Minggu, 12 Mei 2013

Meneer Den Uyl



Ia bernama Den Uyl, pria lansia yang tampak selalu bersemangat. Penampilannya sederhana, terlihat dari pakaian yang dikenakannya bukan merek terkenal..Ia memakai kemeja abu-abu dengan celana hitam. Menutup kemejanya itu sebuah jaket kulit, juga berwarna hitam. Tidak berdasi, berbeda dengan kebanyakan pria Belanda yang suka parlente.. Konon pria yang tidak berdasi termasuk golongan rakyat kecil, bukan dari kalangan kapitalis. Dengan pakaian yang sederhana itu Den Uyl tetap gagah dan bersemangat. Kesan itu diperoleh Sabarudin, ketika tidak sengaja berkenalan dengan Den Uyl di terminal bus Bussum. Mereka berada di satu ruangan tunggu sama menunggu bus dengan jurusan berbeda. Sabarudin menunggu bus ke Huizen. Den Uyl ke Hilversum.

“Ben U van Suriname?” sapa Den Uyl dengan ramah. Ia menyangka Sabarudin orang Suriname.

“Ne, meneer. Ik kom uit Indonesia…” jelas Sabarudin dengan ramah pula.

“O, gelukkig. We habben veel Indonesische mensen hier..” Den Uyl tampak senang. Tiba-tiba ia berdiri, menganggukkan kepala memberi hormat.

“Tabek, Tuan…” Sabarudin ikut berdiri member hormat sambil tertawa lebar.

“Maaf meneer. Itu bahasa tempo dulu. Sekarang sudah tidak terpakai lagi.” Sabarudin menjelaskan keadaan Indonesia yang terus mengalami perubahan, termasuk penggunaan bahasa. Den Uyl menyimak penuh perhatian.

“Apa bahasa Belanda masih digunakan di Indonesia?” tanya Den Uyl.

“Tidak lagi. Tetapi yang pernah sekolah Belanda, masih memakainya dalam percakapan ketika bertemu satu sama lain. Mereka sudah lansia.” Lantas Sabarudin menjelaskan penggunaan  bahasa Indonesia yang terus berkembang.

“Apa dengan keberadaan bahasa Indonesia itu, bahasa-bahasa daerah menjadi hilang?”

“Tidak. Bahasa-bahasa daerah tetap hidup. Orang akan menggunakan bahasa Indonesia ketika seorang yang baru dikenal tidak mengerti bahasa daerah setempat.”

“Kalau bahasa asing?”

“Yang banyak digunakan adalah bahasa Inggeris. Tapi bahasa-bahasa asing lainnya juga dipelajari untuk keperluan-keperluan khusus. “ Sabarudin berhenti berkata-kata ketika bus yang mereka tunggu datang beriringan. Mereka berpisah setelah bersalaman.

Tidak ada janji untuk bertemu lagi. Namun hari-hari berikutnya Den Uyl dan Sabarudin sering bertemu di terminal bus Bussum. Percakapan pun berkembang membicarakan pelbagai hal yang menarik perhatian masing-masing. Mereka saling menceritakan pekerjaan masing-masing. Den Uyl ternyata seorang buruh di sebuah pabrik pengolahan sampah. Ia mengeluh karena upah buruh di pabriknya masih terhitung rendah dibandingkan dengan pabrik-pabrik lain.

“Bukankah  gaji pekerja di Belanda termasuk baik?” tanya Sabarudin.

“Sebagian ya. Sebagian lagi tidak. Masih ada kesenjangan. Inilah yang sedang kami perjuangkan..”

“Maksud meneer?”

“Perjuangan secara politik di parlemen. Kami harus punya banyak kursi di parlemen, sehingga perjuangan buruh mendapat kemenangan.” Den Uyl berhenti bicara.  Ia menatap wajah Sabarudin.

“Dukunglah kami.” Suara Den Uyl terdengar serius. Sabarudin belum mengerti.

“Pilihlah Nederlands Communis Partij –NCP- dalam pemilu mendatang.” Sabarudin terkejut. Den Uyl ternyata seorang komunis. NCP cuma punya seorang wakil di Parlemen. Sekali pun minoritas, ia sangat yakin partainya suatu ketika akan menang. Ia juga tidak ragu-ragu mengajak orang yang baru dikenalnya ikut memilih NCP. Sabarudin menggeleng-geleng.

“Tidak mungkin meneer. Saya bukan warganegara Belanda…”

“Ambil saja kewarganegaraan Belanda.” Suaranya terdengar enteng. Ia tidak tahu apa yang terlintas dalam fikiran Sabarudin. Tampaknya ia yakin betul perjuangan buruh pantas didukung oleh semua orang, Belanda atau bukan. Sabarudin terdiam sambil memikirkan apa yang harus diucapkannya.

“Kalau cuma menjadi warganegara Belanda, tidaklah sulit,” kata Den Uyl lagi.

“Caranya?”

“Kawin saja dengan orang Belanda…”

“Semudah itu..?”

“Mengapa tidak? Apalagi orang seperti U. Tampan, punya gaji besar..” Sabarudin tersenyum mendengar pujian Den Uyl. Hanya bercanda?

“Beginilah,” Den Uyl bicara dengan nada lebih serius. “Saya punya anak perempuan, umur 20 tahun. Ia belum bersuami. Kalau U berkenan, kawinlah dengan anakku.” Permintaan Den Uyl betul-betul mengejutkan. Sabarudin menduga Den Uyl punya masalah pribadi dan mengkhawatirkan masa depan anaknya.

“Apa pendapat U?” tanya Den Uyl. Setelah berdiam diri saja, Sabarudin menanggapi saran Den Uyl.

“Saya tidak berfikir untuk menjadi warganegara Belanda. Yang saya fikirkan adalah alas an, mengapa harus mendukung komunis untuk memperjuangkan nasib kaum buruh.”

“Apa ada yang lebih baik dari komunis dalam memperjuangkan nasib buruh? Lihatlah di Cina, Vietnam dan Korea Utara. Kaum buruh di sana hidup senang, serba cukup. Orang kaya dan miskin tidak terlalu jauh kesejahteraannya dibandingkan dengan negara-negara kapitalis.” Nada suara Den Uyl penuh semangat. Ia yakin Sabarudin akan termakan kata-katanya.

“Ada,” kata Sabarudin mantap. Wajah Den Uyl tampak heran memperhatikan penjelasan Sabarudin.

“Solusinya adalah Islam.” Sabarudin menjelaskan panjang lebar ajaran Islam menyangkut buruh atau tenaga kerja. Begitu berharganya seorang pekerja, sehingga Nabi Muhammad SAW memerintahkan  ummat Islam membayar  upah seorang pekerja sebelum keringatnya keluar.

“Apa ada contoh penerapan ajaran Islam mendatangkan kesejahteraan bagi penduduk sebuah negara?” Suara Den Uyl  bernada sinis. Mungkin juga ia sudah terbawa arus pandangan negatif orang barat bahwa Islam adalah teroris.

“Contohnya Saudi Arabia. Di sana tidak ada orang miskin. Banyak orang dari negara-negara lain bekerja di sana karena gaji seorang pekerja cukup tinggi.” Den Uyl mengangguk-angguk, tapi tidak kehabisan akal untuk menyerang.

“Sayangnya, kaum majikan di Saudi Arabia suka menyiksa buruh kecil, seperti pembantu rumahtangga..”

“Itu soal lain meneer. Pelanggaran terhadap peraturan terjadi di mana-mana. Di sini juga begitu..”

“Misalnya?”

“Masih ada masyarakat Belanda yang rasialis. Kemarin di Amsterdam ada unjukrasa yang mengusir pekerja-pekerja asing kembali ke negara masing-masing. Mereka membawa spanduk besar bertuliskan: we zijn Nederlander, buitenlander ga weg!” Den Uyl terdiam. Ia mengakui kebenaran ucapan Sabarudin. Walau pun minoritas, sikap anti pekerja asing merusak citra Belanda sebagai negara yang memperlakukan  semua orang sama, termasuk pendatang asing.

Keduanya diam tenggelam dalam fikiran masing-masing. Den Uyl kehilangan ide untuk mematahkan argumentasi Sabarudin. Tampaknya ia mulai tertarik , ingin tahu lebih banyak tentang Islam.

“Di negara U sendiri, bagaimana? Apa sistem Islam sudah terlaksana dengan baik?” Suara Den Uyl tidak lagi terdengar sinis.

“Belum..”

“Kok begitu? Negara U punya penduduk Islam terbesar di dunia, mengapa sistem Islam tidak jalan?” Sabarudin memahami keheranan Den Uyl. Ia menjelaskan keberadaan Indonesia  yang tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Secara ringkas Sabarudin menjelaskan pembentukan UUD 45 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta. Semula, Piagam Jakarta itu memuat ketentuan untuk melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tapi kalimat-kalimat yang memuat ketentuan tersebut terpaksa dihapus demi persatuan bangsa yang menganut pelbagai agama.

“Jadi ummat Islam Indonesia sebenarnya sedang berjuang untuk terlaksananya seluruh ajaran Islam. Bukan hanya sebagian-sebagian seperti:Nikah, Talak, Rujuk dan Warisan.” Ada warna heran dari wajah Den Uyl mendengar penjelasan Sabarudin. Indonesia, negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia belum dapat melaksanakan ajaran Islam sepenuhnya. Hukum potong tangan bagi pencuri , hukum rajam bagi pezina dan hukum qisas bagi pembunuh tidak dapat dilaksanakan. Untuk kasus-kasus seperti itu berlaku Hukum Positif yang merupakan peninggalam Belanda.

Topik pembicaraan mereka cukup berat untuk tempat mereka berada. Di sebuah terminal bus, percakapan lazimnya yang ringan-ringan saja. Sabarudin berdiri menuju mesin penjual minuman di dekat situ. Ia mengambil dua cangkir kopi. Segelas diberikannya kepada Den Uyl. Mereka menghirup kopi dengan nikmat sambil melihat lalu lalang di terminal Bussum. Sore musim panas terasa cerah. Namun angin mulai terasa kencang karena musim gugur  menjelang tiba.

Lama juga Sabarudin tidak melihat Den Uyl di terminal Bussum. Tidak tahu apa yang terjadi atas diri Den Uyl. Asyik bercakap-cakap pelbagai masalah, mereka malah lupa mencatat alamat masing-masing. Bagi Sabarudin, Den Uyl adalah seorang cerdas walau mengaku tidak sampai duduk di perguruan tinggi. Ia sangat yakin dengan perjuangan kaum buruh melalui jalur komunisme. Entahlah setelah mendengar penjelasan Sabarudin tentang Islam. Duduk sendirian tanpa Den Uyl yang senang berdiskusi , Sabarudin mengingat-ingat kembali ucapan-ucapan  kenalannya itu. Salah satu saran Den Uyl yang mendatangkan pertanyaan adalah  agar Sabarudin kawin dengan anak gadisnya.  Bagaimana pun sebagai bujangan, Sabarudin tergelitik juga. Pada saat itulah muncul seorang gadis. Tiba-tiba saja ia sudah berada di depan Sabarudin. Kehadirannya mengingatkan Sabarudin kepada  mendiang Suzana, bintang film Indonesia yang gemar peran-peran horror.

“Maaf, apa meneer kenal seseorang bernama Sabarudin?”

“Saya sendiri.. Jij siapa?”

“Saya Merian, anak Den Uyl..” Darah Sabarudin tersirap. Ada sesuatu yang tidak beres. Apalagi melihat wajah Merian yang murung. Gadis itu duduk setelah bersalaman dengan Sabarudin.

“Ada apa? Ayahmu baik-baik saja, kan?” Nada cemas dalam suara Sabarudin.

“Tidak meneer. Papa sudah meninggal…”

“Meninggal? Kapan?”

“Baru seminggu.”

“Sakit apa?”

“Tidak sakit. Kecelakaan. Jatuh  ketika membetulkan atap…”

“Saya turut berduka. Semoga jij tabah menghadapinya.”

“Terima kasih meneer.” Sabarudin  kasihan melihat Merian. Ia adalah anak satu-satunya Den Uyl. Sekarang tentu ia tinggal sendirian di flat mereka di Hilversum.

“Papa sering cerita tentang pertemuannya dengan meneer. Kami juga merencanakan mengundang meneer bertamu ke rumah. Sayang, tidak kesampaian. Ajal sudah menjemput Papa…” Sabarudin terharu mendengarnya. Kini ia berfikir tentang masa depan Merian. Apa yang dapat dilakukannya?

“Saya baru saja menemukan surat Papa untuk meneer di laci meja. Untuk itulah saya datang ke  sini. Ini, bacalah…” Merian menyerahkan surat dari papanya itu. Sabarudin membacanya  dengan rasa tidak keruan.

Meneer Sabarudin,

Saya merasa sesuatu akan terjadi pada diri saya. Saya mengkhawatirkan anak saya, Merian. Ia tidak punya siapa-siapa lagi. Kalau kalian salaing cocok, kawinlah. Saya percaya Meneer orang baik. Tentu akan sepenuh hati melindungi Merian. Tinggallah di flat kami di Hilversum.

Salam,

Den Uyl

Sabarudin menatap Merian  dengan rasa kasihan. Gadis itu pun balas menatap. Tentu ia sudah tahu isi surat Papanya itu. Tidak dapat ditebak apa yang terlintas dalam fikiran Merian. Ia bukan orang Melayu yang biasanya cenderung mengikuti keinginan orang tua. Sabarudin juga menghadapi situasi sulit. Walau ada wasiat seperti itu, tidak mudah baginya mengawini Merian. Ia harus mampu  membuat Merian suka padanya. Perlu waktu untuk pendekatan dan meyakinkan bahwa memang cocok menjadi sepasang suami isteri.

Angin musim gugur bertiup kencang ketika keduanya berpisah untuk bertemu lagi di lain hari.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar