Ikhwal tarif seorang ustadz sebagai imbalan atas dakwah yang
dilakukannya menjadi heboh pertengahan Agustus lalu. Bermula dari batalnya
Ustadz Solmed berdakwah di Hongkong, karena tarif yang terlalu tinggi, konon
150 juta rupiah, masalahnya berkembang
menjadi boleh tidaknya seorang ustadz menerima imbalan atas dakwah yang
disampaikannya. Kalau boleh, berapa jumlah yang pantas. Pelbagai kalangan yang
memberikan pendapat umumnya cenderung mengatakan, boleh, mengingat ustadz tidak
punya lahan lain untuk membiayai hidupnya sekeluarga. Namun, bukan menentukan tarif,
melainkan terserah kepada yang mengundang dengan satu istilah yaitu ‘seikhlasnya’.
Walau pun seikhlasnya, masyarakat mengetahui adanya semacam kesepakatan tentang
tarif seorang ustadz mulai 200 ribu rupiah pada tingkat kelurahan sampai 5 juta
rupiah bagi ustadz yang populer karena sering muncul di TV. Lebih dari jumlah
yang ‘disepakati’ masyarakat itu, menimbulkan masalah seperti terjadi atas diri
Ustadz Solmed.
Seorang ulama, kiyai dan ustadz adalah pewaris nabi dalam
menyampaikan dakwah. Mestinya yang diikuti adalah sikap nabi-nabi dalam menyampaikan
dakwah yang mengajak manusia menyembah Allah SWT dan taat kepada
rasul-rasulNya. Dalam Al Qur’an surah Asyu’ara ada 5 nabi yaitu Nuh, Hud, Saleh, Lut dan Syuaib menyatakan, “Dan aku tidak meminta imbalan
kepadamu atas ajakanku itu, imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam.” Sedangkan
pernyataan Nabi Muhammad SAW tercantum dalam
surah Al Furqan ayat 57 , berbunyi: Katakanlah, “Aku tidak meminta
imbalan apa pun dari kamu dalam menyampaikan (risalah) itu melainkan
(mengharapkan agar) orang-orang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.” Atas
dasar sikap para nabi itu, sampai tahun 50an guru mengaji, ustad dan para da’I,
tidak ada yang dibayar. Sebagai tanda terima kasih, biasanya murid-murid dan
jamaah menyumbang bahan-bahan keperluan
hidup seperti beras, kelapa, sayur mayur dan ikan. Menjadi pemandangan yang
lazim ketika seorang ustadz berbelanja ke pasar, yang berjualan tidak mau
menerima uang dari sang ustadz. Selain itu seorang ustadz tidak mengandalkan
dakwah sebagai mata pencaharian. Ingat saja Buya Hamka almarhum, adalah seorang
penulis dan punya majalah untuk dijual. Seharusnya kita malu kepada Singapura
yang sekuler. Di sana guru-guru agama dan penghulu, tidak boleh menerima uang
dari masyarakat/jamaah. Keperluan hidup mereka sehari-sehari sudah dijamin oleh
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar