Minggu, 02 Juni 2013

Memperingati Hari Lahir Pancasila


 

Hari lahir Pancasila pada 1 Juni 2013 diperingati beragam dalam arti tidak diselenggarakan  secara terpadu, lazimnya memperingati hari-hari penting nasional lainnya. Misalnya HUT Kemerdekaan RI, diperingati secara nasional di Jakarta  yang upacaranya dipimpin Presiden RI, daerah-daerah pada saat sama dipimpin para Gubernur, Bupati dan Walikota. Peringatan hari lahir Pancasila, terkesan inisiatif kelompok tertentu seperti yang diselenggarakan PDIP di Tugu Proklamasi, Jakarta. Sedangkan Wapres Budiono memperingatinya di Ende, Flores, NTT, tempat Bung Karno menggali keberadaan Pancasila itu. Selain Wapres Budiono juga hadir Ketua MPR Taufik Kiemas, beberapa menteri dan Gubernur NTT. Karena kehadiran pejabat negara, mungkin yang di Ende ini dapat disebut ‘Peringatan Secara Kenegaraan’.

Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri dalam sambutannya menyatakan sedih karena Pancasila sepertinya kurang dihayati generasi sekarang. Penyebabnya, karena ada penyimpangan sejarah tentang Pancasila dilakukan oleh rezim orba. Pendapat ini, hemat kita, sedikit keliru. Tidak ada penyimpangan Pancasila oleh rezim orba. Zaman itu Pancasila malah dipromosikan secara besar-besaran di pusat dan daerah. Penataran P4 diselenggarakan di mana-mana  untuk seluruh lapisan masyarakat. Justru supaya Pancasila itu dipahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kemudian Pancasila itu  belum terasa dalam kehidupan masyarakat, inilah yang perlu dipelajari sebabnya.

Pertanyaannya, pada masa pemerintahan siapa sebetulnya Pancasila itu sudah terlaksana dalam kehidupan masyarakat? Ambil misalnya sila keempat yang berbunyi, ‘Kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’. Maknanya Indonesia adalah negara bersifat kerakyatan . Jadi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Melalui perwakilannya di lembaga legislatif, rakyat menentukan  kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelompok mayoritas di parlemen tidak boleh memaksakan kehendaknya. Pendapat-pendapat yang baik kelompok minoritas harus dipertimbangkan. Contoh soal sudah diperlihatkan para pemimpin bangsa ini ketika merumuskan “Piagam Jakarta”. Tujuh kata yang berbunyi, ‘Kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, dihapus. Hanya dua orang dari Panitia Sembilan yang tidak menyetujui pencantuman ketujuh kata itu. Kelompok mayoritas (7 orang), mengalah demi persatuan bangsa yang sedang mempersiapkan kemerdekaannya. Bandingkan dengan sekarang. Voting sering dilakukan di Parlemen karena tidak diperoleh kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat. Zaman  orla dan orba juga begitu. Dalam kedua zaman itu pemerintah terlalu kuat sehingga Parlemen tinggal setuju saja.

Bahwa di zaman orba Hari Lahir Pancasila 1 Juni tidak diperingati dan diganti dengan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, benar adanya. Inilah yang harus dikoreksi dan ditegaskan lagi melalui Kepres yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar