Adalah Rahmawati Sukarnoputri yang mempertanyakan konsep ‘Empat
Pilar Kebangsaan’, disosialisasikan alm. Taufik Kiemas. Ia berpendapat
penggunaan kata ‘Empat Pilar Kebangsaan’ itu tidak tepat, juga rentan
penyimpangan APBN melalui MPR. Sayang Rahmawati
tidak merinci pendapatnya itu. Apa yang dimaksudnya tidak tepat dan apa
sebetulnya yang lebih tepat. Kalau bukan MPR, siapa yang harus
mensosialisasikan keempat komponen kehidupan berbangsa dan bernegara itu.
Dari segi bahasa, memang ada kerancuan. Kalau tidak salah,’
pilar’ berarti ‘tonggak’. Jadi empat pilar berarti empat tonggak penyangga,
yaitu: Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Masalahnya, bukankah
penggali Pancasila sendiri, Bung Karno yang menyatakan bahwa Pancasila itu
adalah ‘dasar’ negara? Bagaikan sebuah bangunan, masa ‘dasar’ bisa menjadi ‘tonggak’?
Kita yakin bahwa alm. Taufik Kiemas bermaksud baik dengan
pemikirannya itu. Apalagi dalam mensosialisasikannya didukung pula oleh
akademisi sekelas Profesor Azumardi. Sebaliknya pertanyaan dari Rahmawati tentu
baik pula dalam upaya mendudukkan masalah secara proporsional. Ia ingin
menempatkan Pancasila seperti halnya yang dikehendaki penggalinya sendiri, Bung
Karno.
Profesor Yusril Ihza Mahendra menilai ‘Empat Pilar Kebangsaan’ adalah pemahaman
politik, bukan akademik. Ia menyebut USDEK (UUD 45, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia) merupakan
contoh pemahaman politik, bukan akademik. Bagaimana pun bagi masyarakat awam,
cukup membingungkan. Tidak perduli apa istilah itu pemahaman politik atau
akademik. Yang jelas dari dulu Pancasila itu dikenal sebagai dasar negara.
Pancasila itu sudah disosialisasikan oleh rezim orba dengan
membentuk lembaga BP7 yang menggodok Pancasila menjadi butir-butir agar mudah
dipahami masyarakat. Sejak zaman reformasi, kegiatan mempelajari Pancasila itu
hilang begitu saja. Tidak jelas apa sebabnya. Ada yang berpendapat bahwa
Pancasila sudah dimanipulasi oleh rezim orba. Padahal dalam mensosialisasikan
Pancasila itu (melalui penataran-penataran), selain biaya besar, juga
melibatkan tokoh-tokoh sekelas Ruslan Abdul Gani dan Sarwo Edhie sebagai Ketua
BP7. Tokoh-tokoh itu tentu tidak diragukan lagi kesetiaannya kepada Pancasila
Sebagai masyarakat awam yang tidak paham masalah
ketatanegaraan, kita hanya berharap agar keberatan Rahmawati itu tidak dianggap
sepi. Mereka yang pakar Hukum Tatanegara perlu berunding mencari benang merah
antara Pancasila yang disosialisasikan oleh orba dengan ‘Empat Pilar Kebangsaan’nya
alm. Taufik Kiemas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar