Sabtu, 28 Juni 2014

Penjelasan Prabowo Kepada Wartawan AS



Dalam suasana keingintahuan masyarakat luas mengenai keterlibatan capres Prabowo dalam kasus penculikan para aktivis pada tahun 1998, tiba-tiba muncul fakta baru tentang mantan Pangkostrad itu. Wartawan AS, Allan Nairn, membocorkan wawancaranya dengan Prabowo pada Juni dan Juli 2001 di Jakarta. Nairn menilai, Prabowo tidak konsisten karena sikapnya waktu itu tidak sesuai dengan sekarang. Yang megejutkan adalah, tindakan ABRI membantai 271 penduduk sipil di Santa Cruz, Dlli, TimorTimur pada 12 November 1991. Kepada  Nairn sang jenderal mengatakan bahwa  perintah pembunuhan itu ‘goblok’. Menurut Nairn, keberatan Prabowo bukan pada kenyataan militer Indonesia telah membunuh penduduk sipil, melainkan pada fakta pembunuhan dilakukan di hadapan pers inernasional. Konon, menurut Nairn lagi, Prabowo berucap, “Komandan-komandan itu bisa saja membantai di desa-desa terpencil, sehingga tidak diketahui siapapun.”  Tidak jelas, apa Prabowo terlibat dalam peristiwa di Santa Cruz  tersebut.
Tidak kalah mengejutkan adalah pendapat Prabowo bahwa Indonesia memerlukan rezim ‘otoriter lunak’. Contohnya Pakistan semasa diperintah oleh Jenderal  Pervez Musharraf. Pantaslah  ada kalangan yang berpendapat, kalau berkuasa nanti  Prabowo akan mempraktekkan cara-cara pemerintahan orba.
Nairn juga mengungkap pernyataan Prabowo bahwa ABRI merongrong pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dengan memfaslitasi  teror-teror antar etnik dan agama di Maluku.
Kita tentu saja tidak percaya atas kesaksian Nairn tentang pernyataan dan pendapat Prabowo pada 2001. Nadanya menyudutkan ABRI dan memposisikan Prabowo sebagai anti demokrasi. Nairn tentu memfitnah. Hebatnya Nairn berani mempertangungjawabkan hasil wawancaranya dengan Prabowo itu. Ia malah menantang Prabowo untuk menyeretnya ke pengadilan Indonesia atas tuduhan memfitnah. Itu terpulang kepada Prabowo. Membiarkannya berlalu bagai kata pepatah ‘anjing menggonggong, kafilah berlalu’ atau menyeret  Nairn ke pengadilan demi membela nama baik. Bagaimana pun kesaksian seorang wartawan asing, sedikit banyaknya akan mempengaruhi fikiran dan sikap calon pemilih dalam pilpres 9 Juli nanti. Suatu kesaksian akan dianggap benar sampai ada bukti kesaksian itu tidak benar. Mendiamkannya saja bisa dinilai setuju degan ocehan wartawan AS, Allan Nairn.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar