Senin, 22 September 2014

Kelirumologi Diseminarkan



Kelirumologi, ‘ilmu’ yang mempelajari kekelruan dalam pengunaan istilah, diseminarkan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di  Jakarta pada 19 September 2014, dengan penyelenggara Jaya Suprana yang tokoh MURI itu. Belum ada berita tentang hasil seminar tersebut. Sementara itu seminar telah membuat Mahmud MD menulis di sebuah koran tentang ‘Kelirumologi Dalam Hukum’. Ini menarik. Jaya Suprana yang semula mecetuskan istilah ‘kelirumologi’ terbatas pada soal penggunaan sebuah kata yang keliru, berkembang menjadi keliru dalam menggunakan dan bertindak dalam berbagai kegiatan. Keliru, namun dianggap benar karena sudah biasa.
Dalam kehidupan sehari-hari  banyak kita lihat pria Muslim menyandangkan kain di bahu pergi ke mesjid atau mushalla. Ada yang menjadikan kain itu sebagai sal dan ada pula yang menggunakannya sebagai sajadah. Padahal, kain itu di negeri asalnya, Arab Saudi, dililitkan di kepala yang dikenal sebagai ‘serban’.
Dalam penggunaan sebuah kata, yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah penggabungan kata asing dengan awalan bahasa Indonesia. Contoh: dimention, mengexplore, mengelaborasi  yang maksudnya disebut, menggali dan menguraikan.
Kekeliruan banyak terjadi di  bidang politik. Coba perhatikan, dalam UUD 45 tidak ada fasal yang mengatur pemerintahan RI secara parlementer dengan seorang Perdana Menteri. Kenyataannya, bulan Oktober 1945 terbentuk pemerintahan yang dipimpin seorang Perdana Menteri. Keberadaan PM itu terus berlanjut sampai akhir pemerintahan orla. Ingat, Sukarno adalah Presiden merangkap PM dengan beberapa orang Waperdam. Anehyna lagi, salah seorang Waperdam itu adalah Chairul Saleh yang Ketua MPRS.
Dizaman reformasi muncul istilah ‘koalisi’ dan ‘oposisi’ yang juga tidak diatur dalam UUD 45. Koalisi adalah gabungan partai-partai yang berada dalam pemerintahan dan di pihak lain gabungan partai-partai di luar pemerintahan. Yang di luar pemerintahan, menamakan dirinya ‘oposisi’. Barulah menjelang pilpres 2014 PDIP dan partai-partai pendukungnya menamakan diri ‘kerjasama’ dan ‘oposisi’berganti dengan ‘penyeimbang’. Walau pun begitu kaum poltikus dan pengamat politik masih saja menggunakan istilah ‘koalisi’ dan ‘oposisi’. Supaya ada keseragaman pengertian, sebaiknya ada semacam aturan yang menjelaskan makna dan penggunaan kata-kata baru supaya tidak keliru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar