Ia bernama Den Uyl, pria lansia yang tampak selalu
bersemangat. Penampilannya sederhana, terlihat dari pakaian yang dikenakannya
bukan merek terkenal..Ia memakai kemeja abu-abu dengan celana hitam. Menutup
kemejanya itu sebuah jaket kulit, juga berwarna hitam. Tidak berdasi, berbeda
dengan kebanyakan pria Belanda yang suka parlente.. Konon pria yang tidak
berdasi termasuk golongan rakyat kecil, bukan dari kalangan kapitalis. Dengan
pakaian yang sederhana itu Den Uyl tetap gagah dan bersemangat. Kesan itu
diperoleh Sabarudin, ketika tidak sengaja berkenalan dengan Den Uyl di terminal
bus Bussum. Mereka berada di satu ruangan tunggu sama menunggu bus dengan
jurusan berbeda. Sabarudin menunggu bus ke Huizen. Den Uyl ke Hilversum.
“Ben U van Suriname?” sapa Den Uyl dengan ramah. Ia
menyangka Sabarudin orang Suriname.
“Ne, meneer. Ik kom uit Indonesia…” jelas Sabarudin dengan
ramah pula.
“O, gelukkig. We habben veel Indonesische mensen hier..” Den
Uyl tampak senang. Tiba-tiba ia berdiri, menganggukkan kepala memberi hormat.
“Tabek, Tuan…” Sabarudin ikut berdiri member hormat sambil
tertawa lebar.
“Maaf meneer. Itu bahasa tempo dulu. Sekarang sudah tidak
terpakai lagi.” Sabarudin menjelaskan keadaan Indonesia yang terus mengalami
perubahan, termasuk penggunaan bahasa. Den Uyl menyimak penuh perhatian.
“Apa bahasa Belanda masih digunakan di Indonesia?” tanya Den
Uyl.
“Tidak lagi. Tetapi yang pernah sekolah Belanda, masih
memakainya dalam percakapan ketika bertemu satu sama lain. Mereka sudah
lansia.” Lantas Sabarudin menjelaskan penggunaan bahasa Indonesia yang terus berkembang.
“Apa dengan keberadaan bahasa Indonesia itu, bahasa-bahasa
daerah menjadi hilang?”
“Tidak. Bahasa-bahasa daerah tetap hidup. Orang akan
menggunakan bahasa Indonesia ketika seorang yang baru dikenal tidak mengerti
bahasa daerah setempat.”
“Kalau bahasa asing?”
“Yang banyak digunakan adalah bahasa Inggeris. Tapi
bahasa-bahasa asing lainnya juga dipelajari untuk keperluan-keperluan khusus. “
Sabarudin berhenti berkata-kata ketika bus yang mereka tunggu datang beriringan.
Mereka berpisah setelah bersalaman.
Tidak ada janji untuk bertemu lagi. Namun hari-hari
berikutnya Den Uyl dan Sabarudin sering bertemu di terminal bus Bussum.
Percakapan pun berkembang membicarakan pelbagai hal yang menarik perhatian
masing-masing. Mereka saling menceritakan pekerjaan masing-masing. Den Uyl
ternyata seorang buruh di sebuah pabrik pengolahan sampah. Ia mengeluh karena
upah buruh di pabriknya masih terhitung rendah dibandingkan dengan
pabrik-pabrik lain.
“Bukankah gaji
pekerja di Belanda termasuk baik?” tanya Sabarudin.
“Sebagian ya. Sebagian lagi tidak. Masih ada kesenjangan.
Inilah yang sedang kami perjuangkan..”
“Maksud meneer?”
“Perjuangan secara politik di parlemen. Kami harus punya
banyak kursi di parlemen, sehingga perjuangan buruh mendapat kemenangan.” Den
Uyl berhenti bicara. Ia menatap wajah
Sabarudin.
“Dukunglah kami.” Suara Den Uyl terdengar serius. Sabarudin
belum mengerti.
“Pilihlah Nederlands Communis Partij –NCP- dalam pemilu
mendatang.” Sabarudin terkejut. Den Uyl ternyata seorang komunis. NCP cuma
punya seorang wakil di Parlemen. Sekali pun minoritas, ia sangat yakin
partainya suatu ketika akan menang. Ia juga tidak ragu-ragu mengajak orang yang
baru dikenalnya ikut memilih NCP. Sabarudin menggeleng-geleng.
“Tidak mungkin meneer. Saya bukan warganegara Belanda…”
“Ambil saja kewarganegaraan Belanda.” Suaranya terdengar
enteng. Ia tidak tahu apa yang terlintas dalam fikiran Sabarudin. Tampaknya ia
yakin betul perjuangan buruh pantas didukung oleh semua orang, Belanda atau
bukan. Sabarudin terdiam sambil memikirkan apa yang harus diucapkannya.
“Kalau cuma menjadi warganegara Belanda, tidaklah sulit,”
kata Den Uyl lagi.
“Caranya?”
“Kawin saja dengan orang Belanda…”
“Semudah itu..?”
“Mengapa tidak? Apalagi orang seperti U. Tampan, punya gaji
besar..” Sabarudin tersenyum mendengar pujian Den Uyl. Hanya bercanda?
“Beginilah,” Den Uyl bicara dengan nada lebih serius. “Saya
punya anak perempuan, umur 20 tahun. Ia belum bersuami. Kalau U berkenan,
kawinlah dengan anakku.” Permintaan Den Uyl betul-betul mengejutkan. Sabarudin
menduga Den Uyl punya masalah pribadi dan mengkhawatirkan masa depan anaknya.
“Apa pendapat U?” tanya Den Uyl. Setelah berdiam diri saja,
Sabarudin menanggapi saran Den Uyl.
“Saya tidak berfikir untuk menjadi warganegara Belanda. Yang
saya fikirkan adalah alas an, mengapa harus mendukung komunis untuk
memperjuangkan nasib kaum buruh.”
“Apa ada yang lebih baik dari komunis dalam memperjuangkan
nasib buruh? Lihatlah di Cina, Vietnam dan Korea Utara. Kaum buruh di sana
hidup senang, serba cukup. Orang kaya dan miskin tidak terlalu jauh
kesejahteraannya dibandingkan dengan negara-negara kapitalis.” Nada suara Den
Uyl penuh semangat. Ia yakin Sabarudin akan termakan kata-katanya.
“Ada,” kata Sabarudin mantap. Wajah Den Uyl tampak heran memperhatikan
penjelasan Sabarudin.
“Solusinya adalah Islam.” Sabarudin menjelaskan panjang
lebar ajaran Islam menyangkut buruh atau tenaga kerja. Begitu berharganya
seorang pekerja, sehingga Nabi Muhammad SAW memerintahkan ummat Islam membayar upah seorang pekerja sebelum keringatnya keluar.
“Apa ada contoh penerapan ajaran Islam mendatangkan
kesejahteraan bagi penduduk sebuah negara?” Suara Den Uyl bernada sinis. Mungkin juga ia sudah terbawa
arus pandangan negatif orang barat bahwa Islam adalah teroris.
“Contohnya Saudi Arabia. Di sana tidak ada orang miskin.
Banyak orang dari negara-negara lain bekerja di sana karena gaji seorang
pekerja cukup tinggi.” Den Uyl mengangguk-angguk, tapi tidak kehabisan akal
untuk menyerang.
“Sayangnya, kaum majikan di Saudi Arabia suka menyiksa buruh
kecil, seperti pembantu rumahtangga..”
“Itu soal lain meneer. Pelanggaran terhadap peraturan
terjadi di mana-mana. Di sini juga begitu..”
“Misalnya?”
“Masih ada masyarakat Belanda yang rasialis. Kemarin di
Amsterdam ada unjukrasa yang mengusir pekerja-pekerja asing kembali ke negara masing-masing.
Mereka membawa spanduk besar bertuliskan: we zijn Nederlander, buitenlander ga
weg!” Den Uyl terdiam. Ia mengakui kebenaran ucapan Sabarudin. Walau pun
minoritas, sikap anti pekerja asing merusak citra Belanda sebagai negara yang
memperlakukan semua orang sama, termasuk
pendatang asing.
Keduanya diam tenggelam dalam fikiran masing-masing. Den Uyl
kehilangan ide untuk mematahkan argumentasi Sabarudin. Tampaknya ia mulai
tertarik , ingin tahu lebih banyak tentang Islam.
“Di negara U sendiri, bagaimana? Apa sistem Islam sudah
terlaksana dengan baik?” Suara Den Uyl tidak lagi terdengar sinis.
“Belum..”
“Kok begitu? Negara U punya penduduk Islam terbesar di
dunia, mengapa sistem Islam tidak jalan?” Sabarudin memahami keheranan Den Uyl.
Ia menjelaskan keberadaan Indonesia yang
tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Secara ringkas Sabarudin
menjelaskan pembentukan UUD 45 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta. Semula, Piagam
Jakarta itu memuat ketentuan untuk melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Tapi kalimat-kalimat yang memuat ketentuan tersebut terpaksa dihapus demi
persatuan bangsa yang menganut pelbagai agama.
“Jadi ummat Islam Indonesia sebenarnya sedang berjuang untuk
terlaksananya seluruh ajaran Islam. Bukan hanya sebagian-sebagian
seperti:Nikah, Talak, Rujuk dan Warisan.” Ada warna heran dari wajah Den Uyl
mendengar penjelasan Sabarudin. Indonesia, negara dengan penduduk Islam
terbesar di dunia belum dapat melaksanakan ajaran Islam sepenuhnya. Hukum
potong tangan bagi pencuri , hukum rajam bagi pezina dan hukum qisas bagi
pembunuh tidak dapat dilaksanakan. Untuk kasus-kasus seperti itu berlaku Hukum
Positif yang merupakan peninggalam Belanda.
Topik pembicaraan mereka cukup berat untuk tempat mereka
berada. Di sebuah terminal bus, percakapan lazimnya yang ringan-ringan saja.
Sabarudin berdiri menuju mesin penjual minuman di dekat situ. Ia mengambil dua
cangkir kopi. Segelas diberikannya kepada Den Uyl. Mereka menghirup kopi dengan
nikmat sambil melihat lalu lalang di terminal Bussum. Sore musim panas terasa
cerah. Namun angin mulai terasa kencang karena musim gugur menjelang tiba.
Lama juga Sabarudin tidak melihat Den Uyl di terminal
Bussum. Tidak tahu apa yang terjadi atas diri Den Uyl. Asyik bercakap-cakap
pelbagai masalah, mereka malah lupa mencatat alamat masing-masing. Bagi
Sabarudin, Den Uyl adalah seorang cerdas walau mengaku tidak sampai duduk di
perguruan tinggi. Ia sangat yakin dengan perjuangan kaum buruh melalui jalur
komunisme. Entahlah setelah mendengar penjelasan Sabarudin tentang Islam. Duduk
sendirian tanpa Den Uyl yang senang berdiskusi , Sabarudin mengingat-ingat
kembali ucapan-ucapan kenalannya itu.
Salah satu saran Den Uyl yang mendatangkan pertanyaan adalah agar Sabarudin kawin dengan anak gadisnya. Bagaimana pun sebagai bujangan, Sabarudin
tergelitik juga. Pada saat itulah muncul seorang gadis. Tiba-tiba saja ia sudah
berada di depan Sabarudin. Kehadirannya mengingatkan Sabarudin kepada mendiang Suzana, bintang film Indonesia yang
gemar peran-peran horror.
“Maaf, apa meneer kenal seseorang bernama Sabarudin?”
“Saya sendiri.. Jij siapa?”
“Saya Merian, anak Den Uyl..” Darah Sabarudin tersirap. Ada
sesuatu yang tidak beres. Apalagi melihat wajah Merian yang murung. Gadis itu
duduk setelah bersalaman dengan Sabarudin.
“Ada apa? Ayahmu baik-baik saja, kan?” Nada cemas dalam
suara Sabarudin.
“Tidak meneer. Papa sudah meninggal…”
“Meninggal? Kapan?”
“Baru seminggu.”
“Sakit apa?”
“Tidak sakit. Kecelakaan. Jatuh ketika membetulkan atap…”
“Saya turut berduka. Semoga jij tabah menghadapinya.”
“Terima kasih meneer.” Sabarudin kasihan melihat Merian. Ia adalah anak
satu-satunya Den Uyl. Sekarang tentu ia tinggal sendirian di flat mereka di
Hilversum.
“Papa sering cerita tentang pertemuannya dengan meneer. Kami
juga merencanakan mengundang meneer bertamu ke rumah. Sayang, tidak kesampaian.
Ajal sudah menjemput Papa…” Sabarudin terharu mendengarnya. Kini ia berfikir
tentang masa depan Merian. Apa yang dapat dilakukannya?
“Saya baru saja menemukan surat Papa untuk meneer di laci
meja. Untuk itulah saya datang ke sini.
Ini, bacalah…” Merian menyerahkan surat dari papanya itu. Sabarudin
membacanya dengan rasa tidak keruan.
Meneer Sabarudin,
Saya merasa sesuatu akan terjadi pada diri saya. Saya
mengkhawatirkan anak saya, Merian. Ia tidak punya siapa-siapa lagi. Kalau kalian
salaing cocok, kawinlah. Saya percaya Meneer orang baik. Tentu akan sepenuh
hati melindungi Merian. Tinggallah di flat kami di Hilversum.
Salam,
Den Uyl
Sabarudin menatap Merian
dengan rasa kasihan. Gadis itu pun balas menatap. Tentu ia sudah tahu
isi surat Papanya itu. Tidak dapat ditebak apa yang terlintas dalam fikiran
Merian. Ia bukan orang Melayu yang biasanya cenderung mengikuti keinginan orang
tua. Sabarudin juga menghadapi situasi sulit. Walau ada wasiat seperti itu,
tidak mudah baginya mengawini Merian. Ia harus mampu membuat Merian suka padanya. Perlu waktu
untuk pendekatan dan meyakinkan bahwa memang cocok menjadi sepasang suami
isteri.
Angin musim gugur bertiup kencang ketika keduanya berpisah
untuk bertemu lagi di lain hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar