Djasli Djosan. Lahir di Kapalo Koto, desa kecil di Sumatera Barat pada
7 Juli 1945. Sepanjang karirnya dihabiskan untuk mengabdi pada Radio Republik
Indonesia (RRI) sejak 1966 hingga 2001. Di lembaga ini sempat menjabat sebagai
Kepala Siaran Luar Negeri pada tahun 1999-2000 dan Kepala Pemberitaan pada
tahun 2000-2001. Pada tahun 1981, ditugaskan oleh RRI dalam kerjasama dengan
Radio Nederland. Sejak tahun 1981 hingga 1983, bekerja sebagai Produser Siaran
Bahasa Indonesia di Radio Nederland Wereld Omroep. Setelah pensiun dari jabatan
struktural di RRI, masih aktif mengisi rubrik “Komentar” RRI sebagai Komentator
Senior hingga Jauari 2013..
Daftar Isi
Pengantar
Buku kecil
berjudul ‘Inilah Radio Republik Indonesia’ merupakan hasil renungan penulis
setelah bekerja di RRI selama 35 tahu (1966 – 2001).
Bukan karya
ilmiah dan bukan pula pedoman siaran, buku ini tidak memuat data-data lengkap
RRI di segala bidang, melainkan yang sekedar mendukung keadaan-keadaan
tertentu. Hal-hal yang disajikan adalah pengamatan ‘selayang pandang’ keadaan
RRI. Mungkin saja terjadi perubahan di sana sini, sehingga masalah-masalah yang
diungkap penulis sudah teratasi. Tentulah patut disyukuri.
Dengan membaca
buku kecil ini, penulis mengharapkan generasi muda RRI dapat melihat
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk kemajuan RRI, khususnya
dalam upaya menjadikan RRI berkelas dunia.
Djasli Djosan
“Inilah Radio
Republik Indonesia…” begitulah bunyi
suara penyiar ketika membuka siaran dengan iringan lagu ‘Mars Jakarta’
menjumpai pendengar di seluruh pelosok Indonesia. Suara penyiar itu terdengar
hangat, membuat pendengar tertarik dan tetap berada di tempat menanti informasi
penyiar selanjutnya. Kemudian penyiar menyebutkan nama stasiun, hari dan
tanggal dan diakhiri ucapan selamat mendengarkan serta salam merdeka!
Sebagai
satu-satunya siaran radio yang beroperasi di Indonesia mulai tahun 1945, RRI
memang ‘merajai’ udara Indonesia. RRI merupakan media yang berpengaruh
membawakan berita dan informasi baik tingkat lokal, nasional, maupun
internasional. Pemerintah menjadikannya sebagai salah satu alat penting untuk
menyampaikan kebijakan-kebijakan pemerintah guna diketahui masyarakat di dalam
mauapun di luar negeri. Peran penting RRI itu tampak dengan kehadiran reporter
Darmo Sugondo yang menyiarkan langsung kegiatan Presiden Soekarno di dalam dan
di luar negeri. Tidak dapat dipungkiri jika kebijakan pemerintah menempati
porsi yang besar dalam siaran RRI sehingga masyarakat menganggapnya sebagai
‘radio pemerintah’. Padahal sejak kelahirannya pada tanggal 11 September 1945,
RRI muncul dengan prinsip ‘berdiri di atas semua golongan’ seperti tercantum
dalam Tri Prasetya RRI.
Kenyataannya RRI
menjadi pilihan dan sumber utama berbagai informasi penting untuk segera
diketahui masyarakat sehingga ketika terjadi penyimpangan yang dilakukan RRI
dari kebiasaannya yaitu tidak menyiarkan Warta Berita pada siang hari tanggal 1
Oktober 1965, masyarakat pun memperbincangkannya dan bertanya-tanya apa yang
sedang terjadi di Republik ini.
RRI pula
kemudian yang menyiarkan bahwa telah terjadi pengambilalihan kekuasaan dari
pemerintah yang sah ke tangan yang menamakan dirinya Dewan Revolusi pimpinan
Letnan Kolonel Untung.
Yang menamakan
dirinya ‘Dewan Revolusi’ itu adalah bentukan sekelompok orang yang melancarkan
gerakan yang mereka sebut Gerakan 30 September (G30S). Karena yang berada di
belakang gerakan itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) maka gerakan itu
dinamakan G30S/PKI.
Hanya beberapa hari berlangsung
kekuasaan ‘Dewan Revolusi’ dapat dipatahkan oleh kekuatan yang masih setia
kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar ’45 di bawah pimpinan Pangkostrad
Mayor Jenderal Soeharto.
Semua kejadian
itu disiarkan secara lengkap dan berulang-ulang oleh RRI sehingga masyarakat
dapat mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi.
Bukan saja
informasi tentang politik pertahanan dan keamanan yang menjadi unggulan siaran
RRI melainkan juga bidang-bidang kehidupan lainnya seperti olahraga.
Pertandingan Thomas Cup tahun 1964 di Tokyo disiarkan langsung oleh RRI pada
waktu itu reporter Atun Budiono mengajak pendengar-pendengar bangsa Indonesia
berdoa untuk kemenangan Tim Indonesia.
RRI benar-benar
dirasakan perannya dan tidak salah kalau dikatakan ‘merajai’ Indonesia sampai
mendapat saingan dari radio-radio non-RRI pada tahun 1966.
Berada di Atas Semua Golongan
Tri Prasetya RRI mengamanatkan bahwa organisasi penyiaran ini
berada di atas semua golongan. Itu berarti RRI
bersikap netral, tidak memihak kepada suatu golongan tertentu. Secara
tersirat itu juga berarti RRI tidak memihak kepada pemerintah yang sedang berkuasa.
Dalam pelaksanaannya menjadi sulit karena kedudukan RRI sendiri yang berada di
dalam lingkungan pemerintahan, yaitu bagian dari Departemen Penerangan. Begitu
juga penyelenggara siarannya yang kesemuanya PNS. Secara psikologis,
karyawan-karyawan RRI memiliki kesetiaan ganda yaitu setia kepada negara dan
setia kepada pemerintah. Dan dalam sejarahnya, RRI memang senantiasa mendukung
pemerintah RI dalam berhadapan dengan pihak asing, dalam hal ini bangsa
penjajah. Ketika sebuah wilayah direbut pihak NICA dalam perang melawan agresi
Belanda, para ‘Angkasawan RRI’ ikut mengungsi dan siaran dari tempat aman yang
dikuasai RI.
Setelah keadaan aman dan NKRI berhasil dipertahankan,
seharusnya RRI sudah bisa menerapkan praktek ‘cover both sides’ dalam pemberitaan
dan penyampaian informasi-informasi lainnya. Sayangnya sudah terlanjur dimiliki
sikap ‘setia kepada pemerintah’, sehingga prinsip berada diatas semua golongan
tetap sulit dilaksanakan. Bahkan ada sikap permusuhan terhadap segala sesuatu
yang dinilai bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Sikap seperti itu
berlangsung sampai zaman reformasi. Beberapa peristiwa berikut mendukung
pendapat tersebut.
Pertama, tahun 1970 dalam upaya merebut kembali pendengar RRI
yang’hilang’, Kepala Siaran Agama dan Budaya RRI Jakarta, Drs. D. Syarif
mengundang mantan Ketua Umum Partai Masyumi, Mohammad Natsir mengisi acara
siaran ‘Kuliah Subuh’. Sempat siaran satu kali, terjadi heboh karena kebijakan
tersebut tidak didukung oleh pimpinan RRI. Mohammad Natsir dianggap terlibat
dalam pemberontakan PRRI tahun 1958, dipenjarakan oelh Presiden Sukarno, karena
itu ia masuk dalam kelompok ‘musuh’. Peristiwa tersiarnya ‘Kuliah Subuh’
Mohammad Natsir itu dianggap suatu ‘kecolongan’.
Kedua, masih berhubungan dengan Mohammad Natsir. Pada tahun
1980 di Jakarta diselenggarakan Konferensi Media Massa Islam Sedunia. Ketika
rapat memilih ketua sidang, delegasi Arab mengusulkan nama Mohammad Natsir,
tokoh yang sangat mereka kenal. Berhubung situasi waktu itu, keputusan belum
diambil, menunggu klarifikasi dari pemerintah. Kesimpulannya, Mohammad Natsir
belum terpilih, melainkan hanya usul dari delegasi Arab. Itulah yang
diberitakan oleh reporter yang bertugas waktu itu, disiarkan pada malam hari.
Esok paginya, redaktur dinas menyiarkan berita itu kembali dengan mengambil
dari sumber lain, sehingga seolah-olah Mohammad Natsir sudah terpilih sebagai
Ketua Sidang . Ismael Hasan SH dari Departemen Penerangan menegur Direktur RRI,
M. Sani. Siang harinya reporter yang bertugas langsung di ‘semprot’ oleh M.
Sani disertai dua tuduhan yaitu, tidak mengerti Bahasa Inggeris dan sengaja
menjatuhkan Direktur Radio! Masalahnya selesai sebulan kemudian, setelah
Kasubdit Pemberitaan, Sudjarwo, menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
Ketiga, di zaman reformasi menjelang pemilu 7 Juni 1999, RRI
menyiarkan berita bahwa Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri berpeluang
menjadi Presiden RI mengantikan BJ Habibie. Berita tersebut, diolah oleh Freddy
Ndolu dalam bentuk ‘news in depth’, berdasar peta kekuatan politik yang ada.
Model berita seperti itu memang belum lazim dan tidak semua reporter mampu
melakukannya. Seharusnya, Freddy Ndolu mendapat penghargaan atas kemampuannya
itu. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, ia ditegur oleh Kasubdit Pemberitaan,
Drs. Hendro Martono. “Pak Direktur lagi marah-marah tu, gara-gara berita Anda
kemarin. Makanya, jangan Anda coba-coba ulangi lagi, ya! Maksudnya berita
semacam itu. Kalaupun mau diberitakan, sebut saja Megawati Sukarnoputri,
sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan. Bukan sebagai yang memiliki peluang besar
jadi Presiden. Ingat itu!” Begitulah bunyi teguran Drs. Hendro Martono, seperti
dikisahkan Freddy Ndolu dalam buku ‘Dia’.
Sikap mental yang memandang tokoh yang dinilai berseberangan
dengan pemerintah itu sebagai ‘musuh’, ternyata belum lenyap juga sampai zaman
reformasi. Padahal, seandainya Presiden BJ Habibie sendiri mendengar berita
itu, belum tentu akan marah dan menegur RRI.
Bersamaan dengan munculnya kegiatan-kegiatan unjukrasa
mahasiswa pada tahun 1966, bermunculan pula radio-radio siaran non RRI,
mula-mula di Jakarta kemudian menjalan ke kota-kota lainnya. Jumlahnya mencapai
1000 stasiun penyiaran di seluruh Indonesia. Yang terkenal di Jakarta waktu itu
adalah ‘Radio Pancasila’, ‘Radio Ampera’, dan ‘Radio Fakultas Teknik
Universitas Indonesia’. Para pendiri radio-radio siaran non RRI itu menyadari
pentingnya media radio menyampaikan pesan-pesan dan pemikiran-pemikiran baru untuk
mencari solusi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi bangsa dan negara pasca
peristiwa G 30 S/PKI. Mereka menyiarkan diskusi-diskusi dan seminar-seminar
kalangan kampus tentang langkah-langkah apa sebaiknya yang harus diambil Mayor
Jenderal Suharto untuk memulihkan keadaan. Radio-radio siaran non RRI juga
menyiarkan kegiatan-kegiatan mahasiswa sehubungan dengan unjukrasa yang
bermarkas di Universitas Indonesia, Jalan Salemba 4, Jakarta.
Para
penyelenggara siaran radio-radio siaran non RRI sama sekali belum memahami
seluk-beluk penyiaran radio. Yang penting siaran mereka bisa didengarkan dan
pesan-pesan pun disampaikan apa adanya. Mereka juga menyelenggarakan
acara-acara khas mahasiswa dan berbicara dengan bahasa Indonesia yang tidak
baku. Salah satu siaran yang diberi nama , ‘Pilihan Pendengar’ menyampaikan
permintaan lagu dari para mahasiswa ditujukan kepada ‘Om botak di Merdeka Utara
dengan ucapan, turun dong Om, buruan!’ Pendengar tentu mengerti siapa si Om
yang dimaksud.
Dalam masa-masa
kegiatan mahasiswa turun ke jalan itu, RRI memberlakukan seleksi yang ketat
terhadap berita-berita dan informasi dari luar. Seorang perwira menengah
berpangkat Letnan Kolonel, yaitu Amirudin Siregar, ditempatkan di RRI oleh
Dinas Penerangan Angkatan Darat untuk mengawasi berita-berita yang akan
disiarkan RRI baik hasil liputan sendiri maupun dari sumber-sumber lain. Semua
berita yang akan disiarkan itu harus dengan persetujuan Letnan Kolonel Amirudin
Siregar.
Dengan
berlakunya kebijakan sensor itu masyarakat semakin banyak mendengarkan
radio-radio non RRI dan siaran radio luar negeri untuk mengetahui informasi
lebih lengkap tentang keadaan yang sedang terjadi di Indonesia.
Radio-radio non
RRI yang mula-mula ke udara dengan kekuatan pemancar 250 watt, terus meningkatkan
kemampuan dengan memasang pemancar lebih besar yaitu 1 sampai 10 kilowatt.
RRI benar-benar
mendapat saingan yang tidak boleh dianggap enteng.
Mungkin
mengetahui keadaan di RRI, radio-radio siaran non RRI mengundang
pengisi-pengisi acara yang ‘laku dijual’ seperti Kosim Nurseha yang dikontrak
selama bertahun-tahun oleh Radio Kayu Manis.
Berkurangnya
pengisi acara dari luar membuat
karyawan-karyawan RRI sendiri berinisiatif mengisi acara-acara yang kosong
seperti cerpen dan penulis naskah sandiwara radio.
Tentu saja mutunya tidak sebaik mereka yang pekerjaannya penulis cerpen dan
sandiwara radio.
Mudah dipahami
jika suatu ketika sandiwara radio ‘Saur Sepuh’ yang disiarkan bersambung oleh
sebuah stasiun radio non RRI menjadi sangat populer. Hal itu menggeser
kedudukan RRI sebagai satu-satunya penyelenggara siaran sandiwara radio dengan
sutradara John Simamora yang terkenal itu.
Menghadapi
radio- siaran non RRI seharusnya dengan
meningkatkan mutu acara-acara siaran bukan menambah jam siaran. Mutu siaran dapat
ditingkatkan dengan menerapkan sepenuhnya cara-cara memproduksi siaran seperti
yang diajarkan dalam kursus-kursus diselenggarakan pelbagai lembaga penyiaran
luar negeri termasuk Lembaga
Asia-Pasifik Untuk Pengembangan Siaran –AIBD-.
Saingan RRI Yang Lain
Jauh sebelum munculnya radio-radio siaran non RRI, saingan
utama RRI adalah radio-radio siaran dari luar negeri, khususnya dalam Bahasa
Indonesia, seperti BBC, VOA, Radio Nederland dan Radio Australia. Siaran radio
luar negeri itu terdengar dengan baik di Indonesia dengan menggunakan pemancar
SW berkekuatan besar. Selain mempromosikan berbagai keadaan dan kemajuan negara
tempat mereka berada, radio-radio itu juga menyoroti berbagai keadaan di
Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang di Indonesia tergolong sara, mereka dengan
bebas menyiarkannya. Sehingga, cukup banyak hal yang di Indonesia tidak
dipublikasikan, bisa didengarkan dari radio luar negeri.
Misalnya, pelaksanaan hukuman mati bagi yang menamakan
dirinya Ketua Dewan Revolusi, Letnan Kolonel Untung, diketahui orang dari
siaran radio luar negeri. Kerusuhan di Semarang tahun 1979, juga diketahui
orang dari radio luar negeri, karena RRI tidak menyiarkannya. Diantara
radio-radio luar negeri itu ada yang tetap memegang teguh azas obyektifitas
dalam pemberitaannya, seperti BBC. Tapi ada juga yang menurut pandangan orang
Indonesia tidak obyektif, walaupun pihak radio luar negeri itu tetap merasa
obyektif. Tahun 1982, Radio Nederland menyiarkan sebuah analisa tentang keadaan
di Indonesia dalam acara ‘Gema Warta’. Siaran itu terasa memburuk-burukkan
pemerintah Indonesia, sehingga Direktur Radio, M. Sani, mengirim surat protes.
Radio Nederland dalam jawabannya menyatakan, siaran tersebut tidak mencerminkan
sikap pemerintah Belanda. Apa yang ditulis oleh komentator Radio Nederland
dalam ‘Gema Warta’ itu sudah sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik.
Radio Nederland tidak perlu mempertimbangkan akibatnya
terhadap hubungan baik kedua negara. Peristiwa itu ternyata berakibat juga
terhadap hubungan Radio Nederland dengan RRI. Sebab sejak itu, tidak ada lagi
orang RRI yang dikirim untuk bekerja di Radio Nederland.
Radio-radio luar negeri melakukan apa saja untuk menarik
sebanyak-banyaknya orang Indonesia mendengarkan mereka. Mereka juga tidak
segan-segan mengeluarkan uang untuk membuat acara yang diperkirakan menarik
bagi masyarakat Indonesia. Radio Nederland misalnya, jauh-jauh mendatangi
markas GAM untuk mewawancarai ‘Panglima’ Mohammad Syafei. Foto ‘Panglima GAM’
itu juga dimuat sebagai cover majalah bulanan Radio Nederland Siaran Indonesia
yang dibagi-bagikan kepada pendengarnya di Indonesia. Bagi kebanyakan orang
Indonesia sikap Radio Nederland itu menunjukkan simpati kepada perjuangan GAM,
sekalipun pihak Radio Nederland mungkin menganggapnya sebagai usaha ‘cover both
sides’.
Terlepas dari adanya cara pandang dalam pemilihan materi
acara yang layak atau tidak layak, ada juga kegiatan Radio Nederland yang
pantas dipuji. Diantaranya adalah perlombaan mengarang cerpen yang isinya
berkaitan dengan hubungan kedua negara atas dasar pengalaman-pengalaman
pribadi. Dua tujuan tercapai dalam kegiatan tersebut yaitu ajang promosi
kesusasteraan Indonesia dan membina saling pengertian antara kedua bangsa.
Yang menjadi kecendrungan tahun-tahun belakangan ini adalah
kerjasama radio-radio non RRI merelay acara-acara siaran radio luar negeri,
sehingga lebih mudah menangkap siarannya melalui FM ketimbang langsung melalui SW yang sering terkendala
cuaca buruk. Selain radio-radio non RRI, radio siaran luar negeri, khususnya
VOA punya waktu siaran tertentu di TV swasta. Maka jadilah radio dan TV yang
ditumpangi acara radio luar negeri itu menjadi perpanjangan tangan organisasi
penyiaran dari luar negeri.
Selain radio-radio siaran non RRI dan radio-radio luar
negeri, perkembangan siaran televisi sejak tahun 1963 dan terus berkembang
dengan munculnya banyak stasiun televisi swasta sejak tahun delapanpuluhan,
semakin membuat perhatian masyarakat terpecah, tidak lagi semata-mata
mendengarkan stasiun penyiaran tertentu saja. Tantangan RRI pun semakin berat
dengan berusaha menyajikan siaran yang materinya sungguh-sungguh diperlukan dan
dicari masyarakat.
Merasa
‘dikepung’ oleh radio-radio siaran non RRI, pimpinan RRI memutuskan menambah
jam siaran untuk semua programa (saluran). RRI yang semula ke udara secara
terbatas pada pagi, siang, sore dan malam hari, menambah jam siarannya menjadi
terus menerus dari pukul 05.00 sampai 23.00. Dengan begitu mata-mata acara
siaran pun bertambah. Logikanya, biaya operasional siaran seharusnya bertambah
pula. Kenyataannya tidak. Dengan sendirinya beban semakin berat didukung dana
yang minim. Dalam keadaan seperti itu tidak bisa meningkatkan honorarium untuk
para pengisi acara dari luar. Pengisi acara dari luar yang menginginkan imbalan
yang sesuai tidak mau mengisi acara di RRI. Ada dua peristiwa terjadi dalam
tahun tujuhpuluhan yang menunjukkan adanya pengisi acara dari luar yang
berorientasi pada imbalan yang sesuai. Pertama seorang pengisi acara ‘Mimbar
Islam’ bernama Dr. Fuad kecewa setelah menerima honorarium dari acara yang
telah diisinya. Kekecewaannya itu diperlihatkan dengan cara mengirim surat pos
tercatat kepada penanggungjawab siaran-siaran agama dan budaya, Drs. D. Syarif
yang isinya mempertanyakan mengapa honorarium yang diterimanya sangat kecil.
Setelah membaca surat berisi protes itu dari kantor pos, Drs. D. Syarif menegur
Dr, Fuad ketika datang lagi ke RRI merekam acara ‘Mimbar Islam’ yang
dijadwalkan atas nama dirinya. Terjadi pertengkaran kecil antara keduanya,
setelah itu Dr. Fuad tidak pernah muncul lagi. Kedua seorang penulis bernama
Gadis Rasyid datang ke RRI untuk mengisi acara ‘Ruangan Wanita’. Sebelum
mengisi acara tersebut Gadis Rasyid menanyakan kepada produser, Rini Mintono,
berapa honorarium yang akan diterimanya. Setelah jumlah honorarium yang akan
diterimanya disebutkan oleh Rini Mintono, Gadis Rasyid tidak jadi mengisi acara
‘Ruangan Wanita’. Para pengisi acara dari luar yang masih bertahan siaran di
RRI adalah petugas-petugas dari instansi-instansi lain seperti Departemen
Agama, Departemen P dan K dan LIPI. Mereka mendapat honorarium yang cukup dari
instansi masing-masing.
Menata Jam Siaran
Menata jam siaran yang sesuai keperluannya sungguh diperlukan
agar segala sesuatu yang disiarkan RRI mencapai sasarannya. Sebab itu perlu
mengetahui keinginan pendengar apa mereka memerlukan tambahan jam siaran atau
sebaliknya. Cara yang sederhana untuk mengetahuinya dengan meminta pendengar
menyampaikan masukan dan saran melalui surat, telpon atau surat elektronik.
Tapi kalau punya biaya yang cukup, lebih baik melalui riset dengan
menggunakan jasa lembaga riset. Dari
hasil masukan pendengar itu dapat diketahui apa memang banyak yang menginginkan
penambahan jam siaran. Kalau ya, acara-acara apa saja sebaiknya yang
diselenggarakan. Sebaliknya juga dapat terjadi, jam siaran yang dimiliki RRI
berlebihan, sehingga perlu dikurangi. Misalnya jika ternyata, pada jam-jam
tertentu, pendengar RRI sangat sedikit.
Perbandingan perlu diadakan dengan melihat jam siaran
radio-radio lain yang menentukan jam siarannya melalui riset. Pada umumnya radio-radio siaran di luar
negeri menyelenggarakan siaran secara terbatas, tiga kali sehari. Jadi bukan
siaran terus menerus tanpa henti.
Kesadaran untuk
memperbaiki mutu siaran RRI sebetulnya sudah ada sejak tahun tujuhpuluhan.
Hanya saja berjalan lamban karena belum ada kesatuan pola pikir para penyelenggara
siaran RRI. Memperbaiki mutu siaran RRI itu dilakukan dengan menyesuaikan
materi-materi siaran dengan tujuan tiap-tiap programa. Selain itu juga dengan
menambah programa baru.
Dalam tahun
enampuluhan ada tiga programa siaran di RRI Jakarta tambah satu programa untuk
luar negeri yang juga menggunakan fasilitas-fasilitas RRI Jakarta. Selain itu
RRI di seluruh Indonesia juga punya satu programa untuk tiap stasiun.
Programa-programa
siaran di RRI Jakarta adalah:
Pertama, Programa Nasional, berisi materi
siaran bersifat nasional. Warta Berita dan Keterangan Pemerintah masuk ke dalam
programa ini. Begitu juga pertandingan-pertandingan bersifat nasional seperti
Pekan Olah Raga Nasional dan Bintang Radio Tingkat Nasional, juga masuk dalam
programa ini Sasaran pendengar programa ini adalah masyarakat dari Sabang
sampai Merauke.
Kedua, Programa
Ibukota, berisi materi siaran tentang keadaan kota Jakarta dalam pelbagai
bidang dan ragam kehidupannya. Kesenian dan budaya Betawi, masuk dalam programa
ini. Sasaran pendengar Programa Ibukota adalah masyarakat yang tinggal di
Jakarta, termasuk di Pulau Seribu.
Ketiga, Programa
Khusus, berisi materi siaran bersifat khusus pula. Universitas Terbuka dan
penyuluhan-penyuluhan, masuk dalam programa ini. Pelajaran bahasa asing dan
musik klasik juga disiarkan melalui Programa Khusus. Sasaran pendengarnya
adalah mereka yang punya waktu khusus untuk mengikuti siaran, bukan yang
sepintas lalu.
Keempat,
Programa Siaran Luar Negeri, berisi materi siaran untuk mempromosikan Indonesia
kepada pendengar-pendengar di luar negeri. Bentuk acara adalah Majalah Udara
dengan pelbagai materi yang juga terdapat pada siaran dalam negeri.
Kelima, Programa
Daerah, punya materi tentang pelbagai ragam kehidupan dan informasi tentang
daerah tempat stasiun RRI berada. Sasaran pendengarnya adalah masyarakat di
Kabupaten dan Provinsi setempat.
Dalam
kenyataannya masih terjadi kerancuan untuk menentukan materi-materi siaran apa
saja yang tepat untuk tiap-tiap programa. Seringkali terjadi sebuah mata acara
siaran di Programa Nasional terdapat juga di Programa Ibukota.
Hal inilah yang
dipertanyakan oleh Kimita, pakar siaran dari Jepang yang menjadi konsultan di
Direktorat Jenderal Radio Televisi Film, Departemen Penerangan. Ia mengatakan
materi acara siaran yang terdapat di sebuah programa seyogyanya hanya dapat
didengar melalui programa itu saja.
Dalam hubungan
ini menarik untuk dicatat ketika Kepala RRI Jakarta, MN Supomo, membuka
programa baru bernama Programa Musik Sepanjang Hari. Sesuai namanya, programa
baru itu seharusnya menyiarkan musik melulu dari pagi sampai malam. Tapi unsur
pimpinan RRI lainnya berpendapat bahwa Warta Berita dan Siaran Pemerintah harus
disiarkan oleh semua programa. Maka Programa Musik Sepanjang Hari tidak lagi
melulu menyiarkan musik.
Seiring
berjalannya waktu dan perkembangan pemikiran di kalangan penyelenggara siaran
RRI, sekarang RRI Jakarta ke udara dalam empat programa yaitu: Programa I
(Musik dan Informasi), Programa II (Profesional Muda), Programa III (Berita dan Dialog), Programa IV (Hiburan, Pendidikan dan Budaya).
Programa Daerah
masing-masing menambah satu programa lagi dengan materi siaran iklan dan
hiburan.
Programa Siaran
Luar Negeri masih dalam bentuk format semula yaitu Majalah Udara dengan materi
siaran yang beragam.
Beberapa Terobosan Memperbaiki Mutu Siaran
Selain
menyesuaikan programa atau saluran dengan materi siaran, juga ada terobosan
lain yang maksudnya membuat pendengar lebih tertarik mendengarkan RRI.
Tahun 1969 ketika
astronout Amerika Serikat menginjakkan kaki di bulan, RRI membuat siaran
‘pandangan mata’ dari studio di Jl. Merdeka Barat 4-5, Jakarta. Reporter yang
bertugas adalah M. Sani dan Purboyo, keduanya pernah bertugas di BBC, London.
Dengan dibantu penyiar ‘Suara Indonesia’, Hanafi Harun, keduanya melaporkan
perjalanan para astronout mulai saat peluncuran roket dari Tanjung Kennedy,
Amerika Serikat, sampai detik-detik astronout menginjakkan kaki di bulan. Kedua
reporter kawakan itu menyampaikan peristiwa penting yang memperlihatkan
kemajuan teknologi khususnya teknologi ruang angkasa, seolah-olah berada di
Tanjung Kennedy bahkan serasa mereka ikut bertamasya ke bulan.
Tahun
tujuhpuluhan ketika MN Supomo memimpin RRI Jakarta ia menyelenggarakan siaran
langsung melaporkan proses kedatangan Ratu Elizabeth II dari Inggeris yang
menumpang kapal laut, mulai dari pelabuhan sampai ke tempat menginap di
Jakarta. Siaran diselenggarakan dalam dua bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggeris.Ini merupakan prestasi yang memerlukan pengerahan tenaga,
peralatan dan biaya besar.
Tokoh lainnya yang patut dicatat dalam upaya memperbaiki mutu
siaran RRI adalah Chairul Zen, SH, MA. Ketika menjabat Kasubdit Pemberitaan
pada sembilanpuluhan, ia memproduksi dua acara yaitu ‘Nuansa Demokrasi’ dan
‘Jakarta Metropolitan’. Dalam ‘Nuansa Demokrasi’ yang menyiarkan perkembangan
di DPRRI yang berbicara bukan saja dari
fraksi Golkar, melainkan juga dua fraksi lainnya masing-masing PPP dan PDIP.
Ini pertama kalinya kedua fraksi yang ‘berseberangan dengan pemerintah’
menyatakan pendapat dengan bebas melalui RRI. Walaupun, dalam kenyataannya
ketika meliput kegiatan politik yang melibatk an ketiga fraksi, RRI cendrung
hanya menyiarkan pendapat Golkar. Dalam ‘Jakarta Metropolitan’ yang menyiarkan
aneka kegiatan Ibukota, pendengar juga diajak berperanserta. Belakangan mata
acara ‘Jakarta Metropolitan’ berganti nama menjadi ‘Jakarta Menyapa’ kemudian
berubah lagi menjadi ‘Indonesia Menyapa’.
Tidak pula boleh
dilupakan acara ‘Dinamika Indonesia’ berupa pelbagai laporan a tiga menit dari
berbagai daerah. Acara ini semula merupakan model yang diproduksi RRI Surabaya
ketika dipimpin Dra. Utik Ruktiningsih. Acara ini menambah ramainya kegiatan
laporan reporter-reporter daerah yang selama ini sangat terbatas. Dimasa silam,
laporan tunda hanya ada satu pada setiap jam Warta Berita yang biasanya
dimonopoli peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jakarta.
Di RRI Denpasar, Dra. Utik Ruktiningsih juga menyelenggarakan sebuah acara
yang menggiatkan ‘Taman Bacaan’ bagi anak-anak usia sekolah. Setelah membaca
sebuah cerita dari buku yang disediakan taman bacaan, anak-anak diajak untuk
melihat sendiri seperti apa hal yang dibaca dalam kenyataan sehari-hari. Ketika
membaca cerita tentang bandara, anak-anak kemudian diajak melihat bandara
sebenarnya dengan naik mobil yang disediakan RRI Denpasar. Untunglah bandara
masih dapat dijangkau dengan naik mobil. Tidak tahu apa yang terjadi ketika
anak-anak membaca cerita mengenai kehidupan komodo. Untuk membawa anak-anak ke
Pulau Komodo tentu memerlukan biaya besar.
Acara siaran RRI yang menonjol dalam tahun duaribuan adalah
‘interaktif’ yang melibatkan pihak-pihak terkait di udara, baik dengan datang
ke studio maupun melalui telpon. Acara ‘interaktif’ menandai pelaksanaan reformasi
media elektronik yang tidak merasa ketakutan menyiarkan sesuatu yang
kemungkinan berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Ini memang mengandung
resiko, ketika seorang nara sumber berbicara lepas kendali karena didorong
emosi.
Konon, orang
Indonesia mendambakan perubahan menjadi lebih baik dan maju, namun sulit
mengubah kebiasaan lama. Begitu juga RRI yang sudah puluhan tahun ‘merajai’
udara dan sudah sangat dikenal masyarakat luas. Ditengah-tengah keinginan untuk
berubah itu, masih banyak pula penyelenggara siaran RRI yang ingin
mempertahankan bentuk siaran yang sudah ada.
Laporan khusus
yang disiarkan setelah Warta Berita lamanya 10-20 menit. Mengubahnya lebih
pendek lagi, dianggap kurang pas. Begitu juga membuka sebuah laporan dengan
memperdengarkan suasana berkaitan peristiwa dianggap suatu yang lazim. Misalnya
memperdengarkan teriakan Komandan Upacara melapor kepada Inspektur Upacara
dalam sebuah upacara militer. Alasannya, supaya terdengar hidup walaupun bukan
kegiatan yang disiarkan langsung,
Kebiasaan
lainnya adalah memulai sebuah kegiatan siaran langsung dengan memakan waktu
lama, bukan saja melaporkan kegiatan-kegiatan di lapangan atau gedung menjelang
upacara dimulai, melainkan juga mengungkap latar belakang peristiwa yang akan
terjadi. Pimpinan RRI mulai menyadari perlunya perubahan dengan menugaskan
reporter-reporter muda. Siaran langsung dimulai 10 menit sebelum upacara dan
waktu digunakan melaporkan kegiatan-kegiatan yang sedang terjadi. Selain itu
reporter mengungkap sedikit saja latar belakang dari peristiwa yang akan
terjadi.
Tidak semua
perubahan yang diharapkan terjadi dengan mulus. Tahun 1977 Sub Direktorat
Pemberitaan menyelenggarakan latihan di Jakarta. Selain kalangan RRI sendiri,
didatangkan tenaga pengajar dari Jerman yaitu Noah dan Hilbrink. Hal yang sangat ditekankan oleh Pimpinan
Pemberitaan
waktu itu bahwa bagi RRI, rumus membuat berita
5W+1H harus ditambah dengan 1S yang berarti ‘security’ atau keamanan. Maksudnya
sebuah berita yang disiarkan RRI jangan sampai menimbulkan kegelisahan
masyarakat apalagi gejolak. Seorang reporter harus mampu memilih dan
mempertimbangkan aman tidaknya sebuah berita untuk disiarkan. Dalam hubungan
inilah RRI tidak menyiarkan berita kerusuhan di Semarang tahun 1979. Dan ketika
bagian belakang kantor RRI terbakar sedikit kemudian disiarkan oleh seorang
reporter, ia mendapat sanksi karena dinilai tidak mempraktekkan rumus 5W+1H+1S!
Ketika
ditanyakan kepada Noah mengenai keharusan untuk menambahkan 1S itu. Ia hanya mengangkat
bahu karena di negerinya hal itu sama sekali tidak dikenal.
Begitu juga
ketika Noah menegaskan bahwa sebuah laporan yang direkam setelah peristiwa
terjadi lamanya hanya 3 menit tanpa suara latar apapun, semata-mata suara
reporter. Menanggapi hal tersebut seorang tenaga pengajar dari lingkungan
Pemberitaan menyatakan, ‘untuk Indonesia 15 menit’. Lagi-lagi tenaga pengajar
dari Jerman itu hanya mengangkat bahu. Laporan 3 menit itu akhirnya memang
berhasil juga diterapkan setelah 23 tahun!
Perubahan lain
yang menggembirakan adalah wawancara langsung di udara antara penyiar dinas
dengan narasumber tentang masalah yang sedang hangat menjadi pembicaraan
masyarakat. Ini memerlukan ketrampilan penyiar dinas utnuk menguasai latar
belakang dari peristiwa tersebut. Memang ada juga resikonya karena narasumber
bebas mengatakan apa yang disukainya. Wakil Ketua DPR RI, AM Fatwa dengan
enteng mengatakan ‘saya benar marah melihat kelakuan Gus Dur yang menghabiskan
uang negara bepergian ke luar negeri’. Ucapan seperti itu kurang elok. Masa
seorang wakil rakyat memarahi presidennya sendiri secara terbuka.
Berubah Untuk Maju
Kemajuan hanya dapat diperoleh melalui perubahan. Sejak
reformasi bergulir, RRI ikut melakukan perubahan di pelbagai bidang. Eselonisasi
terus disempurnakan, sehingga banyak
jabatan tinggi yang terbuka dan
dapat diperebutkan. Ruangan studio dan kantor dilengkapi peralatan canggih dan
meubel yang jauh lebih baik dibandingkan 10 tahun yang lalu. Pendeknya, kalau
datang ke RRI Jakarta di Jl. Merdeka Barat
4-5, perubahan itu tampak nyata. Namun perubahan itu harus diikuti hasil
kerja yang lebih baik. Sangat ironi jika dalam suasana kerja yang jauh lebih
baik sekarang ini, insert hasil liputan tidak jelas melalui radio. Dalam
keadaan hasil rekaman yang tidak bermutu, sebaiknya tidak usah disiarkan, cukup
laporan biasa saja. Standard Operational Procedure (SOP) harus lebih jelas.
Boleh tidaknya rekaman hasil liputan disiarkan, sepenuhnya menjadi kewenangan
operator dinas untuk menilainya.
Perubahan itu sendiri harus dimulai dari Jakarta sebagai
Kantor Pusat RRI. Sebab kalau perubahan itu dilakukan di daerah, betapapun
bagusnya sebuah gagasan, sulit dilaksanakan. Akan timbul pertanyaan dari
karyawan setempat, “Mengapa cuma kita yang melakukannya? Pusat aja nggak.” Ada
pengalaman yang berkaitan dengan masalah ini.
Ketika menjabat Kepsta RRI Singaraja (1992-1997), penulis
melakukan sistem pembayaran honorarium siaran, langsung kepada pengisi acara,
segera setelah sebuah acara disiarkan. Jika dalam sebuah acara ada beberapa
orang pengisi (seperti Sandiwara Radio), setiap yang berperanserta di dalamnya
dapat mengambil langsung honorariumnya. Dengan begitu, seorang pengisi acara
dapat honorarium tanpa menunggu penanggungjawab
acara bersangkutan. Ia bisa mengambil langsung setiap selesai sebuah acara
siaran, atau mengumpulkannya dulu, terserah keperluannya. Apa yang terjadi?
Selama beberapa bulan sistem pembayaran baru itu berlangsung lancar. Lama-lama
mulai ada ‘permainan’. Para produser acara yang selama ini mengurus pencairan
honorarium itu meminta siapa saja yang sudah mengambil langsung honorariumnya
mengumpulkannya dulu menjadi satu, baru kemudian dibagi-bagikan. Ketika
honorarium itu sampai ke tangan pengisi acara yang berhak menerimanya, jumlahnya
sudah berkurang. Ditanyakan kepada Kepala Siaran, yang bersangkutan menjawab,
“Sudah kesepakatan.” Selain melakukan tindakan tanpa izin Kepsta itu, juga
terdengar keluhan yang tidak setuju dengan sistem pembayaran honorarium itu.
“RRI Denpasar aja nggak begitu.” Padahal sistem pembayaran honorarium siaran
yang dilakukan segera setelah acara disiarkan itu, merupakan sistem yang
dilakukan Radio Singapura ketika penulis mengikuti ‘Induction Course on Radio
and TV’ (November 1973-Maret 1974).
Dari pengalaman itu tampak, yang paling sulit berubah adalah
sikap mental. Walaupun suatu perubahan tujuannya baik tapi kalau ada
pihak-pihak terkait yang merasakan hal itu merugikan dirinya, memang sulit
melakukannya.Karena itulah yang paling dulu berubah adalah seluruh unsur
pimpinan dan pada jajaran organisasi dipelopori oleh Kantor Pusat.
Perubahan yang tetap sulit melakukannya hingga sekarang
adalah menetapkan jumlah karyawan untuk tiap stasiun RRI. Dibandingkan dengan
organisasi radio di negara-negara tetangga, jumlah karyawan RRI paling banyak.
Selain meminta jasa konsultan siaran untuk menentukan jumlah karyawan RRI yang
ideal, dapat juga diadakan ‘studi banding’ ke negara tetangga, seperti
Philipina yang bentuk geografisnya seperti Indonesia. Selain menyangkut jumlah
karyawan, juga dapat dipelajari cara menentukan lama siaran sebuah stasiun
radio dan menemukan angka besaran biaya siaran perjam, termasuk nilai
honorarium di dalamnya. Dan yang paling penting meningkatkan kesejahteraan
karyawan, sehingga tidak lagi mencari tambahan di luar dengan misalnya menjadi
makelar iklan.
Siaran
Berorientasi Keinginan
Pendengar
Sebuah acara
siaran radio yang baik seyogyanya diselenggarakan dengan mengetahui keinginan
pendengar, meliputi bentuk acara, materi dan jam siaran yang sesuai. Masyarakat
yang tinggal di daerah pesisir mungkin lebih memerlukan informasi tentang cara
mudah mendapatkan kapal penangkap ikan. Sedangkan musik dan hiburan, mungkin
mereka memerlukan yang berasal dari daerah sendiri ketimbang daerah lain.
Begitu juga masyarakat yang tinggal di kawasan-kawasan lainnya baik desa maupun
kota. Keinginan pendengar itu hanya dapat diketahui melalui ‘audience research’
atau riset pendengar.
Sebagian besar
stasiun-stasiun radio di Asia Pasifik mengadakan riset secara berkala, sesuai
keperluannya. Sehingga setiap tahun penyelenggara siaran radio menyesuaikan
diri dengan hasil riset, mempertahankan atau mengganti acara-acara yang sudah
ada. Mengingat pentingnya riset pendengar itu, stasiun-stasiun radio di Asia
dan Pasifik membentuk unit kerja riset pendengar di dalam organisasi penyiaran
mereka.
RRI Jakarta
dalam tahun tujuhpuluhan pernah juga menyelenggarakan semacam riset internal
diberi nama ‘audisi siaran’. Caranya, sebuah mata acara siaran diputarkan
rekamannya, lalu terjadi tanya jawab antara team audisi dengan penyelenggara
acara tersebut. Setelah mendengarkan rekaman dan mendapat keterangan
penyelenggara, team audisi memberi saran-saran untuk perbaikan. Praktis
sebagian besar acara yang ada tetap berjalan dengan catatan perbaikan di
sana-sini. Audisi siaran semacam itu tetap saja berorientasi pada keinginan
‘orang dalam’, bukan keinginan masyarakat.
Dalam tahun
delapanpuluhan ada dua stasiun RRI mengadakan riset untuk mengetahui
acara-acara apa saja yang diminati pendengar dan mana yang tidak. Kedua stasiun
itu adalah RRI Yogyakarta ketika dipimpin Djaslan dan RRI Denpasar ketika
dipimpin Harmen Husen. Dua buah buku hasil riset tersebut disampaikan kepada
Pimpinan RRI di Jakarta. Tanggapan pimpinan berupa pujian atas inisiatif kedua
stasiun tersebut. Tidak ada anjuran agar hal serupa dilakukan oleh
stasiun-stasiun RRI di seluruh Indonesia. Juga tidak ada anjuran agar
penyelenggaraan siaran RRI memanfaatkan
hasil riset. Rupanya mengadakan riset
pendengar belum dinilai penting oleh pimpinan. Padahal RRI turut mengirimkan
peserta setiap tahunnya ketika ada kursus tentang riset pendengar di pelbagai
stasiun radio di luar negeri.
Walaupun
kegiatan riset pendengar belum membudaya di RRI, ada juga kegiatan
penyelenggaraan acara siaran yang melibatkan pendengar secara langsung. Pada
tahun 1987, bekerjasama dengan AIBD dan Radio Kanada, RRI Bandung
menyelenggarakan penataran memproduksi acara model Development Broadcast Unit
–DBU- atau Unit Siaran Pembangunan. Materi siaran menyangkut pelbagai kegiatan
pembangunan di Dunia Ketiga, waktu itu dipilih
sektor-sektor wanita, perumahan dan lingkungan hidup. Sebuah team
dibentuk terdiri atas produser, LSM terkait dan instansi yang bertanggungjawab
di tiga sektor pembangunan tersebut. Team ini membahas dan menilai kemajuan
yang dicapai serta kendala-kendala yang ada. Barulah kemudian team berangkat ke
kawasan yang dipilih, bertemu langsung dengan masyarakat setempat menanyakan
pandangan mereka mengenai ketiga sektor pembangunan. Berdasarkan
keterangan-keterangan masyarakat dapat diketahui jika masih terdapat hambatan,
sehingga dapat pula dicarikan solusinya. Setelah bahan-bahan siaran yang
diperlukan cukup dengan merekam semua keterangan pihak-pihak berkepentingan,
barulah acara diproduksi dalam bentuk Majalah Radio. Ketiga materi
masing-masing mendapat jatah 8 menit, sisanya pengantar penyiar dan musik
penghubung.
Model DBU ini
sempat bertahan beberapa tahun dengan sponsor instansi lain karena biayanya
cukup mahal. Setelah itu lama-lama menghilang dan RRI tetap menyelenggarkan
acara-acara bersifat informasi satu arah saja
Tahun 2000 Radio
Swedia memperkenalkan model acara Peristiwa Hangat dalam bentuk Majalah Radio.
Pendengar ikut menyampaikan pendapat tentang topik peristiwa yang dipilih.
Biayanya tidaklah mahal karena tidak perlu melakukan riset di lapangan. Yang
diperlukan adalah biaya pulsa telpon yang digunakan untuk menghubungi
pendengar.
Mengetahui Keinginan Pendengar
Pada mulanya saat sebuah stasiun radio mengudara, sejumlah
acara sudah disiapkan oleh penyelenggara siaran, sesuai dengan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
Bentuknya juga sudah ditentukan, seperti ‘Majalah Udara’, ‘Talk Show’,
‘Drama’ dan ‘Warta Berita’. Bentuk-bentuk dan segmentasi pendengar itu
berdasarkan ‘buku pintar’ yang diterbitkan ‘Institut Pengembangan Siaran
Asia-Pasifik’ –AIBD-. Memang ada juga stasiun radio yang tidak berpegang kepada
‘buku pintar’ AIBD, tapi setidak-tidaknya bercontoh kepada stasiun-stasiun
radio lain yang sudah duluan mengudara. Yang perlu dipelajari adalah seberapa
banyak yang mendengarkan dan menyukai tiap-tiap acara yang disiarkan. Secara
sederhana, mengetahui seberapa banyak sebuah acara siaran didengarkan, terlihat
dari permintaan dan tanggapan yang diajukan pendengar melalui surat atau
telpon. Acara ‘Musik Pelepas Lelah’ yang diselenggarakan tiap siang oleh Hasan
Asy’ari Oramahi dan kawan-kawan ternyata
sangat banyak peminatnya, sehingga mendapat penghargaan dari sebuah organisasi
penyiaran internasional. Sayang sekali piala dan tanda penghargaan tidak berada
di RRI Jakarta karena tidak punya ongkos untuk mengambilnya. Begitu juga acara
‘Tukang Sado dan Tukang Gado-gado’ semasa diselenggarakan Mpok Ani dan Bang
Madi sempat pula melejit, sehingga membawa kedua rekan itu ke Australia bersama
Presiden dan Ibu Tien Suharto. Jangan
pula dilupakan acara siaran
‘Butir-butir Pasir Di Laut’ bahkan mendapat penghargaan UNESCO sebagai acara
yang dinilai berhasil memasyarakatkan keluarga berencana.
Kita boleh bangga dengan tanda-tanda penghargaan yang
diberikan organisasi-organisasi penyiaran internasional, namun yang paling
penting jangan sampai ada acara siaran yang tidak didengarkan orang karena
tidak menarik. Jika itu terjadi berarti penyelenggara siaran melakukan
pekerjaan sia-sia, seperti kata pepatah ‘arang habis besi binasa’.
Dalam hal inilah perlunya penyelenggara siaran proaktif
mencari tahu, bukan hanya menunggu pendengar memberi tanggapan. Segala
kesempatan yang ada harus dimanfaatkan untuk tujuan tersebut. Ketika terjadi
siaran yang melibatkan pendengar dalam acara ‘kelompencapir’ selain
masalah-masalah pembangunan yang sedang dikampanyekan pemerintah, kesempatan
dapat digunakan mengetahui keinginan pendengar sesungguhnya dari RRI. Dapat
diselidiki apakah pendengar sudah cukup senang dengan bentuk acara dan materi
siaran yang dipilihkan untuk mereka. Kenyataannya, dimasa lalu ‘kelompencapir’
berubah menjadi ajang perlombaan untuk menentukan kelompok dari daerah mana
yang paling tahu soal bibit atau penggunaan pupuk. Mereka tidak punya
kesempatan untuk menyatakan apakah mudah atau sebaliknya mendapatkan pupuk.
Antara tahun 1992-1997
di Bali ada kegiatan Gubernur berkunjung ke desa-desa sekali sebulan, disiarkan
langsung oleh RRI. Dalam persiapan menjelang terselenggaranya acara tersebut,
Kakandeppen memberi pengarahan kepada masyarakat desa tentang hal-hal apa saja
yang boleh ditanyakan. Dengan begitu masyarakat desa tidak dapat mengatakan
kesulitan sebenarnya yang mereka hadapi.
Ini artinya
acara yang disiarkan RRI kurang memberi manfaat karena informasi yang disiarkan
RRI terkesan rekayasa, tidak menjawab apa yang diinginkan masyarakat desa.
Kesulitan bagi RRI waktu itu, acara tersebut bukan milik RRI melainkan Pemda
setempat dan RRI hanya diminta ikut menyiarkannya langsung. Dalam hubungan
inilah, ketika ada pertemuan masyarakat desa dengan Bupati Bulelang, penulis
meminta peserta mengajukan hal sebenarnya kepada Bupati Wirata Sindhu, bukan
rekayasa atau sekedar menyenangkan hati Bupati. Ketika acara berlangsung,
Bupati sempat terkejut karena banyak pertanyaan muncul tanpa diduga sebelumnya.
Misalnya ada peserta yang mempersoalkan ‘batas wilayah desa’ mereka dengan desa
tetangga. Sehubungan dengan mengetahui keinginan pendengar itu, jika ternyata
memang ada sejumlah acara yang sangat sedikit peminatnya karena berbagai
alasan, sebaiknya mata-mata acara tersebut dihapus, diganti dengan lain yang
sesuai kebutuhan pendengar yang sebenarnya.
Tujuan siaran
adalah membuat pesan yang ada dalam sebuah acara dipahami pendengar. Untuk
mencapainya siaran harus terdengar baik di pesawat radio. Untuk itulah
disediakan pemancar-pemancar sesuai dengan sasaran pendengar yang dituju.
Pendengar-pendengar di Jakarta dan sekitarnya menggunakan pemancar FM dan MW.
Tapi Programa III dan Programa IV dilengkapi pula dengan pemancar SW karena
materi-materi siarannya bersifat nasional. Dengan memasang pemancar SW
diharapkan terdengar sampai ke daerah terjauh Indonesia.
Daerah-daerah
yang luas seperti Daerah Istimewa Aceh, begitu juga Siaran Luar Negeri juga
memerlukan pemancar SW dengan kekuatan 50 KW ke atas.
Stasiun-stasiun
RRI di seluruh Indonesia sudah dilengkapi pemancar-pemancar yang di atas kertas
mampu mencapai pendengar sesuai wilayah kerja sebuah stasiun RRI. Jadi RRI
banda Aceh misalnya, harus terdengar di seluruh wilayah Daerah Istimewa Aceh.
Jika tidak semua tempat di provinsi itu dapat dijangkau oleh RRI Stasiun Banda
Aceh, berarti ada masalah dengan pemancarnya. Boleh jadi yang mengudara tidak
sesuai dengan kekuatan pemancar sesungguhnya. Misalnya pemancar SW 50 KW, yang
hidup hanya 5KW. Ini dapat terjadi karena kurang biaya untuk memelihara
pemancar.
Hal menarik
terjadi ketika tahun 1999 RRI Banda Aceh terdengar di Denmark dan Australia,
melalui pemancar SW. Ini perlu dikaji para teknisi RRI tentang mengapa bisa
terjadi. Mestinya Siaran Luar Negeri yang terdengar baik di negara-negara
tujuan siaran.
Masyarakat awam
berpendapat, siaran-siaran RRI agak sulit ditemukan di radio dibandingkan
siaran-siaran non RRI.
Ada pengalaman
pahit dialami petugas-petugas pencari iklan. Suatu ketika seseorang yang mau
memasang iklan di RRI, membawa sebuah radio dan minta petugas mencarikan
gelombang RRI. Ternyata gelombang RRI tidak ditemukan dan orang yang mau
memasang iklan membatalkan niatnya. Para teknisi RRI harus mempelajari masalah
tersebut dan menemukan cara mengatasinya. Mungkin pemancar tertentu pada jam tertentu
tidak dapat diterima di tempat-tempat tertentu pula.
Pandangan bahwa
siaran RRI sulit ditemukan di radio, bahkan menjadi pendapat tingkat tinggi.
Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja pada tahun 1984 mengatakan, “Seandainya siaran RRI
dapat didengarkan di Bangkok, itu sudah bagus.” Yang dimaksud Menteri Luar
Negeri tentu RRI Siaran Luar Negeri.
Apakah seluruh
siaran RRI di Pusat, Daerah-daerah dan Siaran Luar Negeri terdengar sesuai
tujuan penyiarannya? Dalam hal ini pula diperlukan riset pendengar yang
dilakukan secara teratur. Selama ini penyelenggara siaran RRI hanya berpegang
pada surat-surat pendengar yang masuk secara tidak menentu, bukan bagian dari
sistem riset pendengar.
Walaupun begitu
keputusan RRI Siaran Luar Negeri menghapus siaran dalam Bahasa Thailand dan
Bahasa Melayu sudah tepat. Selama 10 tahun terakhir memang tidak ada satu pun
surat pendengar yang masuk. Namun akan lebih baik lagi jika diadakan riset
pendengar untuk seluruh programa yang ada untuk mengukur berapa banyak
masyarakat Indonesia yang mendengarkan RRI. Kalau misalnya hasil riset
menunjukkan di sebuah stasiun RRI sedikit sekali pendengarnya atau bahkan tidak
ada sama sekali, lalu untuk apa membangun stasiun RRI di tempat itu?
Memastikan Kekuatan Pemancar
Kekuatan pemancar sebuah stasiun
radio sangat menentukan keberhasilan siaran selain bentuk acara dan cara
menyajikannya. Betapapun bagusnya sebuah acara siaran tapi sulit mencarinya
di pesawat radio, pendengar akan beralih
ke radio lain. Ketika berada di Tegal tahun 2001, penulis tidak berhasil
mencari gelombang RRI Jakarta pada pemancar SW. Padahal pemancar SW yang
digunakan RRI Jakarta seharusnya dapat ditangkap di lokasi paling ujung
republik ini, mengingat kedudukan RRI Jakarta yang nasional itu. Yang dapat didengarkan
di Tegal waktu itu justru radio-radio siaran luar negeri yang juga menggunakan
pemancar SW. Setidak-tidaknya masyarakat Tegal harus mudah menangkap siaran
dari RRI Semarang sebagai Ibukota Provinsi Jawa Tengah. Hal sama juga terjadi
ketika penulis berada di Padang tahun 2004. Penulis tidak berhasil menemukan
RRI Jakarta yang disiarkan melalui pemancar SW. Boleh jadi juga penulis
menggunakan pesawat radio yang kurang canggih. Pesawat radio yang digunakan
adalah sebuah pesawat digital merk ‘Sony’.
Rekan-rekan teknik mengenal apa yang
disebut ‘blank spot’ yaitu kawasan yang tidak bisa menangkap siaran.
Rekan-rekan teknik RRI Singaraja menyebutkan angka 40 persen wilayah siaran
yang meliputi kabupaten-kabupaten Buleleng, Bangli dan Jembrana. Angka tersebut
baru merupakan perkiraan, bukan hasil survey. Jika angka ‘blank spot’ RRI
Singaraja itu dapat dijadikan patokan, maka kawasan ‘blank spot’ RRI seluruh
Indonesia adalah 40 persen. Jumlah itu sangat besar dan meliputi jumlah
penduduk yang besar pula. Untuk mengatasinya perlu dipasang ‘repeater’ dibanyak
tempat di seluruh Indonesia. Biayanya tentu besar pula. Namun biaya yang besar
itu menjadi tidak seberapa dibandingkan manfaat untuk masyarakat Indonesia
mendapatkan informasi-informasi yang berguna melalui RRI.
Bandingkan dengan berapa biaya yang
dikeluarkan stasiun-stasiun radio di luar Indonesia demi mereka dapat
didengarkan di kawasan pendengar yang dituju. Radio Nederland misalnya,
memasang pemancar relay di Madagaskar, demi siarannya dapat didengar dengan
baik di Indonesia. Begitu juga BBC memasang pemancar relay di Hongkong demi
siarannya dapat didengarkan di Asia Timur. Sedangkan Radio Malaysia menggunakan
pemancar SW berkekuatan 500 KW untuk siaran luar negerinya. Bandingkan dengan
RRI yang cuma punya pemancar SW 250 KW yang pernah ‘grounded’ tidak lama
setelah diresmikan penggunaannya.
Dalam hubungan ini, perlu diadakan
pemantauan secara terus menerus untuk tiap stasiun RRI, apakah siaran dapat
ditangkap di seluruh kawasan yang menjadi sasaran siarannya. Jangan sampai
terjadi di kawasan-kawasan tertentu, siaran radio non RRI dapat ditangkap
dengan baik dibandingkan RRI. Upaya perbaikan dan pemasangan pemancar/repeater
baru harus terus dilakukan. Perlu juga dipelajari mengapa di kawasan-kawasan tertentu
radio-radio non RRI dapat ditangkap dengan baik dibandingkan RRI.
Biaya yang sangat besar memang
diperlukan untuk mengadakan pemancar RRI di seluruh Indonesia. Ditambah dengan
keperluan-keperluan lainnya, biaya akan semakin besar. Tapi sebesar-besarnya
biaya yang diperlukan RRI, rasanya tidak akan lebih besar daripada biaya un tuk
operasional TVRI. Mendapatkannya sendiri melalui siaran niaga atau
kegiatan-kegiatan lain sulit pula melakukannya.Satu-satunya jalan adalah
meyakinkan pihak-pihak terkait seperti DPRRI
untuk menyadari bahwa operasional siaran RRI memerlukan dana besar,
sehingga anggaran RRI dalam APBN harus pula disesuaikan. Kalau
perlu dalam usaha meyakinkan itu, membawa
perbandingan anggaran dari negara tetangga seperti Malaysia atau Philipina.
Kesimpulannya, jangan puas hanya
dengan perkiraan bahwa pemancar-pemacar RRI di seluruh Indonesia sudah mencapai
kawasan-kawasan yang menjadi sasaran siaran RRI.
Belum ada
standar untuk menentukan besarnya biaya siaran RRI setiap jamnya. Yang disebut
biaya siaran adalah jumlah uang yang diperlukan untuk mendukung sebuah kegiatan
siaran. Contohnya kegiatan siaran langsung
pertandingan sepakbola. Uang diperlukan untuk membeli bensin, sambungan telkom
dari lapangan ke studio dan biaya listrik sebanyak yang dipakai selama siaran
berlangsung. Untuk RRI biasanya ditambahkan honorarium team liputan dan
konsumsi. Organisasi siaran radio di luar negeri tidak membayar honorarium
petugas begitu juga untuk konsumsi. Semuanya sudah termasuk dalam gaji yang
dibayarkan setiap bulan.
Pembayaran
honorarium untuk karyawan RRI adalah ‘kebijaksanaan’ untuk membantu karyawan
memperlancar tugasnya, mengingat gaji PNS yang tidak cukup itu.
Adalah Lutan
Sutan Tunaro, Direktur Radio waktu itu yang melakukan kebijakan membayar uang
lelah untuk petugas siaran RRI, disebut ‘slip’. Entah darimana istilah itu
berasal, slip adalah lembaran berisi keterangan yang menjelaskan judul kegiatan
siaran, nama penanggungjawab dan tenaga-tenaga yang terlibat di dalamnya serta
besarnya honorarium. Dengan lembaran bernama slip itu, setelah disetujui
pejabat berwenang, dapat diuangkan di loket bagian keuangan. Maka ramailah para
petugas siaran mengambil honorarium setiap hari Sabtu di loket yang dilayani
Pak Ucin sambil buka baju.
Istilah ‘slip’
kemudian beberapa kali berubah seperti ‘undangn siaran’, disingkat ‘unsi’. Lama
kelamaan honorarium yang semula disediakan untuk petugas-petugas siaran saja,
meluas kepada kegiatan-kegiatan non siaran. Misalnya honorarium untuk petugas
petugas keuangan yang melayani pembayaran honorarium itu. Pendeknya setiap
kegiatan baik yang langsung berhubungan dengan siaran maupun yang hanya
bersifat menunjang semua mendapatkan imbalan dengan tarif yang
berbeda-beda. Dalam hubungan ini dapat
dipahami komentar Kasubdit Bina Programa, Tantrawan, bahwa “Kegiatan apa saja
di RRI minta bayaran, lalu apa gunanya gaji?”
Keinginan
seorang petugas siaran untuk mendapatkan tambahan penghasilan berpengaruh pula
kepada mutu pekerjaan. Misalnya penyiar, disamping tugasnya sebagai penyiar
kesinambungan juga mengasuh beberapa acara sekaligus, sehingga melebihi takaran
yang seharusnya. Seringkali kali terjadi,tidak sempat merekam produksi yang baru, produksi yang lama disiarkan lagi.
Begitu juga kebiasaan mengutamakan produksi acara siaran yang ada sponsor
seperti ‘Butir-butir Pasir Di Laut’ dan menomorduakan tugas sendiri.
Kecendrungan
untuk mendapatkan imbalan untuk setiap kegiatan siaran mengherankan seorang
instruktur dari Radio Kanada, Don Ottawa namanya ketika melatih peserta-peserta
kursus DBU di Bandung pada tahun 1987. Ia mengeluh karena banyaknya biaya tak
terduga yang harus dikeluarkan seperti untuk konsumsi selama jam-jam kuliah.
“Everything is money here,” katanya sambil bersungut-sungut. Rupanya di
negerinya, konsumsi selama kursus diperoleh di kantin, bayar sendiri-sendiri.
Dengan
mengungkap praktek pembayaran honorarium untuk petugas-petugas siaran selama
ini, tampak bahwa biaya siaran jadi membengkak dari yang seharusnya. Namun jika
mau diluruskan seperti praktek yang dilakukan organisasi siaran radio di luar
negeri, perlu pula diperhatikan cara menambah penghasilan bagi petugas-petugas
siaran yang gaji PNSnya masih ‘segitu’.
Berapa sebetulnya
biaya siaran RRI untuk satu jamnya? Ini memerlukan peninjauan ulang sehingga
diperoleh angka yang pas berikut cara-cara mendapatkan dananya.
Biaya siaran RRI
untuk satu jam pernah dihitung oleh Kabag TU, Djamalul Abidin Ass pada tahun
1989. Angka yang ideal waktu itu adalah
Rp 200.000,- perjamnya. Sedangkan dana yang tersedia hanya Rp 20.000,-!
Dengan dana sebesar yang tersedia itu, seharusnya RRI beroperasi sepersepuluh
dari 24 jam yaitu 2,4 jam sehari.
Biaya Yang Sesuai Mutlak
Diperlukan
Biaya siaran
yang sesuai untuk mendukung tiap mata acara dan kegiatan mutlak diperlukan
untuk terjaminnya hasil produksi yang baik. Dalam menyusun anggaran untuk
operasional siaran, tidak boleh pukul rata karena sifat acara yang berbeda.
Sebuah liputan peristiwa yang hasilnya untuk siaran selama 3 menit bisa lebih
besar biayanya dibandingkan dengan ‘Pilihan Pendengar’ yang bahan-bahannya
tersedia di studio dengan lama siaran 1 jam.
Contohnya
seperti berikut.
Seorang
produser siaran berbahasa Indonesia Radio Nederland tahun 1982 meliput kegiatan
pembentukan Organisasi Negara-negara Pengekspor Timah di London. Ia dijadwalkan
berada di London 4 hari, menginap disebuah hotel sederhana dan naik pesawat
terbang dari Amsterdam – London pp. Setelah dihitung pihak keuangan, biaya yang diperlukan 1500
gulden, kurang lebih 6 juta rupiah uang sekarang. Padahal, hasil liputan hanya
3 menit! Dasar orang Melayu, produser bersangkutan menghemat selama di London,
sehingga tersisa uang 300 gulden. Sisa uang itu diminta kembali oleh petugas
keuangan Radio Nederland. Tampak bahwa Radio Nederland sangat teliti dalam
membiayai sebuah kegiatan liputan dan harus dipertangungjawabkan dalam bentuk
kwitansi membayar taxi, makan di restoran dan sewa hotel. Kalau ternyata
pengeluaran lebih besar dari yang dianggarkan, petugas keuangan akan membayar
si produser sebesar kekurangan itu. Sebaliknya jika lebih, uang diminta
kembali.
Mata-mata
acara yang sudah berlangsung tetap seperti ‘Kuliah Subuh’, ‘Ruangan Wanita’,
‘Cerpen’ dan ‘Sandiwara Radio’ biayanya sudah dapat diperkirakan berapa
besarnya setiap tahunnya. Yang memerlukan penghitungan lebih teliti adalah
biaya liputan yang jaraknya bervariasi. Sebuah peristiwa yang terjadi di Balai
Kota DKI, tentu berbeda biayanya dengan peristiwa yang di liput di Tanjung
Priok. Yang terjadi selama ini seorang reporter hanya diberi honorarium senilai
nasi bungkus yang dibeli di warung Padang. Soal bagaimana si reporter mencapai
tempat liputan, tergantung inisiatif yang
bersangkutan. Dalam suasana seperti itu memang sulit juga bagi reporter RRI
mengikuti jejak reporter-reporter dari media-media cetak besar yang tidak mau
menerima amplop dari pihak panitia sebuah kegiatan liputan.
Biaya
yang harus dipersiapkan RRI bukan saja untuk keperluan operasional siaran,
melainkan juga kegiatan lain yang ada kaitannya dengan pengembangan, misalnya
mengikuti kursus-kursus di luar negeri. RRI hanya membayar untuk keperluan
paspor, airport tax dan fiscal. Selebihnya, mengharap honorarium dari pihak
penyelenggara yang besarnya 80 dolar sehari itu. Ketika mengikuti sebuah kursus
diselenggarakan AIBD di Kuala Lumpur tahun 1990, seorang peserta dari RRI
terpaksa menghemat. Tidur di hotel bintang lima, makan dikedai Melayu di
seberang hotel, agar ada uang lebih untuk beli oleh-oleh dan sewa taxi pulang
ke rumah. Bandingkan dengan peserta dari Philipina yang menerima uang saku dari
organisasi penyiaran yang mengirimnya sebesar 500 dolar!
Menghitung
biaya siaran, bukan saja dari besarnya ongkos yang harus dikeluarkan untuk
mendukung sebuah mata acara siaran dan kegiatan lain yang berkaitan dengan
pengembangan, juga harus dilihat dari sisi harga sebuah karya intelektual. Acara ‘Kuliah Subuh’ yang diisi seorang
bergelar S1, Masa sama dengan yang bergelar S3. Dalam menentukan honorarium
‘Kuliah Subuh’ itu harus pula dicari perbandingannya dengan media serupa di
luar RRI. Kalau media lain menghargainya sebesar x rupiah, masa RRI hanya
membayar setengahnya saja. Begitu juga karya-karya sastera seperti cerpen,
sandiwara radio, prosa dan puisi, jangan pula lebih rendah daripada media-media
lain. Dulu, ketika RRI ‘merajai’ udara Indonesia, memang kebanyakan orang
berlomba menjadi pengisi acara RRI demi popularitas. Tapi setelah sekarang
media massa sudah beragam dan berani membayar mahal karya-karya intelektual,
RRI tidak boleh ketinggalan. Bagaimana caranya, inilah kewajiban pimpinan RRI
yang sedang berada di atas panggung sekarang ini. Yang penting, ada kesadaran
untuk menyamakan kedudukan RRI dengan media-media lainnya, termasuk biaya
siaran yang sesuai.
Struktur
Organisasi
Organisasi yang baik berdampak pada hasil pekerjaan yang
baik pula. Sebuah organisasi mengatur program-program kerja, penempatan tenaga
sejumlah yang diperlukan dan dana pendukungnya.
Sampai
dibubarkannya Departemen Penerangan pada tahun 1999, RRI adalah sebuah
direktorat di lingkungan departemen tersebut. Dengan kedudukan seperti itu, RRI
tidak bebas mengatur dirinya sendiri seperti mengalokasikan dana yang sesuai
dan recruitment tenaga kerja.
Tiap tahun RRI
mengajukan anggaran sejumlah yang diperlukan namun yang disetujui selalu saja
kurang. Padahal anggaran yang disetujui itu selalu pula naik 10 sampai 15
persen. Untuk menutupi kekurangan biaya operasional siaran ditambah lain-lain
yang tidak ada anggarannya, dipakailah dana untuk pemeliharaan
perangkat-perangkat teknik.
Begitu juga
tenaga kerja, RRI tiap tahun mendapat ‘dropping’ dari Biro Kepegawaian
Departemen Penerangan. Tidak tahu mau ditempatkan di mana, karena tenaga
‘dropping’ itu tidak memiliki kemampuan yang sesuai dengan keperluan RRI
meliputi tenaga-tenaga siaran, teknik dan tata usaha. Maka terjadilah
‘pengangguran terselubung’ berasal dari tenaga ‘dropping’ yang tidak mampu
melaksanakan tugas sebagaimana mestinya.
Bubarnya
Departemen Penerangan membawa ‘berkah’ bagi dimungkinkannya perubahan struktur
organisasi RRI. Para pimpinan RRI menginginkan RRI sebagai sebuah lembaga yang
tidak berada di lingkungan pemerintahan, seperti yang ada di luar negeri,
misalnya BBC. Tapi hal itu memerlukan adanya undang-undang yang mengaturnya.
Menjelang terbitnya undang-undang dimaksud, RRI dijadikan Perusahaan Jawatan
–Perjan-, berinduk kepada Departemen Keuangan. Berbeda dengan Perjan yang sudah
ada sebelumnya, Perjan RRI punya kekhususan, antara lain Direksi mendapat
eselon yaitu eselon I untuk Direktur Utama dan eselon dua untuk sejumlah
Direktur. Perjan RRI ini dipertanyakan keberadaannya oleh mantan Kepala RRI
Jakarta, MN Supomo yang antara lain mengatakan, sebuah Perjan menurut ketentuan
yang ada dipimpin seorang Kepala bukan Direktur Utama. Rupanya MN Supomo belum
tahu adanya Kepres yang mengatur keberadaan Perjan gaya baru itu.
Hanya lima tahun
menyandang status Perjan, RRI berubah lagi menjadi Lembaga Penyiaran Publik
bersama TVRI, berdasar Undang-undang Penyiaran Tahun 2002. Dua unsur pengendali
utama RRI gaya baru ini adalah Dewan Pengawas dan Direksi. Dipilih oleh DPRRI,
Dewan Pengawas kemudian menyeleksi Direktur Utama dan anggota-anggota Direksi
lainnya. Baik untuk jabatan Dewan Pengawas maupun Direksi, tidak dilihat dari
‘jam terbang’ seseorang, melainkan kemampuan membuat dan mempertahankan makalah
di depan team penguji. Selain membuat makalah, syarat lainnya adalah pernah
memimpin sebuah unit kerja baik di lingkungan maupun di luar RRI. Pangkat sama
sekali tidak menjadi pertimbangan. Hal
itu memungkinkan seseorang naik eselon langsung satu tingkat, tidak seperti
sebelumnya hanya naik setengah tingkat saja. Semasa masih berada di lingkungan
Departemen Penerangan, kebanyakan pejabat RRI naik eselon setengah tingkat
paling cepat empat tahun. Ada pejabat yang berada di eselon 3b lima tahun,
eselon 3a empat tahun. Menjelang usianya mendekati usia pensiun barulah ditugaskan
mengikuti sekolah jenjang karier yaitu Spamen {dengan biaya sendiri}. Tidak mau
mengikuti Spamen karena tidak punya biaya, dinilai tidak mampu melaksanakan
tugas oleh Pimpinan RRI. Walau kemudian diikutkan juga dalam ‘uji kepatutan’,
itu hanyalah basa basi. Mudah ditebak pejabat seperti itu tidak laku menduduki
eselon yang lebih tinggi.
Organisasi Radio Siaran Yang
Standar
Organisasi
Radio Siaran dilihat dari keperluannya, sama di mana-mana. Menurut Anwar Nurin,
Kepala TU RRI Jakarta tahun tujuhpuluhan, Radio Siaran terdiri atas tiga bagian
yaitu Siaran, Teknik dan Tata Usaha. Dari tiga bagian itu dipecah lagi agar
lebih terarah dalam mengatur semua pekerjaan.
Ketika
RRI Jakarta masih belum berdiri sendiri sebagai sebuah stasiun, bagian siaran
dipecah dua, Dalam Negeri dan Luar Negeri. Yang Dalam Negeri terdiri atas
Siaran Kata, Pekabaran, Siaran Musik dan Programa. Sedangkan Luar Negeri
dipecah ke dalam bahasa-bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu, Bahasa
Inggeris, Bahasa Perancis, Bahasa Jerman, Bahasa Mandarin, Bahasa Arab, Bahasa
Hindi, dan Bahasa Urdu. Belakangan Bahasa Hindi dan Bahasa Urdu ditiadakan,
diganti Bahasa Thailand dan Jepang. Setelah itu berubah lagi dengan menghapus
siaran dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Thailand.
Awal
tujuhpuluhan, RRI Jakarta menjadi stasiun penyiaran sendiri dengan sebutan
RRI Stasiun Nasional Jakarta. Siaran Luar Negeri menjadi
Sub Direktorat bersama Pekabaran yang berganti nama Sub Direktorat Pemberitaan.
Selain itu ada Sub Direktorat Siaran, Sub Direktorat Bina Programa, Sub
Direktorat Teknik dan Bagian Tata Usaha. Struktur organisasi seperti itu sesuai
yang berlaku di lingkungan Departemen Penerangan. Sebuah Sub Direktorat punya
tugas pembinaan. Dua kegiatan siaran yang tidak sesuai sebagai Sub Direktorat
adalah Siaran Luar Negeri dan Pemberitaan, karena kenyataannya melakukan
operasional siaran. Dalam era RRI sebagai Perjan, Pemberitaan masuk ke dalam
struktur RRI Jakarta sedangkan Siaran Luar Negeri menjadi Stasiun Penyiaran Khusus.
Berubah-ubahnya
struktur organisasi RRI yang memakan waktu puluhan tahun tentulah dengan maksud
agar pekerjaan semakin lancar dan mutu SDM semakin meningkat pula. Hasilnya
dapat diukur secara sederhana, yaitu apakah siaran RRI dapat ditangkap dengan
mudah di pesawat radio, terdengar dengan jelas dan informasi-informasi yang
disampaikan sesuai kebutuhan masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya
bisa terjawab dengan bertanya langsung kepada masyarakat.
Jika
hasil yang dicapai masih belum seperti diharapkan, harus dicari penyebabnya.
Kemudahan-kemudahan apa saja yang diperoleh dengan adanya perubahan organisasi,
sebaliknya hal-hal apa yang merintangi. Dulu, diantara kendala adalah tidak
jelasnya ‘job discription’, mengakibatkan pelaksanaan tugas saling bertabrakan.
Masa, dalam sebuah kegiatan peliputan, petugas yang datang lebih dari dua
orang. Yang satu jelas dari Pemberitaan, sedangkan dua lainnya dari
penyelenggara acara tertentu yang memerlukan bahan sama. Antara tahun 1992 –
1997, di Bali sering terjadi tabrakan tugas seperti itu. Ketika ada acara di
Kabupaten Bangli, para petugas datang dari RRI Singaraja dan RRI Denpasar.
Kedua stasiun sama-sama berhak meliput karena merupakan wilayah kerja mereka.
Begitu juga ketika ada kegiatan dihadiri Presiden RI, ada tiga petugas yang meliput yaitu dari Singaraja, Denpasar
dan Jakarta. Yang diperlukan adalah rincian tugas, sehingga tidak mubazir dalam
menugaskan seorang reporter.
Supaya tidak terjadi lagi dimasa
depan perubahan struktur organisasi yang terus menerus, perlu dipikirkan sebuah
struktur organisasi yang standar termasuk standar untuk SDM yang mengisi
jabatan-jabatan yang ada. Contoh, kemampuan seorang Kepala Pemberitaan RRI
harus sama dengan jabatan serupa di stasiun-stasiun radio negara-negara lain.
Untuk perbandingan, seorang Kepala Pemberitaan di Singapore Broadcasting
Corporation (SBC) mampu memimpin Jumpa Pers dalam Bahasa Inggeris.
Angkatan muda
RRI yang sedang bekerja sekarang ini mendambakan RRI menjadi siaran radio kelas
dunia, setara organisasi serupa di luar negeri seperti BBC dan NHK. Dambaan itu
wajar saja , mengingat peluang untuk itu tersedia yaitu
punya pengalaman yang lama dan jaringan yang luas.
Untuk menuju
siaran dunia kelas dunia tentu perlu memiliki mutu yang tinggi baik di bidang
siaran maupun non siaran. Hal-hal berikut perlu dipertimbangkan, yaitu:
a.
Meninjau kembali biaya
siaran yang sedang berlaku, apa sudah sesuai apa belum. Kalau biaya yang
disediakan APBN tidak mencukupi, cari jalan keluarnya berupa sponsor dan hasil
iklan.
b. Meninjau kembali lamanya siaran melalui riset pendengar. Jika
hasil riset menunjukkan bahwa pada jam-jam tertentu siaran RRI tidak
didengarkan orang, untuk apa menyelenggarakan siaran pada jam-jam tersebut.
Kalau riset pendengar itu dilakukan oleh seluruh stasiun RRI, maka lamanaya
waktu siaran untuk tiap-tiap stasiun akan berbeda, jadi bukan berdasar
kesepakatan yang diperoleh dalam rakor di Jakarta.
c.
Melakukan riset
pendengar setidaknya sekali setahun untuk menentukan acara-acara mana yang tetap
berlanjut dan mana yang harus diganti.
d. Memantapkan penggunaan pemancar, agar benar-benar menjangkau
wilayah siaran sebuah stasiun RRI.
e. Meninjau kembali jumlah tenaga siaran (SDM) yang diperlukan
dengan menggunakan jasa konsultan. Hasil penelitian dibidang SDM ini akan
menentukan berapa banyak sebuah stasiun RRI memerlukan tenaga siaran, perlu
ditambah atau dikurangi.
f.
Perlu melakukan
perbandingan dengan stasiun-stasiun radio di luar negeri. Di RTM Malaka,
Malaysia misalnya, dengan siaran dalam 4 bahasa , ke udara 4 x 2 jam sehari,
jumlah tenaga siaran 40 orang.
g.
Menghilangkan kebiasaan
membayar honorarium untuk kalangan
sendiri. Yang diberi honorarium hanya pengisi acara dari luar seperti
penceramah, penulis naskah dan pemain-pemain sandiwara radio, penulis cerpen,
puisi, pemain musik dan penyanyi Jika hal itu dilakukan harus dicarikan solusi
memberi insentif bagi tenaga-tenaga di kalangan sendiri, sehingga penghasilan
mereka (gaji PNS + insentif} jumlahnya setara dengan luar negeri.
h. Setiap karyawan mendambakan karier yang baik, mengharapkan
kedudukan tinggi. Karena itu promosi jabatan harus dilakukan secara jujur, adil
dan jauh dari perlakuan ‘like and dislike’. ‘Jam terbang’ dan kecakapan
melaksanakan tugas harus dijadikan pertimbangan utama, jangan sampai tersingkir
hanya karena kurang pas membuat makalah. Sebab soal membuat makalah, menurut
Sudirman Hala, orang Indonesia terkenal sangat mahir di dunia. Makalah-makalah
orang Indonesia di berbagai bidang yang dibuat sejak zaman Orba, kalau ditumpuk
dari bawah ke atas, bisa mencapai bulan. Kenyataannya sulit diterapkan,
sehingga Indonesia tetap saja ketinggalan dibandingkan negara-negara tetangga
yang merdekanya belakangan.
i.
Menjadi siaran berkelas
dunia, RRI harus mau membuka diri, membanding dengan organisasi-organisasi
sejenis di luar negeri dan memperbaiki diri di segala bidang.
Menyamakan
Standar
Untuk
menjadi sebuah stasiun radio berkelas dunia, tidak cukup dengan semangat
menyala-nyala para penyelenggara siaran RRI. Yang paling penting adalah
menyamakan standar di segala bidang meliputi SDM, perangkat teknik (studio dan
pemancar), ketatausahaan dan anggaran yang sesuai.
Berhubungan
dengan SDM, selama ini RRI terus berusaha meningkatkan ketrampilannya melalui
pelbagai kursus di dalam dan luar negeri. Hanya saja tenaga-tenaga yang
mengikuti kursus-kursus itu tidak jelas kemanfaatannya. Tahun 1988 ada tenaga
siaran dari RRI mengikuti kursus ‘Audience Research’ atau riset pendengar di
Islamabad, Pakistan. Selesai mengikuti
kursus tersebut, tidak tahu mau dimanfaatkan di mana karena RRI tidak punya
kegiatan riset pendengar. Tahun 1985 di Jakarta diselenggarakan Training of
Trainer (TOT) disponsori AIBD Kuala Lumpur. Ada 6 tenaga siaran dari RRI yang
mengikuti kursus tersebut. Sesuai namanya yaitu latihan untuk pelatih
(instruktur siaran) seharusnya yang mengikuti kursus ditugasi menjadi
instruktur siaran. Kenyataannya, tidak ada yang benar-benar menjadi instruktur
siaran, kecuali yang bersifat sewaktu-waktu saja.
Soal SDM
sudah lama dirasakan bahwa jumlah karyawan RRI sangat besar, sekitar 8.000 di
seluruh Indonesia. Tapi tidak juga kunjung diketahui berapa sebetulnya jumlah
yang pas. Dirjen RTF Alex Leo pernah meminta RRI untuk mengajukan jumlah tenaga
siaran yang sesuai keperluan. Jawabannya beragam karena diserahkan pada
masing-masing stasiun yang ada. Angka yang diajukan masih berkisar di sekitar
100 orang, lebih maupun kurang. Angka tersebut ditemukan berdasar perkiraan
belaka, tidak didukung oleh keperluan nyata sesuai hasil kajian para pakar di
bidang siaran radio. Sebuah stasiun daerah di Swedia hanya memerlukan 28 tenaga
kerja dengan dukungan peralatan seperti yang dimiliki RRI. Kalau RRI
benar-benar ingin mengetahui berapa sebetulnya jumlah karyawan yang pas, perlu
bantuan sebuah lembaga konsultan yang berpengalaman.
Kemampuan
tenaga-tenaga siaran RRI harus diusahakan setara dengan yang dimiliki
stasiun-stasiun radio di negara-negara lain. Ketika ada kursus mengenai
produksi acara peristiwa-peristiwa hangat, siaran langsung dalam bentuk majalah
radio, Radio Swedia hanya mengirimkan tenaga-tenaga pelatih setingkat eselon
lima RRI. Begitu juga ketika mengikuti pertemuan tingkat ASEAN seperti
Committee of Culture and Information, RRI mengirim delegasi dipimpin pejabat
eselon dua, sedangkan negara-negara lain pimpinan delegasinya adalah pejabat
setingkat eselon tiga RRI.
Perangkat
teknik yang dimiliki RRI sudah cukup baik karena terus menerus mengalami
peningkatan setiap tahun baik studio maupun pemancar. Yang memerlukan perhatian
lebih sungguh-sungguh adalah
mengusahakan pemancar-pemancar itu mencapai sasaran pendengar sesuai
yang direncanakan.Pro III dan Pro IV RRI Jakarta masing-masing punya pemancar
SW yang tentunya ditujukan kepada pendengar-pendengar di luar Jakarta. Inilah
yang perlu diketahui sejauh mana pemancar SW tersebut dapat ditangkap. Begitu
juga Siaran Luar Negeri, perlu diselidiki apakah tiap-tiap bahasa yang
disiarkan didengarkan di negara-negara pengguna bahasa-bahasa itu.
Ketatausahaan
tidak boleh diabaikan agar memiliki sistem bekerja yang mampu mendukung
operasional siaran. Pihak tatausaha berkewajiban mencarikan kenderaan untuk
keperluan siaran luar, jika kenderaan-kenderaan yang tersedia terpakai semua.
Bukan hanya mencarikan kenderaan, melainkan juga membayar sewanya setelah
seorang petugas siaran selesai menggunakan kenderaan tersebut. Biaya perjalanan
dinas untuk jarak tertentu, juga harus disediakan oleh Bagian Tata Usaha, tidak
seperti selama ini biaya perjalanan dinas itu hanya untuk pejabat-pejabat
eselon tertentu saja.
Dukungan
dana yang sesuai memang selama ini masih menjadi kendala, tapi itu pula
tantangan yang harus dijawab. Paradigma lama yang menyatakan bahwa RRI tetap
mampu melaksanakan siaran walaupun dengan dana yang sedikit, sudah harus
ditinggalkan.
Tanpa dimilikinya standar di bidang-bidang SDM, perangkat teknik,
ketatausahaan dan dana yang sesuai, mustahil RRI mampu menjadi siaran radio
berkelas dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar