baru di jalan raya. Kebiasaan yang dirintis Gubernur Ali Sadikin itu masih berlanjut dengan mengalihkannya ke Ancol, kawasan wisata DKI. Pelbagai hal yang tidak diinginkan pun terjadi seperti kecelakaan lalu lintas dan tindak kriminal yang membuat nyawa orang melayang. Keramaian menyambut tahun baru yang dicontohkan Ibukota itu dengan cepat menjalar ke kota-kota lainnya. Dunia hiburan pun menangguk untung dari rupiah yang dibayarkan oleh masyarakat yang ikut merayakan tahun baru.

Para alim ulama menilai kegiatan menyambut tahun baru hanyalah hura-hura yang lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Lantas dianjurkan kepada ummat Islam menggelar zikir, meminta kepada Allah SWT supaya keadaan lebih baik di dalam tahun baru. Zikir memang sangat baik, selalu dianjurkan untuk dilakukan pagi dan petang. Tapi banyak yang mempertanyakan anjuran semacam itu. Zikir jangan dikaitkan dengan menyambut tahun baru. Tidak ada dalilnya. Tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW menyelenggarakan zikir menyambut tahun baru masehi.

Kalau begitu, kembali saja kepada sifat asli orang Indonesia. Biar saja tahun baru dirayakan orang barat dan orang Indonesia yang ke barat-baratan. Tidak usah ke luar rumah untuk menyambut tahun baru, mengeluarkan biaya tambahan yang sebetulnya tidak perlu.
.

2 komentar:

  1. Memang sangat miris, kalau menyaksikan begitu banyaknya orang-orang kita yang rela menghambur-hamburkan uang hanya untuk sekedar menyambut tahun baru baik untuk sekedar membeli kembang api yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah, menginap di hotel mewah atau kegiatan lainya, sementara masih banyak masyarakat di sekeliling kita yang masih kekurangan dalam mencukupi kehidupan pangannya.
    Nampaknya sifat asli sebagian orang Indonesia sudah berubah???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin belum berubah, tetapip terlupakan. mudah-mudahan saja pelan-pelan bsia kita ingatkan kembali mengenai sifat asli masyarakat kita ini agar tidak terjebak dalam hedonisme dan materialisme.

      Hapus